Untuk sesaat, Rose terlena dengan sentuhan mesra Samantha. Mengingatkannya kembali pada kisah lama mereka. Saat ciuman Samantha semakin posesif, Rose tersentak. Tak pantas rasanya dia menikmati kecupan itu di saat dia sudah menjadi istri Alexander.
Rose berhasil mendorong Samantha menjauh darinya. Samantha terkejut, menatap nanar binar berair Rose.
“Apa-apaan kamu, hah? Jangan lupa, aku ini kakak ipar kamu!” pekik Rose.
Samantha bungkam. Mungkin Rose hanya sedikit tertekan karena kemarahan Alexander. Mereka sudah menikah, wajar saja ada kesalahpahaman. Lalu apa yang dia harapkan?
“Rose, aku-”
Rose tak ingin mendengar. Pelan-pelan dia turun dari atas meja counter, lalu berjalan tertatih dengan kaki yang masih terasa perih karena luka melepuh itu.
“Rose, sebentar!” pinta Samantha saat berhasil menarik tangan wanita berdarah campuran Inggris itu.
Plak! Rose kesal, berbalik dan segera menepis tangan Samantha. “Apa yang kamu inginkan? Jangan pernah singgung apa pun tentang masa lalu karena semua itu udah nggak ada artinya lagi buatku!”
Samantha menatap teduh. Keheningan berusaha dia ciptakan agar emosional Rose mereda. Pelan-pelan dia sentuh kepala Rose, lalu berkata, “Kamu tau untuk siapa aku ngelakuin itu, Rose.”
“Untuk Alex?!” Rose kembali menepis tangan Samantha. “Alex lebih penting buat lo dan dengan seenaknya, lo buang perasaan gue?! Jadi untuk apa lagi lo ungkit masa lalu kita sementara lo juga udah move on di Jepang sana, kan?!”
“Rose, please. Dengerin aku, dulu,” pinta Samantha, membujuk untuk meluluhkan hati wanita itu.
“Jangan salah paham, Sam! Aku sayang sama Mas Alex. Masalah sekecil ini biasa terjadi. Itu bukan berarti aku nggak bahagia. Jadi, jangan berpikir untuk masuk di antara kami. Kamu cuma seorang pengecut yang nggak akan pernah bisa kupegang janjinya!”
Samantha tertegun, merasa kalah sekali lagi saat tak ada lagi jalan yang diciptakan Rose untuk menuntut Samantha kembali masuk ke dalam hidupnya. Semua sudah terlambat.
*
Pagi harinya, Rose tak mendapati suaminya itu pulang. Mungkin masih menunggui putra kesayangan mereka di rumah sakit bersama ayah mertuanya. Usai berberes, Rose menarik beberapa sweater karena merasa badannya cukup hangat. Pun dengan kaki yang sangat sulit berjalan.
“Kayaknya aku temuin papa dulu, deh. Kemarin pergi gitu aja, papa belum sadar.”
Tak lama, ponsel-nya berdering. Ditekannya tombol hijau itu untuk mengangkat panggilan.
“Halo!”
“Halo, Mbak. Ini bagaimana? Sejak semalam tidak ada yang menunggui Pak Edward. Tadi beliau sempat sadar sebentar, lalu tertidur lagi setelah sarapan.”
“Ba-baik, Sus. Saya segera ke sana!”
Baru saja Rose hendak bergegas pergi. Tak memikirkan kondisi kesehatan dan juga isi perut, dia harus mengunjungi sang ayah yang sakit. Setibanya di ruang tengah, dia berpapasan dengan Alexander. Suaminya itu tampak lelah. Mungkin merasa kurang nyaman tidurnya di ruang rawat Ruby.
“Mas mau ngantor atau istirahat aja?” tanya Rose, berhenti sebentar untuk menghidangkan teh hangat dari atas meja makan.
Alexander duduk di sofa, membuang punggungnya tenggelam dalam sandaran sofa. Sangat nyaman.
“Aku mau istirahat satu jam dulu, baru pergi ke kantor. Ada meeting penting. Oh iya, cepat buru ke rumah sakit. Itu pasti Papa capek jagain Ruby terus. Nanti sore Ruby udah bisa pulang, kok.”
Rose terdiam. Sedikit menunduk, lalu diangkatnya kembali pandangannya. “Maaf, Mas. Aku izin jenguk papaku dulu. Tadi suster udah nelepon, dari kemarin papaku nggak ada yang jaga.”
Alexander merasa tak senang dengan bantahan Rose meski suaranya sudah sesantun itu. “Keterlaluan kamu, ya! Anak udah sakit gitu, kamu nggak ada pedulinya. Semalaman aku sama papa yang jaga, apa nggak bisa kamu yang gantian ada di sana?!”
Alexander beranjak, menuding tajam ke arah wajah sang istri. “Bahkan kesalahan kamu aja belum termaafkan. Dan sekarang, kamu mau menghindar dari tanggung jawabmu?”
“Mas, tolong. Itu papaku dari kemarin juga kasian, nggak ada yang jagain. Mana papaku juga lagi stroke, nggak mungkin juga suster yang jaga terus.”
“Nggak!”
Rose terkejut saat Alexander menahan tangannya. “Telepon aja pembantu kamu buat jaga papa kamu. Atau biar aku yang bayar perawat buat ngurus papa kamu.”
Bukan tak berani membantah, Rose hanya sesak dengan kecintaan Alexander pada putranya ini. Kenapa terlalu berlebihan? Kenapa sikap lembutnya seolah hilang hanya karena sisi posesifnya?
“Please, Mas. Papa butuh aku.”
“Ya kamu pikir, Ruby enggak butuh mamanya?! Nggak usah bantah lagi.
Rose hanya mengangguk, pasrah. “Baik, Mas. Aku ke rumah sakit dulu.”
Sejak tadi Han dan Samantha memperhatikan pertengkaran sepasang suami istri itu. Rose yang tahu Samantha menatap kasihan padanya, hanya menunduk malu. Alexander belum menyadari keduanya memperhatikan mereka. Saat Alexander menarik paksa Rose untuk masuk ke kamar –tak mengizinkan Rose pergi sendiri karena takut istrinya itu berbohong, lantas terhenti saat Samantha mendekat. Tergesa dia melepaskan cengkraman erat Rose di tangannya, tersenyum pada Samantha.
“Biar gue aja yang jaga Ruby, ya? Gue juga senggang, kan?” tawar Samantha.
Alexander menggeleng, lalu memegang pinggang Rose dan berkata, “Nggak usah, Sam. Lo di rumah aja. Istirahat banyak, lo juga baru balik, kan? Biar gue aja sama Rose yang jagain Ruby. Sekalian siap-siap bawa Ruby pulang. Ini orang rumah juga nantinya sibuk buat syukuran kecil-kecilan untuk doain Ruby sehat.”
Samantha hanya mengangguk, tak ingin masuk dalam urusan rumah tangga mereka. Dia pun kembali ke dalam kamar. Ternyata Han sudah berada di kamarnya. Hanya menatap selidik pada kotak kaleng di atas meja yang berisi banyak tabung obat dengan tulisan kanji.
"Ini obat apa?" tanya Han.
Samantha tampak tegang. Dia pun mendekati meja. Mengutip botol-botol dari tangan Han dan memasukkannya kembali ke dalam kaleng.
"Ya obat gue selama di Jepang. Lo pikir gimana caranya gue tinggal di sana selama musim dingin?" ulas Samantha, beralasan.
Han pun mengajak Samantha untuk pergi dari rumah itu, berjalan-jalan santai di luar untuk berkeliling kota Jakarta yang tak dia lihat selama lima tahun.
"Temenin gue jenguk papanya Rose, Han!" ajak Samantha.
"Ngapain?!" keluh Han.
"Ya jenguk orang sakit, kok, pake acara histeris gitu?"
Han menurut saja. Bukan hanya Narendra, tentu Edward, ayah kandung Rose itu memiliki andil dalam rusaknya hubungan anak-anak mereka ini. Kalau saja beliau memberi kesempatan pada Samantha, mungkin saat ini Rose menjadi miliknya. Hanya sepuluh menit, mobil itu tiba di depan rumah sakit. Mereka pun masuk ke ruang rawat Edward, hanya ada seorang perawat di sana.
"Iya, dari kemarin putrinya belum ada jenguk. Kasihan Pak Edward," kata suster itu, miris.
"Keadaannya bagaimana, Sus?" tanya Samantha, lalu mengambil duduk tepat di samping kasur Edward.
"Pasien mengalami stroke pada bagian badan sebelah kiri. Itu lengan sama badannya nggak bisa digerakkan. Tapi Alhamdulillah masih bisa bicara walau tidak terlalu jelas."
Suster itu pun pergi karena sudah ada yang menjaga pasien tua itu. Han duduk di sofa, sementara Samantha duduk tepat di samping kasur Edward. Menit berlalu, setengah jam sudah. Akhirnya pria itu membuka mata. Dia terkejut saat mendapati pria muda yang dulu menjalin cinta pada putrinya.
"Sam."
"Iya, Pak. Ini Sam. Bapak gimana? Ada yang sakit? Perlu sesuatu?" tanya Samantha, ramah.
Belum ada kata yang terucap lagi. Edward hanya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencari putrinya yang tak dia temukan.
"Rose."
"Rose lagi di rumah sakit, Pak, jagain Ruby. Biar saya aja, ya, yang gantiin Rose jagain Bapak."
Betapa ramahnya Samantha. Yang kurang dari Samantha hanyalah karir gemilangnya. Itulah yang dulu membuat Edward begitu silau akan pesona Alexander hingga mengabaikan keramahan Samantha. Bahkan saat sakit begini pun, menantunya itu tak menjenguknya.
"Tolong panggilin Rose."
Samantha menoleh pada Han. Sahabatnya itu hanya menggeleng, berisyarat bahwa percuma menghubungi Rose. Wanita itu takkan datang.
"Tadi Lo liat sendiri, kan? Alex udah ngelarang Rose jagain bokapnya, fokus doang ke anaknya. Ini ditelepon juga, si Rose mana berani nentang," papar Han, ikut terbawa emosi.
Samantha merasa kasihan melihat wajah sedih pria tua itu. Menahan tangis sebab merindukan perhatian putrinya.
"Bapak di sini sebentar, ya! Saya jemput Rose dulu," pesan Samantha.
Pria berusia dua puluh depan tahun itu pun berlari meninggalkan ruang rawat untuk menjemput Rose. Sesampainya di sana, Samantha pun mengatakan pada Rose bahwa sang ayah membutuhkannya. Rose harus ikut dengannya untuk mengurus ayahnya. Akan tetapi, Alexander tetap menahan Rose di ruangan itu karena putra kecilnya itu sejak tadi sangat manja pada Rose. Ingin terus dipeluk ibundanya.
"Besok aja, Sam! Ini nanti sore juga Ruby udah pulang," bantah Alexander, sesekali matanya menatap tajam Rose untuk dituruti.
Tak ada Narendra di sana. Mungkin saja suaranya bisa sedikit menenangkan sikap posesif Alexander dan membiarkan wanita itu pergi menemui ayahnya. Tangis berderai Rose itu membuat Samantha semakin kesal pada Alexander.
"Gila Lo, ya! Itu bokapnya Rose! Dia anaknya dan punya tanggung jawab untuk ngurus bapaknya. Anak Lo ditinggal beberapa jam doang juga nggak bakalan langsung drop!"
Alexander marah karena Rose menatap Samantha, seolah ingin meminta perlindungan mantan kekasihnya itu. Dicengkeramnya keras pergelangan tangan Rose, menariknya dan tak peduli meski langkah wanita itu tertatih.
"Nggak! Lo apaan, sih? Ikut campur aja! Gue suaminya! Dia harus patuh sama gue. Kalau suaminya nggak ngasih izin, ya berarti enggak boleh! Nggak peduli meskipun itu orangtuanya!"
Arogansi Alexander tak dapat ditampung Samantha lagi. Apa yang membuat sang kakak semarah ini? Entah karena kecemburuannya terhadap Samantha, atau memang karena dia ingin Rose lebih memilih menjaga putranya.
"Mas, please."
Hati Rose remuk. Dia memiliki perasaan yang tak enak terkait papanya. Lantas, dua pria itu saling memegang kedua lengannya.
"Lex! Lo apaan, sih!" bentak Samantha.
Tak bermaksud ikut campur, Samantha hanya ingin Rose menjaga sang ayah yang sedang sakit.
"Cukup, Mas!"
Alexander terkejut saat Rose membentaknya di depan Samantha. Malu dan juga sangat cemburu. Rose lebih memilih mempertahankan pegangan Samantha.
"Baru lima tahun ini aku jadi istri kamu, Mas. Tapi selama lima belas tahun terakhir, papaku-lah yang merawatku seorang diri tanpa kasih sayang ibuku."
Rose memberanikan diri, menatap keegoisan di mata Alexander. Pria itu geram karena Rose seakan memiliki tameng untuk melindunginya.
"Surga seorang istri bergantung pada ridho sang suami, kan? Baiklah. Kalau gitu, aku nggak butuh surgamu, Mas. Ini pengabdianku untuk orangtua yang memberiku hidup sampai detik ini."
Alexander bungkam, menatap Samantha yang menggenggam tangan Rose dan membawa istrinya itu kabur tepat di depan matanya. Kecemburuan semakin mengakar kuat. Apakah Samantha dan Rose kembali mengikat isyarat hati?
*
Rose menangis tersedu tepat di samping tubuh tak berdaya sang ayah. Han mengatakan tadi ayahnya sempat drop dan kesehatannya menurun drastis. Mungkin karena tekanan dan beban pikiran. Han yang menunggui sejak tadi di ruangan itu sampai sekarang.
"Rose di sini, Pa. Maaf, nggak bisa jaga Papa," lirih Rose.
Sang ayah mengangguk, pelan-pelan tangan kanannya terangkat untuk mengusap kepala Rose.
"Maaf untuk semuanya, Nak."
Lalu pandangannya beralih pada Samantha yang berdiri tepat di samping kakinya.
"Maafin saya, Sam. Maaf karena merampas kebahagiaan kamu."
Samantha menunduk sesaat. Berusaha melepas segala beban akan ketidakadilan sang ayah dan juga pria ini terhadap kisah cinta mereka. Pria itu mengangkat tangannya, berisyarat agar Samantha lebih mendekat. Digenggamnya dua tangan muda-mudi ini bersamaan, lalu berkata, "Terkadang, takdir nggak memberikan kebahagiaan yang sama untuk setiap manusia. Karena itu ciptakanlah kebahagiaan sendiri meskipun itu salah. Meskipun itu dosa dan menyakiti orang lain. Lakukanlah agar saat tua nanti, tak ada penyesalan yang tersisa."
Entah apa maksud perkataan pria tua itu, Rose tak ingin memikirkannya. Ditariknya tangannya dari atas punggung tangan Samantha. Bersamaan dengan itu, suara dering ponsel-nya terdengar. Panggilan masuk dari Alexander.
"Mas Alex," sapanya saat mengangkat panggilan.
"Pulang sekarang juga, atau kutalak kamu!"
Rose terkejut, tangannya gemetar dan hampir jatuh ke lantai jika tak berpegangan pada meja di sisi kasur.
"Dan jangan harap kamu akan ketemu Ruby lagi!"
Panggilan diakhiri. Air mata Rose jatuh. Pilihan sulit saat harus kehilangan sang putra yang dia sayangi.
Rose mengusir kekhawatiran mereka, lalu tersenyum dan menggenggam tangan papanya.
"Pa, Ruby lagi sakit. Aku jagain Ruby dulu, ya!" pinta Rose.
Papanya menangis, menggeleng karena tak ingin berpisah. Digenggamnya erat tangan Rose. Terasa lemah dan bisa dia lepaskan, tapi pria itu sudah meletakkan kekuatan penuh di sana. Tangan pucatnya gemetar dan berharap Rose tak pergi darinya.
"Temani papa malam ini aja, Rose. Setelah ini, papa nggak akan gangguin kamu lagi. Selamanya."
Rose mengabaikan tangis papanya. Dilepaskannya sekuat tenaga genggam erat papanya. Samantha terkejut saat wanita itu tega meninggalkan sang ayah demi Alexander. Rose keluar dari kamar, beriring teriakan papanya yang menggema.
"Rose!"
Samantha mengejar langkah mantan kekasihnya itu. Berhasil menghentikannya di tikungan lorong, Samantha hendak menghakiminya.
"Itu papa kamu lagi sakit, Rose! Jangan egois!" tuding Samantha.
"Alex ngancam akan jauhin aku dari Ruby, Sam. Aku nggak bisa."
Rose tetap bersikeras. Tepat sampai di dekat administrasi, mereka melihat para dokter dan tenaga medis itu berlari menuju arah mereka. Jantung Rose berdegup kencang. Ternyata sang ayah collaps sebab tekanan. Han-lah yang memanggil para perawat lewat telepon. Rose berbalik, menatap Han yang berada di depan pintu untuk menunggu pada dokter. Bisa dipastikan dokter yang berbondong lari tadi itu menuju ke kamarnya.
"Pa!" jerit Rose.
Rose berlari secepat mungkin –meski sulit karena kakinya yang masih nyeri. Samantha pun menyusul dengan langkah lambat dan membimbing Rose. Wanita itu hanya ingin melihat papanya. Tepat ketika sampai di ruangan itu, semuanya sudah terlambat. Monitor jantung itu menunjukkan garis lurus berderik panjang. Edward meninggal, menyisakan tangisan hening Rose yang jatuh bersimpuh di lantai. Terlambat.
"Pa."
Samantha dan Han menatap miris. Andai saja wanita itu tak bersikeras pergi, mungkin papanya takkan terkena serangan jantung. Tapi, inilah akhirnya. Batas usia Edward untuk menjadi seorang ayah bagi Rose.
"Pa!" jerit Rose.
Samantha menekuk lututnya di lantai, lalu menenggelamkan tubuh lemah Rose dalam pelukannya.