Suara Han terdengar lirih, membuat tangan Samantha gemetar karena yakin bahwa dia pasti menyimpan rasa sakit di hatinya. Samantha berjongkok, menekuk lututnya agar bisa berhadapan sama rendah dengan Han yang sedang berada di lantai.
“Han?"
“Berhentilah, Sam. Dia bukan milik lo lagi,” lirih Han.
Ingin rasanya Samantha menanggapi dengan candaan seperti biasa, namun bias Han menyiratkan kepiluan. Disentuhnya bahu itu, menatap dengan serius.
“Ada apa, Han? Gue bingung. Coba katakan dengan jelas. Siapa yang lo maksud?”
Han menarik napas panjang, bersiap mengatakan hal itu pada Samantha. Dia memalingkan wajah ke kiri, tak ingin langsung melihat binar mata sahabatnya itu.
“Rose. Dia bukan milik lo lagi. Dia milik Alex, sekarang."
Samantha belum menjawab, lalu beranjak bangkit dan menatap serius sahabatnya itu. Tanpa suara, Han akhirnya beranjak karena Samantha pasti tak percaya yang dia katakan.
“Berhentilah. Sejak awal ujian ini nggak pernah ada. Pak Narendra sengaja nyuruh lo pergi supaya lo nggak menghancurkan akad kemarin.”
Selangkah Samantha mundur, langkahnya limbung hingga pinggangnya menabrak ujung meja. Han sangat khawatir. Tak ada bias rasa sakit di wajahnya. Samantha mulai tersenyum meski matanya terlihat basah. Dia yakin Han takkan berbohong padanya. Akan tetapi, dia yang ingin menyangkali itu.
“Lo datang jauh-jauh ke sini cuma buat ngerjain gue, ya? Please, Han. Ulang tahun gue masih bulan depan. Ini nggak lucu,” kata Samantha, terbata.
Samantha memunggunginya. Tanpa mengatakan bahwa dia percaya atau tidak, air matanya jatuh menetes. Bukan karena dia mempercayai perkataan Han, tapi karena memang dia memiliki firasat buruk beberapa hari ini. Digenggamnya kaos di sisi dadanya, menahan rasa sakit atau memukulnya agar dia sadar dari mimpi buruk ini.
“Sehari setelah lo pergi, Alex dan Rose melangsungkan akad nikah. Sekarang dia kakak ipar lo, Sam.”
Prang!
Han terkejut saat Samantha menepis kasar gelas yang berada di atas meja, lalu hancur berkeping-keping di lantai. Pria itu berbalik, menunjukkan mata marah pada Han.
“Lo ngomong sekali lagi, gue patahin tangan lo, Han!” kecam Samantha.
Bukannya takut, Han justru menunduk. Dia mengurangi jaraknya dengan Samantha. Dipeluknya erat sahabatnya itu, mengusap punggungnya lembut.
“Maaf. Harusnya gue bisa cegah pernikahan itu. Gue dan Rose udah berusaha. Gue udah coba hubungi lo. Tapi nomor telepon yang lo kasih sebelumnya itu salah, Sam. Semua ini permainan bokap lo.”
Tangan Samantha bergetar. Ya, Han takkan mungkin bermain dengan lelucon sekonyol ini. Samantha meraih punggung Han, menyandarkan rasa sakitnya. Han hanya bungkam, membiarkan Samantha berteriak dan menangis karena pengkhianatan sang ayah. Jika saja saat itu dia egois, mungkin dia akan membawa kabur Rose dan tak peduli dengan martabat mereka. Ya, hanya mempedulikan harkat derajat Keluarga Atmadja. Alexander yang lebih berwibawa dan memiliki karir cemerlang itulah yang disodorkan Narendra untuk mempersunting Rosea Carmila.
“Nggak, Han. Ini nggak benar, kan? Please, katakan kalau lo bohong, Han.”
Han melepaskan pelukan Samantha, lalu berjalan ke sisi kasur. Dia mengambil jaketnya untuk meraih selembar foto akad Alexander dan Rose beberapa hari lalu.
“Kembalilah. Minta penjelasan sama bokap lo.”
Samantha menerima selembar foto itu. Tangannya gemetar dan memandang dengan tatapan penuh air mata. Kekasih yang diperjuangkan selama ini tak bisa lagi dia miliki atau disentuh. Samantha jatuh ke lantai, membiarkan luka membalutnya untuk malam ini lewat tangisan. Han hanya menatap miris, bungkam.
*
Alexander menjauh saat gelas dari atas meja itu jatuh ke sisi kakinya. Dia sedang berada di dapur untuk menyiapkan sarapan pada nampan dan segelas s**u. Bibi tua itu terkejut dan mendorong tuan mudanya itu untuk menjauh.
“Den Alex, jauh-jauh dulu ini. Biar bibi bersihin dulu.”
“Tapi ini sarapannya-“
“Udah. Duduk dulu di situ!”
Alexander hanya menuruti. Tak lama, si bibi menyiapkan kembali segelas s**u untuk dia letakkan di atas nampan yang sepertinya Alexander sudah tak sabar lagi untuk membawanya.
“Kenapa Non Rose masih di kamar aja, Den? Manten baru ini betah banget di kamar,” kata si bibi.
“Nggak tau, Bi. Itu mungkin dia masih kangen rumah aja. Masih belum beradaptasi. Ya udah, aku antar ke kamar dulu, ya!”
Si Bibi hanya tersenyum melihat tuan mudanya itu begitu kasmaran dan sering tersenyum sejak menikah. Pria itu masuk ke kamar, melihat istrinya masih duduk melamun di atas kasur. Tak ada yang berubah dari bias Rose setelah beberapa hari pernikahan. Alexander hanya mengira bahwa dia masih merasa tak nyaman karena dipaksa menikah saat dirinya belum siap.
“Makan, Rose!”
Rose tak menjawab. Alexander meletakkan nampan sarapan itu di atas meja rias. Begitu baik dan memperhatikan Rose hingga wanita itu semakin merasa bersalah jika suatu saat nanti, Alexander mengetahui apa yang terjadi.
"Sampai kapan Mas Alex ngelakuin ini?" tanya Rose, kesal.
"Ngelakuin apa? Maksudnya, nganterin sarapan ke kamu?" tanya Alexander, tersenyum.
"Aku nggak akan mungkin jatuh cinta sama Mas. Ngerti?!"
Tatapan marah Rose hanya dijawab senyum oleh Alexander. Pria itu duduk lebih dekat, berada di sisi paha gadis itu agar mereka bisa saling bicara tanpa jarak.
"Papa kamu nitipin kamu di sini itu buat dijaga, Rose. Nggak peduli gimana hubungan kita nantinya, aku tetap harus jaga kamu. Kalau soal kamu nggak cinta sama aku, itu urusan kamu. Yang jelas, aku punya hak untuk jatuh cinta dan sayang sama kamu."
Mengusap kepala Rose sesaat, lalu Alexander mendekati lemari untuk mengambil stelan jas kantor karena dia harus bekerja hari ini.
"Aku mulai ngantor hari ini. Nanti kalau ada apa-apa, telepon aku aja, ya."
Rose tak menjawab. Alexander berhenti menaikkan kaosnya ke atas. Sungkan untuk mengganti baju di hadapan sang istri. Dia pun pergi ke toilet untuk bersiap-siap.
Rose menunduk, meremas selimut karena tak tahan menanti kapan Samantha akan pulang.
'Kapan kamu kembali, Sam?'
Mungkin ada yang berubah jika Samantha kembali nanti. Rose hanya perlu bersabar, menanti janji sang kekasih untuk memilikinya.
*
Han menatap Samantha yang duduk lemas di dinding. Selembar foto itu masih berada di tangannya. Hampir lima jam dia berada di sana, enggan beranjak.
"Sam!"
Panggilan itu tak digubris Samantha lagi. Han mendekati sahabatnya itu, memberikan segelas air pada Samantha. Bahkan dia menyodorkan langsung ke sela bibirnya agar Samantha langsung minum dari tangannya. Jika tidak, mungkin dia akan terus membiarkan perutnya kosong dan hatinya yang penuh akan kesedihan. Han miris melihat keadaan sahabatnya ini yang sekarang sedang terpuruk.
"Kita pulang sekarang? Biar gue bilang ke Rizky untuk pesan tiket penerbangan ke Jakarta, hari ini."
Samantha belum menjawab, lalu beranjak sigap ke sudut kamar. Dia meraih gagang telepon dan memutar nomor telepon rumah. Han hanya menanti apa yang akan dilakukan Samantha selanjutnya. Hanya bisa menopang dan menanggung rasa sakit yang sama.
"Halo," sahut dari seberang sana.
Samantha tertegun. Suara Alexander, sang kakak. Betapa dia marah dan ikut membenci pria itu karena mengambil kekasihnya.
"Mana bokap?" tanya Samantha, mulai bersuara.
"Sam? Sam, kapan Lo balik? Sam, pulang please! Cepat pulang sekarang! Gue mau cerita banyak, Sam."
Pelan-pelan raut wajah Samantha berubah teduh. Saat mendengar betapa antusiasnya suara sang kakak di sana, Samantha bisa ikut merasakan kebahagiaan yang mengakar kuat di hati Alexander. Kakaknya itu benar-benar jatuh cinta pada Rose, sang istri.
"Lo pasti marah sama gue, ya? Sorry, gue juga nggak tau nikahnya dadakan banget. Lagian elo, sih, perginya juga buru-buru gitu. Serius banget pengen kuliah di sana," ujar Alexander.
Entah apa yang dikatakan Narendra tentang Samantha. Alexander hanya mengetahui bahwa Samantha pergi karena urusan kuliah lanjutannya.
"Pokoknya lo pulang hari ini. Gue serius!"
Samantha menutup panggilan, meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya. Tatapannya beralih ke arah Han, sahabatnya itu seolah menanti akan keputusan Samantha.
"Ayo kita pulang, Han!"
*
Beberapa jam berlalu menembus perjalanan udara, akhirnya pesawat asal London itu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Selama di pesawat, Han hanya menatap kasihan pada Samantha. Dia yang saat ini entahlah harus marah atau mengalah, dia tak tahu pasti.
Setelah turun, Samantha menghabiskan waktu beberapa saat menunggu Han untuk mendapatkan koper mereka kembali. Samantha berjalan ke sudut, mendekati telepon umum untuk menghubungi Alexander di sana. Mereka tiba di Jakarta selepas senja. Pun untungnya, hujan baru turun setelah itu.
"Halo, Lex."
"Ya, Sam? Lo di mana? Jadi pulang, kan?" Suara antusias Alexander terdengar lagi.
Alexander adalah kakak yang baik. Terlihat tegas dan dingin pada sang ayah, tapi selalu lembut dan melindungi Samantha sejak kematian ibu mereka. Apakah dia siap berkonflik dengan sang kakak yang dia sayangi itu?
"Sam!"
"Iya, baru sampai, nih. Masih mau ambil koper dulu."
"Tunggu di situ. Biar gue jemput!"
Klek! Panggilan diakhiri.
Di rumah besar Keluarga Atmadja, Alexander berlari ke kamar setelah mengangkat telepon dari ruang tengah. Dia baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja.
Alexander membuka pintu, mendapati istrinya itu sedang melipat pakaian di atas kasur.
"Udah makan, Rose?" tanya Alexander.
Tak ada jawaban. Pria ini tak pernah sekalipun lupa menanyakan apakah lambung istrinya ini sudah terisi apa belum. Istri hanya di atas kertas karena sampai detik ini, mereka belum saling bersentuhan untuk menuntaskan nafkah batin usai menikah.
"Mau ke mana?" tanya Rose saat melihat Alexander terburu-buru membuka kemejanya.
Karena begitu antusias, dia bahkan tak malu bertelanjang d**a di depan istrinya ini, tak seperti biasanya yang mengganti pakaian saja harus kabur ke kamar mandi.
Rose mengalihkan wajah sebab malu melihat tubuh sang suami ini terekspos di depan matanya. Terlihat pucat, namun tak kalah kekar dari Samantha, terlihat bagus susunan otot d**a dan perutnya. Juga otot lengan itu bukanlah mainan. Pantas saja dia terlihat sangat gagah dengan kemeja dan jasnya. Pria ini memang sangat tampan hingga Rose merona. Selanjutnya, Alexander memakai kaos oblong berlapis jaket dan celana jins longgar.
"Sam udah sampai bandara. Ini mau aku jemput."
Rose terkejut. Sontak, dia bangkit dari kasur dan berdiri mendekati Alexander.
"Apa aku boleh ikut?"
Alexander belum menjawab, lalu pelan-pelan bibirnya mengukir senyum.
"Aku bosan di rumah. Boleh ikut?"
Alexander mengangguk, lalu mengambil kunci mobil yang ada di atas meja.
"Kalau aku tau kamu pengen jalan keluar, udah dari kemarin aku bawa kamu pergi. Jadi nggak di kamar terus."
Alexander menyimpan senyum tipis karena bisa pergi bersama dengan Rose. Mobil itu pun melaju cepat menuju bandara agar tak diburu hujan yang bisa menimbulkan kemacetan.
Lima belas menit berlalu, Samantha keluar dari bandara bersama Han, menanti Alexander yang berniat menjemputnya.
Sudah hampir setengah jam, Alexander belum tiba juga.
"Kita naik taksi aja, Sam," bujuk Han.
"Ya!"
Han membuka payung agar mereka keluar dari pelataran, berjalan perlahan untuk berhenti di dekat halte. Ternyata tak jauh dari sana, mobil Alexander mogok karena terjebak lubang genangan air.
"Maaf, ya. Kamu di sini dulu, aku cari bantuan," pinta Alexander.
Rose tak menjawab, menatap Samantha yang ternyata berada di halte sana. Ada rasa lega yang muncul di d**a Rose karena pasti, kekasihnya itu akan membebaskannya dari belenggu pernikahan yang tak diinginkan. Sebab janji dengan Samantha, Rose masih bungkam.
"Sam?!"
Alexander bahagia bisa bertemu segera dengan adiknya itu. Dia keluar dari mobil, lalu menyebrang jalan raya lalu lalang di tengah hujan agar bisa menemui Samantha di sana.
"Sam!"
Samantha membisu saat kakaknya itu menabrakkan badannya untuk memeluk erat. Tak ada kata atau raut bahagia di wajahnya, hanya menikmati suara antusias dan kerinduan Alexander yang menyusup ke telinganya.
"Lo lama banget, sih? Gue kangen, Sam!"
Han menatap miris senyum Alexander yang bagai racun untuk Samantha. Kebahagiaannya hasil rampasan dari asa sang adik. Samantha hanya tertegun dan menatap Rose di dalam mobil. Kekasihnya yang kini telah menjadi iparnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Sam, gue udah nikah sama Rose. Gue cinta banget sama dia. Harusnya kemarin Lo ada di sana. Gue udah sayang banget segininya sama dia."
Sakit. Samantha terus menahan perasaan kacaunya saat ini. Di sana, Rose sudah tak tahan dengan semua takdir buruk yang dia hadapi. Dia keluar dari mobil, bermandikan hujan dan ingin segera berlari menemui Samantha di sana.
"Rose," desis Samantha.
Alexander tersadar, lalu berbalik ke belakang dan melihat istrinya itu sudah hujan-hujanan di sana. Pandangannya beralih pada Han yang sedang memegang payung.
"Pinjam sebentar, Han!"
Alexander sangat antusias ingin menjemput istri cantiknya itu untuk bisa bercengkrama dengan adiknya ini.
"Kita cari makan di luar dulu, ya! Bentar, gue jemput istri gue."
Samantha mengeratkan jemarinya. Istri. Alexander begitu bahagia mendapatkan Rose sebagai istrinya. Dia berlari menyebrangi jalan untuk menjemput Rose.
Hanya sedetik tatapan Samantha beralih, dia melihat kakaknya itu jatuh di aspal. Bersimbah darah dari kepala dan kakinya saat mobil itu menabraknya keras dan begitu laju dari belakang lampu merah.
"Alex?"
Rose menjerit dari sana. Kejadian mengerikan itu menjadi pusat perhatian orang sekitar. Han sibuk mencari tumpangan agar membawa Alex ke rumah sakit. Samantha mematung, menatap Rose yang sudah berada di dekat Alexander dan memeluknya erat. Darah tak henti keluar meski air hujan terus menyapunya. Han menarik tangan Samantha agar membantu untuk mengangkat sang kakak.
"Apa ini karmanya, Han?" lirih Samantha, sinis.