BAB 1: PERASAAN ARJUNA
SELAMAT MEMBACA
***
Arjuna menatap kesal pada pemandangan di depannya. Di depan matanya seorang gadis berambut panjang, berseragam putih abu-abu baru saja turun dari boncengan motor teman lelakinya. Dia adalah Aruna, Aruna Putri Septian. Gadis cantik, yang tengah duduk di bangku kelas 12 itu tengah berbincang ramah dengan temannya. Tertawa lepas di halaman depan rumah. Tanpa mereka sadari, sejak tadi sepasang mata mengamati mereka dengan emosinya. Dari tempatnya berdiri, Arjuna dapat melihat Aruna yang tengah tertawa bersama teman laki-lakinya itu. Bahkan sesekali, tangan pemuda itu menyentuh rambut milik Aruna. Jika tidak memikirkan kewarasannya, ingin rasanya Arjuna menyeret Aruna untuk masuk kedalam rumah saat itu juga. Namun, lagi-lagi Arjuna berfikir siapa dia sampai-sampai berani bersikap demikian.
"Aruna, masuk sudah sore." Arjuna tidak bisa lagi menahan mulutnya untuk tidak bersuara. Mulutnya spontan memanggil untuk menyudahi pertemuan kedua pemuda dan pemudi itu.
Begitu mendengar panggilan Arjuna, Aruna langsung menoleh dan mengangguk. Tak lama kemudian, gadis itu berlari kecil menuju tempat di mana Arjuna menunggunya.
"Pulang sekolah bukannya langsung pulang, malah ngapain kamu itu?" tanya Arjuna dengan ketusnya. Aruna yang di tanya demikian merasa takut, apalagi melihat tatapan marah Arjuna padanya.
Arjuna, anak laki-laki dari majikan kedua orang tuanya. Laki-laki yang sudah dia anggap seperti kakak laki-lakinya sendiri. Meski dia dan Armaya adiknya hanya anak pembantu dan tukang kebun namun Arjuna dan kembarannya Rinjani sudah menganggap Aruna dan Armaya sebagai adik mereka sendiri. Begitupun dengan Aruna dan Armaya, mereka tidak pernah menganggap Arjuna dan Rinjani sebagai orang lain melaikan saudaranya sendiri.
"Iya, maaf Bang." Ucap Aruna sambil menunduk dalam. Dia benar-benar takut mengundang kemarahan Arjuna. Cukup laki-laki itu berkata ketus, sudah membuat nyalinya ciut. Apalagi jika sampai marah.
"Jangan di ulangi lagi." Setelah mengatakan itu, Arjuna langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Aruna yang diam-diam menghembuskan nafasnya dengan lega.
"Selamat..." guman Aruna lirih sambil mengusap dadanya pelan.
"Makanya kalau tidak mau di marahi itu, jangan aneh-aneh." Aruna langsung menoleh, ternyata ibunya yang berbicara.
"Ibu ngagetin." Keluh Aruna pada Sarni yang datang sambil membawa sapu lidi di tangannya.
"Dari mana kamu Runa, jam segini baru pulang. Di antar siapa tadi?" tanya Sarni dengan penuh selidik pada anak gadisnya itu.
"Tadi ada jam tambahan Bu," ucap Aruna lirih.
"Sampai sore begini?" Sarni merasa kurang puas dengan jawaban putrinya itu.
"Terus, beli es campur dulu sebentar di lapangan. Asik ngobrol sampai lupa waktu." Aruna takut di marahi, dia hanya bisa menunduk dalam diam.
"Besok lagi jangan begini. Kalau pulang sekolah ya pulang dulu. Jangan biasakan mampir-mampir. Apalagi masih pakai seragam begini."
"Iya Bu, maaf."
"Sudah sana masuk, ganti baju terus makan. Atau kalau tidak pulang aja, Ibu juga sudah masak tadi di rumah."
"Iya."
Setelah mengatakan itu, Aruna langsung masuk kedalam rumah. Tidak pulang, dia masuk kedalam rumah milik Arjuna. Rumah yang sudah dia anggap sebagai rumah keduanya. Bahkan dia sering lebih menghabiskan waktunya di rumah itu, ketimbang rumahnya sendiri.
***
Malam harinya, Arjuna tengah duduk dengan santai di depan TV sambil sesekali membaca buku di tangannya. Aruna dan Armaya tengah duduk lesehan di bawah, sambil masing-masing berhadapan dengan buku pelajarannya.
Aruna yang sebentar lagi akan Ujian Lulus sekolah menengah atas dan masuk perguruan tinggi. Sedangkan Armaya adiknya, akan menempuh ujian lulus dari sekolah menengah pertama dan masuk ke sekolah menengah atas. Tentu saja kakak beradik itu harus semakin giat belajarnya.
"Arma kalau lulus mau lanjut ke mana?" tanya Arjuna pada Armaya. Armaya yang di tanya pun menoleh, sedikit berfikir.
"Maunya sih STM Bang," jawab Armaya.
"Kenapa tidak SMA saja."
"Tidak ingin kuliah Bang, lulus STM ingin langsung kerja saja."
"Kenapa?"
"Kuliah kan mahal Bang." Keluh Armaya.
"Kuliah memang mahal, makanya kamu harus belajar yang rajin biar kuliahnya tidak sia-sia. Jangan pikirkan masalah biaya, yang penting sekolah. Biaya itu urusan orang dewasa, ada Abang, ada Ayah, Bunda, Ibu sama Bapak. Kenapa risau." Ucap Arjuna lagi. Aruna dan Armaya memang sudah di anggap anak sendiri oleh Abi dan Utari, sehingga mereka lah yang menanggung biaya pendidikan kedua anak Asep itu. Anggap saja, sebagai balas budi Abi pada Asep mengenai semua yang telah berlalu. Bahkan Abi dan Utari juga membahasakan Ayah dan Bunda untuk Aruna dan Armaya sama seperti Arjuna dan Rinjani memanggil mereka.
"Iya Bang," jawab Armaya pada akhirnya.
"Kalau suka mesin, sekolah STM juga bisa. Nanti lulus lanjut kuliah, ambil teknik mesin. Pokoknya harus sekolah tinggi biar bapak sama ibu bangga anaknya jadi sarjana." Ucap Arjuna lagi.
"Iya Bang, siap." Jawab Armaya dengan patuh. Remaja 15 tahun itu memang selalu patuh dengan apa yang Arjuna katakan. Bahkan dia menjadikan Arjuna sebagai panutannya. Armaya selalu mengagumi apapun yang Arjuna lakukan.
"Kalau Runa, habis SMA mau lanjut kemana?" tanya Arjuna beralih pada Aruna.
Sekarang giliran, Aruna yang berfikir. Dia melupakan sejenak bukunya, mengalihkan fokusnya pada Arjuna.
"Awas kalau sampai kepikiran tidak kuliah mau langsung kerja." Ancam Arjuna dengan tegasnya. Dia melihat Aruna yang tidak kunjung menjawab.
"Mau kuliah kok Bang." Sahut Aruna langsung saat mendengar ancaman Arjuna.
"Mau ambil jurusan apa?" tanya Arjuna lagi.
"Teknik Sipil atau arsitektur."
"Tidak mau jadi ibu dokter?"
Aruna menggeleng pelan. Dia senang melihat orang-orang berprofesi dokter mengenakan jubah putih mereka berperan sebagai pahlawan kemanusiaan tapi tidak memiliki niat menjadi salah satu mereka. Dia hanya mengagumi saja. Lebih tepatnya dia sadar dengan kapasitas otaknya yang pas-pas an dan jurusan kedokteran sepertinya bukan tempat yang cocoknya untuknya.
"Kenapa?"
"Kepingin gambar rumah sakit, bukan kerja di rumah sakit."
Jawaban Aruna mengundang tawa dari Arjuna. Sesederhana itu kah.
"Apapun itu, harus semangat. Kalau memang mau kuliah arsitektur, harus rajin belajar. Nilainya harus bagus. Apalagi kalau mau masuk kampus yang bagus, saingannya banyak."
"Iya Bang," jawab Aruna sambil mengangguk.
"Yasudah, kalian lanjut belajarnya. Nanti tidur disini kan?"
Tanya Arjuna lagi, sejak kepergian Mbok Kem. Memang Aruna dan Armaya lah yang menemaninya setiap malam. Bukan karena takut, tapi agar tidak kesepian saja. Meski rumah Asep dan Sarni tidak terlalu jauh, hanya berjarak beberapa rumah saja tapi tetap saja jika mereka pulang rumah yang Arjuna tempati akan sunyi. Jadi Armaya lah yang setiap malam menemani Arjuna, terkadang Aruna juga menginap disana.
"Iya Bang." Jawab Aruna dan Armaya bersamaan.
Setelah itu, Arjuna pamit kembali kekamar. Jam sudah hampir pukul sembilan malam. Dia ingin istirahat, besok harus bekerja.
Sampai di kamar, bukannya langsung tidur Arjuna justru tidak bisa memejamkan matanya. Matanya segar tidak mengantuk sedikitpun.
Dia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, pikirannya sibuk memikirkan semua hal yang telah terjadi. Perlahan dia meraba hatinya, menelisik perasaannya. Semakin hari, rasa itu bukannya hilang seperti yang dia inginkan justru semakin kuat tertanam. Semakin hari, dia merasa semakin hilang kontrol atas dirinya sendiri. Semakin hari rasa itu semakin mengikis kewarasannya. Dia benar-benar harus bersusahpayah mengendalikannya.
"Semua memang mudah di ucapkan, tapi sulit di praktekkan." Guman Arjuna lirih.
***