Bab 13. Kelahiran Ruby

2289 Words
Kehadiran calon buah hati di rahim Rose membuat dirinya lupa sejenak akan rasa sakit hatinya sebab Samantha yang mulai bangkit di negeri sakura sana. Perhatian Alexander sebagai suami membuatnya bahagia, menyentuh kalbunya. “Mas hari ini boleh bolos, nggak?” rayu Rose saat pagi itu, dia melihat suaminya sedang bersiap-siap pergi ke kantor. Alexander tersenyum. Ditariknya kembali dasi yang tadinya sudah hampir bertemu simpul pada kerah. Urung ke kantor, Rose menjadi prioritasnya. “Memangnya kenapa?” tanya Alexander saat duduk di samping Rose. Dikecupnya sesaat kening itu, meraba perut Rose yang mulai membesar. Sudah enam bulan berlalu dan pelan-pelan Alexander membangun kepercayaan akan rumah tangga bahagianya ini. Berpikir bahwa Rose sudah melupakan Samantha. Hari itu, dia membolos dan menyerahkan tugas kantor pada Han. Dibimbingnya sang istri berjalan lambat menuju ruang tengah. “Kalau ada apa-apa, telepon saya saja, Han!” titah Alexander pada Han yang baru saja keluar dari kamarnya. “Baik, Mas.” Senyum dan kebahagiaan di wajah sepasang suami istri itu hanya ditatap sinis oleh Han. Mereka pergi meninggalkan rumah keluarga Atmadja. Han mengeratkan jemarinya, menahan amarah di d**a. Dia yang masih belum bisa menerima Samantha kalah akan perjuangan cintanya. Akan tetapi, tak ada kabar lagi dari Samantha, seolah surat terakhir kali itu sebagai upaya meninggalkan jejak agar dia bisa bersembunyi lagi. “Pak Narendra!” Han mendekati Narendra Atmadja yang baru saja keluar dari kamarnya. Di masa tua, dia begitu tenang pensiun dini dan menyerahkan tampuk kepemimpinan di tangan Alexander sebagai direktur utama Atmadja Corp. “Ada apa?” tanya Narendra, duduk di depan televisi tabung berukuran 20 inchi itu. Channel TPI menjadi pilihannya pagi itu. Diambilnya sebatang cerutu, lalu menghisapnya dan membiarkan asap berbau tembakau itu memenuhi ruang tengah. “Saya ingin pergi sebentar ke Jepang untuk menemui Samantha, Pak. Saya sangat khawatir.” Mendengar permintaan Han, Narendra mendecak, kesal. “Apa lagi, Han? Kamu kira saya berbohong saat mengatakan dia baik-baik saja di sana? Wiryo selalu mengabari saya tentang Samantha. Dia kuliah di sana dan Wiryo berniat mendidiknya di perusahaannya.” Bukan satu dua kali Han mendapatkan jawaban yang sama. Akan tetapi, dia tetap bersikeras ingin melihat Samantha langsung di sana. Ingin rasanya pergi diam-diam, tapi dirinya terbelenggu dalam kekuasaan Keluarga Atmadja hingga dia tak bisa meninggalkan Indonesia. “Kenapa Bapak nggak memikirkan Samantha di sana? Bisa jadi, kan, dia bertahan di sana karena nggak mau nyakitin mas Alex?” lirih Han. Narendra membuang pandangannya kembali ke layar. Hatinya yang begitu keras, lalu tertuju pada foto besar di dinding. Foto keluarga mereka. Dia dan sang istri, juga dua putranya. Kini, rumah itu menjadi sepi saat hanya ada dirinya dan Alexander. Istrinya yang telah tiada karena sakit, lalu Samantha yang ikut pergi juga. “Sama seperti saya, kamu juga mengenal Sam. Beda dengan Alex yang penurut, Sam sangat keras kepala. Saya keras padanya bukan berarti saya tak menyayangi dia. Ini semua demi masa depan dia, Han.” Han tak ingin membantah lagi, lalu mengambil tas dari atas meja untuk bersiap pergi ke kantor. “Maaf, Pak. Tapi sepenglihatan saya, nggak ada yang Anda tahu tentang Sam. Anda pikir Anda mengenalnya. Tapi Sam yang Anda lihat, bukanlah Sam yang sebenarnya. Suatu saat, coba lebih dekat padanya, dan bicara dari hati ke hati. Anda akan menyadari bahwa Sam bukanlah seperti yang Anda pikirkan.” Han pergi meninggalkan rumah itu, menatap Narendra yang tertegun sambil menatap foto sang istri yang dia ambil dari figura kecil di atas meja telepon. * Rose menerima surat yang dia terima dari pak pos saat dia bersantai di arena taman. Waktu begitu cepat berlalu, kini menginjak hampir sembilan bulan kehamilannya. Dia harus banyak bergerak agar memudahkan persalinan. Perasaannya kacau, perutnya terasa sakit saat stress akibat surat yang dia baca dari Samantha itu. Tak ketinggalan, Samantha menyelipkan foto bahagianya dengan seorang gadis cantik bernama Akira itu. Kali ini dia berfoto di depan Tokyo Tower. Walau di sana musim semi, Samantha masih membalut tubuhnya dengan jaket dan syal, juga kupluk hitam untuk menghindari dingin. Betapa pria itu sangat sulit beradaptasi dengan suhu rendah itu. [Assalamualaikum. Pagi, Pa, Alex. Han juga. Kalian sehat? Udah lama aku nggak kirim surat. Padahal bisa nelepon, tapi rada segan sama Om Wiryo nelepon internasional gini. Tolong jangan pikirkan aku, aku baik. Jangan cemas! Kuliahku lancar, semua beres. Kalau aku mau pulang, nanti aku kabarin. Oh iya, kira-kira, Papa mau, nggak, lamarin Akira buatku? Dia baik banget, selalu jagain aku. Mantau makan dan kesehatanku. Sebenarnya aku ngirim surat gini, ada maunya juga, sih. Bisa kirimin aku uang lagi, Pa? Uangku habis. Iya, maaf, aku banyak mainnya di sini. Kali ini aja, kirimin aku uang, ya! Kalau nggak dikirim, aku balik ke Jakarta dan hancurin pernikahan Alex. Mau?] Seperti permainan yang tak berarti. Samantha berubah hingga Rose menumpuk rasa sakit di dadanya. Ingin dia segera masuk, tapi langkahnya melambat karena merasa mulas sebab kontraksi. Dia hampir jatuh, lalu berpegangan pada dinding ruang tengah. “Bi!” jerit Rose. Rose hampir limbung. Cairan keluar membasahi sisi kakinya. Air ketuban sudah mengalir, isyarat bahwa bayi dalam kandungan itu mendesak ingin keluar. “Bi!” Tak ada yang mendengar, Rose berusaha lebih mendekat. Telapak kakinya yang terasa licin menyebabkan dia terpeleset hingga perutnya sedikit membentur ujung sofa. Rose kesakitan, sangat lemas hingga akan sulit baginya mengejan untuk melahirkan secara normal. “Nyonya!” Orang-orang rumah panik. Segera mereka membawa menantu kesayangan Narendra Atmadja itu untuk menjalani proses kelahiran di rumah sakit terdekat. Tak lupa mereka menghubungi sang suami agar segera datang menungguinya di sana. * Beberapa jam setelah dilarikan ke rumah sakit, Rose mengeluarkan bayinya dengan tenaga tersisa. Di luar, Alexander menunggu dengan harap-harap cemas, bersama Narendra yang menanti kelahiran cucu pertama keturunan Narendra Atmadja. Seorang bayi berjenis kelamin laki-laki itu lahir dari pernikahan Rose dan Alexander. Setelah dokter menyampaikan kabar bahagia itu, Alexander masuk ke ruangan untuk menyambut bahagia sang istri yang kini telah menjadi seorang ibu. "Rose, terima kasih," bisik Alexander di telinga Rose. Wanita itu belum sadarkan diri sebab bius. Narendra mencari dokter tersebut untuk menanyakan perihal cucunya yang tak langsung dibawa menemui ibunya. Han mengikuti dari belakang, hingga akhirnya mereka berhenti tepat di ruangan dokter itu. "Ini kenapa cucu saya berada di sini?" tanya Narendra saat dokter ternyata membawa bayi mungil itu ke ruang inkubator. Tubuh mungil pucat itu ditatap Han dari kaca. Narendra masih bicara dengan dokter, mengeluh sebab belum bisa menemui cucunya secara langsung. "Tadi pasien dibawa dalam keadaan lemas, dan ketuban sudah pecah. Syukurlah kelahiran tidak terlalu sulit. Bu Rose sangat kuat. Dan juga, orang rumah Bapak mengatakan, tadi pasien sempat jatuh dan sisi perut bagian kirinya terbentur. Karena itu, kami ingin memeriksa lebih lanjut kondisi bayi ini," terang dokter itu. Narendra hanya bisa bungkam, membiarkan air mata kesedihan jatuh dari sudut matanya yang mulai keriput. Bayi mungil bertubuh pucat itu harus berada di dalam tabung dan disanggah oleh peralatan medis. "Mas Alex," sapa Han saat ternyata sedari tadi, Alexander mendengar penjelasan dokter itu. Narendra menoleh, menyapu bahu kokoh sang putra agar lebih tegar. Alexander begitu mencintai buah hati yang terlahir dari pernikahannya itu. Sebagaimana dia mencintai Rose, sedalam itu juga cintanya pada putra pertamanya itu. "Anakku akan baik-baik aja, kan, Pa?" lirih Alexander. Hanya bisa berdoa agar kondisi sang bayi menjadi lebih baik. Tak ada hal serius terkait perkembangannya setelah lahir ke dunia ini. Sehari setelah kelahiran itu, Rose dibawa ke depan ruangan inkubator dengan menggunakan kursi roda. Wanita itu menangis, mengusap dinding kaca seolah menyentuh putera mungilnya. Alexander berada di belakangnya, sesekali menciumi puncak kepala sang istri. "Dia bakalan sehat, kan, Mas? Putera kita ..." "Dia kuat, Sayang. Mas akan lakukan apa pun supaya Ruby kita nggak akan pernah merasakan sakit. Ini janjiku, Rose. Janji seorang ayah," ujar Alexander. Hanya bisa berdoa agar tak ada hal serius terkait kondisi sang putra. Ruby Reyansha Alexander, nama itu disematkan pada sang bayi sebagai simbol cinta mereka. * Empat tahun kemudian. "Ruby!" Rose berlari mengejar putra kecilnya itu di antara sofa ruang tengah. Sesekali terdengar cekikikan kecil suara tawanya yang menenangkan hati. Ini hari pertama Ruby didaftarkan ke playgroup. Si kecil tampan berkulit putih itu sangat mirip dengan papanya yang keturunan Chinese, mengambil rupa lekat dengan wajah sang kakek. "Mama!" Ruby kecil berlarian karena tak ingin memakai baju meski sudah dibujuk oleh ibunya itu. Si kecil yang nakal dan menggemaskan. "Ruby! Nanti kalau nggak pergi, papa marah, loh!" sahut Rose, sang ibunda. Mendengar ancaman yang menyeret sang papa, Ruby akhirnya menurut. Papanya belum keluar dari kamar, begadang semalam suntuk di ruang kerjanya. Entah berapa gelas kopi yang harus disajikan Rose dan masih teronggok di atas meja kerjanya. Kesuksesan Atmadja Corp memaksa Alexander bekerja keras dengan deretan project raksasa yang dia tangani. "Pa!" teriak Rose. Rose mencium pipi putranya, memakaikan bedak baby sebelum memasangkan stelan baju dan celana berwarna biru itu. "Lubi takut, Ma. Nanti mama temenin, kan?" rengek di kecil Ruby. Walau sudah lancar bicara, Ruby masih belum bisa menyebut konsonan R sebab cadel. Memikirkannya saja Rose tersenyum saat guru nanti memintanya mengenalkan namanya. Entah ada berapa huruf R pada namanya yang terdiri dari tiga suku kata itu. Ruby Reyansha Alexander. "Iya, mama tungguin Ruby seharian, kok. Jangan takut!" ucap Rose sambil menyisir rambut pirang putranya. Di atas sana, Alexander baru saja bangun dengan wajah yang masih mengantuk. Walau sudah mandi, tetap saja matanya masih terkatup setengah. Pelan-pelan dia turun sambil memegangi sisi tangga. Sesampainya di bawah, Ruby segera berlari dan memeluk kaki papanya. "Papa kelbo. Lama banget bangunnya," ejek Ruby. Alexander tersenyum. Sedikit dia membungkuk agar bisa menggendong putra kesayangannya itu. "Papa kerbau? Trus Ruby apa? Anak kerbau?" "Nggak. Lubi anak mama. Mama yang cantik. Hali ini Lubi diantelin mama ke sekolah," oceh Ruby. Keluarga yang harmonis dan bahagia. Itulah yang dilihat Han saat ini. Empat tahun berlalu sudah sejak kelahiran Ruby. Samantha seakan hilang dari dunia Rose. Apakah Rose sudah bangkit? Han tak ingin mengusik takdir itu. Dia hanya ingin semuanya membaik dan Samantha bisa segera pulang. 'Kapan Lo pulang, Sam? Gue kangen,' batinnya. Han menutup mulutnya untuk semua rasa sakit Samantha. Rose yang mulai bahagia dan melupakan Samantha yang dia anggap mengkhianatinya. "Om Han!" panggil Ruby agar Han ikut makan bersama mereka. Bocah kecil itu ibarat sinar mentari di rumah itu menggantikan Samantha. Akan tetapi, Samantha takkan tergantikan. Suatu saat dia kembali dan Han akan menyaksikan, apakah rumah tangga bahagia itu akan goyah atau tidak. * "Masih belum tidur juga, Mas?" Rose menggerutu karena Alexander masih belum meninggalkan pekerjaan di ruang kerjanya. Sudah lewat jam dua belas, ini pun sudah cangkir kopi ketiga yang dia bawa untuk menemani Alexander. "Iya, Sayang. Ini sebentar lagi selesai." Rose sangat khawatir pada kesehatan sang suami. Dia lebih memilih tidur di sofa ruang kerja itu sampai Alexander selesai kerja. Setengah jam berlalu, gelas kopi pun tandas. Dia melepas kacamatanya sambil merenggangkan otot punggungnya. "Capek banget, Sumpah! Kayaknya aku harus angkat beberapa manajer tambahan lagi," gusarnya. Perhatiannya tertuju pada Rose. Istri cantik yang sudah lima tahun dinikahinya itu masih tetap membuatnya berdebar hanya dengan menatap lebih dekat. Alexander beranjak, berlutut tepat di hadapan sang istri yang sudah tertidur lelap. "Sayangku pasti capek banget, kasian." Alexander bermain dengan hidung mancung wanita itu, lalu jarinya turun menyusuri lekuk bibir Rose. Dia terkejut saat Rose membuka mulut dan menggigit telunjuknya. "Aduh!" ringis Alexander. Rose membuka mata, menyentuh sisi pipi suaminya itu. "Mas kenapa kerja terus, sih? Nanti sakit, gimana? Cari uang mulu, memang buat apa? Hidup kita udah cukup, kok." Alexander tersenyum, lebih mendekat agar kedua lengannya bisa menyusup masuk di balik lengan dan paha Rose, berniat menggendong sang istri. "Eh?" Alexander membawa Rose pergi ke kamar. Ruby sudah tidur di kasur kecil yang berada di sudut. Dibaringkannya sang istri yang sebenarnya sangat cantik dan segar sebelum tidur. Dia saja yang sibuk dengan berkas, tak memperhatikan kecantikan istrinya ini. Tidur berdampingan, Alexander tersenyum sambil mengusap pelan sisi paha istrinya itu dengan lembut. Ada aura nakal yang terbit di bias wajahnya. "Ruby, kan, udah gede. Gimana kalau kita kasih adek lagi?" usul Alexander. Rose mendecak, lalu bergerak untuk mencium sekilas bibir Alexander. "Ya dari kemarin-kemarin juga Masnya main bobol aja, nyeruduk terus. Setengah tahun terakhir, malah! Kenapa baru bilang mau nambah baby lagi?" Alexander menautkan alis, bingung. Memang setengah tahun terakhir ini dia mulai gencar meniduri sang istri karena begitu berhasrat dan ingin menambah momongan. "Loh? Aku diem-diem aja karena aku mikir kamu belum siap. Kamu nggak isi karena kamu minum pil KB atau apa," sahut Alexander. "Ya nggak, Mas. Nggak ada aku minum gituan. Aku nyantai aja, kok. Ya udah, mungkin belum dikasih rejeki sama Allah." Alexander mengangguk, memegang dua pipi Rose untuk mencuri ciuman mesra penghantar tidur. Kecupan berbalut gelora asmara. Lima tahun mahligai itu telah dibangun. Si kecil Ruby juga sudah berusia empat tahun, mendampingi hubungan romansa mereka. Malam yang dingin berubah hangat ketika mereka saling mendekap mesra. Sementara itu, Han terbangun dari tidur karena ingin mengisi perutnya yang terasa lapar karena ikut lembur dengan tugas kantor. "Masih ada sisa makanan, nggak, ya?" Han berjalan malas, mencari makanan yang bisa menyumpal perut. Tak lama, dia terkejut saat mendengar suara dering telepon. Tengah malam begini, suara panggilan terasa mengerikan. "Apaan, sih? Nelepon malam-malam gini," dumelnya. Han pun mendekati ruang tengah untuk mengangkat gagang telepon itu. Duduk di sofa, menyenderkan kepalanya karena terasa berat dan mengantuk. "Halo, Kediaman Narendra Atmadja. Ada yang bisa dibantu?" Untuk beberapa detik, tak ada kata yang terurai dari seberang telepon. Sempat Han merinding, berniat menutup lagi karena yang terdengar di sana hanya suara hening dan deru napas berat. "Iseng banget, sih!" geram Han. "Han." Han terkejut. Suara itu membuat kesadarannya kembali utuh. Suara yang begitu dia rindukan. Suara Samantha. Dia bisa mendengar suara itu lagi setelah bertahun-tahun berpisah. Samantha lebih sering mengirim surat. Hanya beberapa kali dalam setahun, dia akan menelpon. Terakhir kali panggilan sekitar enam bulan yang lalu, kini Han mendengar suaranya lagi. "Sam." "Han. Gue mau pulang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD