Bab 15. Arogansi

1564 Words
Satu jam berlalu, tak ada jawaban dari Rose ketika Alexander terus menghubunginya. Bersyukur Ruby cepat ditangani dan terselamatkan, tapi kecerobohan Rose membuat Alexander jengkel. Tak lama, dokter itu keluar untuk memberi kabar lanjutan pada Alexander. Minah juga masih di sana menemaninya. “Pak Alex. Sepertinya kami perlu melakukan pemeriksaan keseluruhan terkait kesehatan Ruby. Melihat dari riwayat kesehatannya selama ini, saya rasa mungkin ada sesuatu yang mengkhawatirkan,” ujar dokter itu, menerangkan. Alexander mengangguk, menyerahkan semua tanggung jawab penanganan pada dokter itu. “Lakukan yang terbaik, Dok!” Alexander diizinkan masuk untuk menemui putra kecilnya yang masih berusia empat tahun. Disentuhnya kepala berbalut perban itu, menjatuhkan air mata karena tak tega melihat jarum infus menusuk tangan mungilnya yang pucat. “Maaf, Sayang. Papa lama pulangnya,” lirih Alexander, lalu menjejakkan ciuman di kepala sang putra. “Lusa Ruby ulang tahun, kan? Papa udah beli banyak mainan. Bangun, ya! Cepat sembuh.” Alexander sangat mencintai putranya itu. Rose yang membahayakan nyawa Ruby tentu takkan bisa dia maafkan semudah itu. Rose hanya terlalu khawatir pada sang ayah. Setelah dilarikan ke rumah sakit akibat terpeleset di kamar mandi, dokter mengatakan sang ayah mengalami fraktur pada kaki dan ada kemungkinan dia stroke. Rose menyentuh tangan pria bernama Edward itu. Tak ada istri yang menjaganya, tentu putri satu-satunya lah yang diharapkan menemani masa tuanya. “Pa, cepat sembuh, ya! Aku nggak tau kalau Papa lagi sakit. Tau gitu, aku pasti sering mampir ke rumah,” ujar Rose sambil mencium punggung tangan beliau. Handphone-nya tak menyala karena habis baterai hingga tak mengetahui kabar buruk yang menimpa putranya. Saat hampir sore, Rose baru menyadari handphone-nya mati. Dia pun pergi ke lorong di mana ada telepon umum di sana. Dirogohnya beberapa koin dari dalam dompet, berniat menghubungi orang rumah. Tentu dia tak berpikir kecelakaan itu terjadi, mengira Minah pasti sudah menjemput Ruby dan putranya itu sedang bermain di rumah. “Halo!” sahut suara dari seberang telepon di Kediaman Atmadja. “Han, apa Mas Alex-" “Rose? Kamu nggak bersama Alex? Tapi tadi Pak Narendra nyusul ke rumah sakit untuk gantian jaga Ruby di rumah sakit.” Lututnya melemas. Apa yang terjadi pada putra mungilnya itu? Digenggamnya gagang telepon itu dengan kedua tangan karena gugup. “A-aku tadi pulang ke rumah. Papaku jatuh di kamar mandi dan ini aku lagi di rumah sakit. Papaku stroke, Han.” “Ya Allah, Rose. Itu pasti Alex salah paham. Iya, tadi pagi Ruby jatuh di sekolah. Alex pulang, dapat kabar itu trus nyusul ke rumah sakit. Dia nggak nelepon kamu?” Rose segera menutup panggilan dan segera kembali ke ruang rawat sang ayah. Sangat bingung memilih harus menjaga ayahnya atau melihat Ruby, putranya yang kini dirawat di rumah sakit lain. “Sus,” panggil Rose saat perawat itu masuk. “Ya, Mbak.” “Saya permisi pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kabarin nomor yang tertera di surat administrasi itu, Sus.” “Baik, Mbak.” Rose berlari dengan langkah cemas. Sesekali dia menyeka keringat karena lelah mengurusi sang ayah. Lambungnya bahkan tak tersentuh makanan atau air sejak tadi karena sangat sibuk. Dia adalah seorang putri dan ibu yang kini pontang-panting untuk membagi perhatiannya. Sementara itu, Han baru saja meletakkan gagang telepon setelah panggilan diputus Rose sepihak. Melangkah dua tapak, telepon berdering lagi. Disambutnya panggilan itu, mungkin dari Rose. “Halo, Rose.” “Ya, Jack!” Han terkejut. Itu adalah suara Samantha. “Sam? Ada apa? Gimana? Lo jadi pulang akhir bulan ini? Jangan bilang diundur atau batal! Sumpah! Gue bakal ke sana sekarang juga. Titik.” “Gimana caranya lo ke sini? Paspor lo ditahan bokap gue, kan? Pake baling-baling bambu aja, atau pintu ke mana saja-nya Doraemon.” “Dih! Ngelawak nih anak!” gerutu Han, namun terbias senyum di bibir pria berkacamata itu. Beberapa detik tanpa suara, hanya mendengar hela napas Samantha saat dia menghembus karbon dioksida lepas yang diproduksi paru-parunya. “Jakarta udah makin cantik, ya, sekarang! Ini bandara juga udah rapih banget. Suka, gue! Iyalah! Udah tahun 2000 gini, tahun millennium. Mana mungkin nggak ada pembaharuan. Oh iya, siapa presiden sekarang? Masih Pak Soeharto?” Sejak tadi jantung Han terus berdegup kencang. Apakah Samantha benar sudah ada di Jakarta, sekarang? “Nggak cinta negara banget, lo. Udah kapan tahun diganti, malah sempat pak Habibi. Ini udah Pak Abdurrahman Wahid.” Terdengar tawa kecil dari seberang sana. Samantha menipiskan suaranya, beriring suara intercom yang terdengar dari seberang sana, menyusup ke telinga Han. “Gue udah di bandara, sekarang. Gue udah di Jakarta, Han.” Tak ingin menunggu lagi, Han segera menutup pembicaraan untuk bisa bergegas menuju bandara. Menjemput sang sahabat, juga membantunya tetap tegar seiring berjalannya waktu. * "Mas!" Alexander menoleh ke arah pintu saat Rose baru saja tiba di ruang rawat Ruby. Peluh keringat membanjiri dahi dan sisi lehernya. Wajahnya sangat khawatir, terlihat pucat karena sedikit lemas. Dia berusaha secepat mungkin itu bisa cepat sampai dan menemui putranya. "Ruby gimana, Mas?" tanya Rose sambil mendekati kasur Ruby. Tak ada sahutan dari Alexander, hanya menatap dingin. Belum sempat menuding sang istri yang terlihat merasa bersalah, seorang perawat masuk untuk bicara dengan mereka. "Dokter memanggil Bapak dan Ibu ke ruangannya." Alexander segera beranjak, meninggalkan sang istri begitu saja yang mengekor di belakangnya. Sesampainya di depan meja dokter itu, Alexander harus menahan pedih hatinya setelah mengetahui kondisi putranya. Rose hanya bungkam, membiarkan air mata jatuh bebas. Hari ini dia mengalami dua hal buruk bersamaan pada orang-orang terkasihnya. Dokter itu sudah menyampaikan analisisnya, lalu beliau menambahkan. "Vertigo yang diderita Ruby ini sepertinya mengarah pada satu penyakit tertentu. Sampai hasil lab keseluruhannya keluar, baru saya bisa memastikan." Vertigo, sakit kepala yang disertai pusing di mana seolah merasakan tubuh tidak seimbang dan berputar-putar, hal ini bisa menimbulkan efek buruk hingga kecelakaan terjadi. "Jadi selanjutnya bagaimana, Dok?" tanya Rose, cemas. "Tidak apa-apa. Untuk saat ini kondisinya stabil. Dia baik-baik saja. Memang kadang vertigo itu tidak akan muncul jika tak ada pemicunya." "Tapi-" Alexander terlihat gugup, begitu khawatir tentang kondisi Ruby. "Dia bisa sembuh, kan?" Dokter itu tak menyahut, lalu menyinggung soal perbedaan golongan darah Ruby dan kedua orangtuanya ini. Tadinya berharap pada Rose yang memiliki Rhesus sama dengan Ruby, yaitu negatif. Tapi istrinya itu tak berada di tempat. "Kecelakaan seperti ini sewaktu-waktu bisa terjadi. Sebaiknya memang ada anggota keluarga yang memiliki golongan darah yang sama dengan Ruby. Atau minimal bergolongan darah A, B, O, atau AB yang rhesus negatif." Setelah menyampaikan hal tersebut, sepasang suami istri itu keluar dari ruang dokter. Mereka disambut oleh Narendra, sang kakek yang begitu cemas. "Apa yang terjadi, Lex?" Rose terlihat pasrah, duduk lelah di kursi. Alexander pun menceritakan apa yang dokter sampaikan tadi. Juga tentang harapan sang dokter bahwa setidaknya ada seorang anggota keluarga yang bisa menjadi penolong jika sewaktu-waktu dibutuhkan. "AB negatif?" "Iya, Pa." "Sam." Pria tua itu teringat pada putra bungsunya. Alexander mewarisi Rhesus positif darinya, sementara golongan darah Samantha sama dengan almarhumah ibunya yang telah meninggal. Saat dibutuhkan seperti ini, Narendra baru teringat akan putranya. Karena melihat wajah lelah Alexander dan Rose, Narendra meminta mereka pulang dan beristirahat. Dia dan Minah yang akan berjaga di rumah sakit. Alexander baru saja kembali dari dinasnya, sementara Rose tampak pucat dan kelelahan setelah mengurusi sang ayah. Setidaknya Narendra sudah mendengar kabar tentang Edward, sahabat baiknya itu. "Kami pulang dulu, Pa!" Sejak tadi, Rose hanya menatap raut wajah suaminya itu. Begitu dingin hingga dia takut menegurnya. Jalanan menjadi sangat panjang ketika diisi keheningan. Setibanya mobil itu di depan halaman rumah, Alexander membanting pintu mobil hingga membuat Rose menyadari suaminya ini sangat emosional. "Mas Alex!" Rose segera mengejar langkah Alexander ke dalam rumah. Saat berhasil menggamit lengan Alexander, pria itu terhenti. Ditariknya kasar lengannya hingga membuat Rose terkejut. "Mas kenapa?" tanya Rose, sedikit takut. "Kenapa, kamu bilang? Masih berani tanya, kamu?! Kamu nggak bertanggung jawab, ya! Ninggalin anak kecil, umur empat tahun sendiri di taman bermain gitu aja. Punya otak, nggak, kamu?!" Rose tersentak, takut. Bukannya dia tak menyadari kesalahannya, dia tahu dan tanpa sadar berlari karena cemas memikirkan sang ayah. Sempat dia teringat Minah, hingga dia bisa lega untuk menangani ayahnya. "Ma-maaf, Mas. Aku nggak sengaja. Papaku-" "Apa papa kamu lebih penting daripada nyawa Ruby?!" pekik Alexander. Rose tak berani sekadar mengangkat pandangannya. Tentu keduanya berarti bagi Rose. Tak ada pembelaan apa pun, dia hanya bisa mengurai tangis dengan tangan gemetar. Ini pertama kalinya Alexander bicara dengan nada setinggi ini setelah lima tahun pernikahan mereka. Rose tak bisa menahan air matanya yang luruh. "Harusnya kamu bawa pulang Ruby kalau memang kondisi papa kamu itu urgent! Ninggalin seenaknya! Nggak becus kamu jadi ibu! Kalau tadi Ruby nggak selamat, apa yang bisa kamu lakukan lagi, Rose?!" Rose lebih mendekat untuk memohon maaf pada suaminya itu. Sudah cukup hatinya sakit karena kecemasan akan ayah dan putranya. Dirinya bahkan sangat lemah sekarang. Kemarahan Alexander semakin membuatnya tak berdaya. "Maaf, Mas. Aku nggak sengaja." "Maaf?! Setelah semua ini kamu minta maaf?! Putraku kecelakaan separah itu dan kamu sebagai ibu, cuma bisa bilang maaf?!" Rose memegang tangan Alexander untuk meluluhkan hati sang suami yang saat ini dilingkupi kemarahan. Begitu besar cinta pada sang putra hingga dia tak bisa mengendalikan emosionalnya. "Mas, aku-" Alexander masih tak terima, disentaknya kasar tangan Rose yang memegangnya hingga wanita itu limbung. Dia yang hampir saja jatuh ke lantai jika punggungnya tak ditahan oleh seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Lengan hangat dan aroma tubuh yang masih diingat jelas oleh Rose. Juga sinar mata tajam yang masih dikenal oleh Alexander saat berhadapan dengannya. Samantha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD