Awal yang baru

1167 Words
4 orang itu berada di ruangan yang sama. Soraya menatap Amira dengan penuh kebencian, apalagi ketika tangan sang Ayah menggenggam nya dengan penuh kehangatan. Ibu Desi sesekali menatap sinis, bahkan enggan mengakuinya sebagai menantu. "Kamu udah coba tes DNA? siapa tahu itu bukan anak kamu. Kalau itu emang anak kamu, Kenapa dia nggak minta pertanggungjawaban sejak dulu? Dia pasti nyimpen itu sendiri karena dia nunggu orang yang hamilin dia buat tanggung jawab." Sementara yang Amira lihat, Soraya adalah anak yang penurut dihadapan Ayahnya. "Dia anakku, dia sedang mengandung anakku, dan aku yakin itu, Ibu." "Tapi Ibu tidak akan pernah mengakuinya sebagai anggota keluarga kita sebelum tes DNA mengatakan kalau bayi itu benar-benar anakku, cucu Ibu juga." "Mungkin ada baiknya kalau Ayah turuti kemauan Oma, dengan begitu semuanya akan terlihat dengan jelas." Soraya ikut menambahkan. "Ayah akan nunggu beberapa bulan lagi, setidaknya sampai janinnya sedikit tua, Ayah tidak mau mengambil resiko." "Tapi sebelum anak itu belum jelas dari siapa. Ibu nggak mau tinggal satu atap sama dia, bahkan Ibu nggak anggap dia menantu keluarga Candrawiguna." "Sebab itu aku datang ke sini untuk memberitahu, kami akan tinggal di tempat yang terpisah dengan Ibu dan juga Soraya." Kalimat yang diucapkan oleh Dharma membuat semua orang yang ada di sana terkejut, termasuk istrinya sendiri. "Ayah mau kemana? Ayah tega ninggalin Soraya? Buat dia yang bahkan belum Ayah kenal?" "Jangan gila kamu, Dharma. Kamu mau ninggalin anak kamu demi wanita yang belum pasti asal-usulnya?" "Dia istriku, Ibu, dan dia sedang mengandung anakku. Jika tinggal bersama dengan kalian, kemungkinan besar Amira tidak akan nyaman. Jadi akan lebih baik jika dipisah saja." "Lalu bagaimana dengan Soraya?" tanya perempuan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Menatap sang anak tatapan penuh kelembutan. "Kamu mau ikut? Nggak papa, kamu boleh tinggal sama Ayah, sama Amira juga. bukannya kalian satu kampus dan satu fakultas, bagus kalau ada teman ngobrol tentang kuliah buat Amira." Tentu saja hal itu membuat Soraya bergidik ngeri, Siapa yang ingin berbicara dengan w************n seperti Amira? "Apa bedanya jika kamu tinggal di rumah? Apa sengaja menghindari Ibu?" "Rumah yang kini kita tinggali terlalu luas untuk Amira." "Dharma!" teriak Ibu Desi yang sudah Kehilangan bahan untuk berdebat. "Dia pasti bukan mengandung anakmu." "Ini anak Mas Dharma," ucap Amira dengan suara pelan, memberanikan diri karena lelah terus dituduh. "Berani menjawab kamu ya, dasar anak kurang ajar. Keluarga kamu itu malu-malu tau nggak? Dasar kampungan." Dharma merasa kalau Ibunya sudah tidak terkontrol lagi, jadi dia bergegas berdiri dengan tangan yang masih menggenggam Amira. "Aku pulang dulu, Bu. Nanti kalau pulang kerja, aku mampir lagi ke sini." kemudian tatapannya beralih pada Soraya. "Jaga Oma kamu, nanti kita berdua ngobrol kalau waktunya tepat." Kemudian membawa Amira keluar dari ruangan itu, mengabaikan Ibu Desi yang berteriak Memanggil nama anaknya. sementara Soraya mengepalkan tangannya. Setelah kematian sang Mama, dirinya dan Ayahnya memiliki jarak. Dan kini jarak itu semakin besar saat Ayahnya memilih wanita itu daripada dirinya. *** Amira terdiam sepanjang perjalanan, dia sedikit tidak nyaman ketika Dharma terus menggenggam tangannya. "Kita mau ke mana?" tanya Amira memberanikan diri ketika mobil mengambil jalan yang berbeda. "Rumah baru kita." Setelahnya Amira kembali bungkam, hingga mobil berhenti di sebuah rumah minimalis satu tingkat tapi memiliki halaman yang luas. Dharma menggenggam tangan Amira dan memperbanyak keluar dari mobil. Melangkah memasuki rumah yang dikatakan adalah milik mereka. "Suka?" tanya Dharma ketika mereka masuk beberapa langkah. Amira mengangguk sebagai jawaban. "Kamar kita di sana, mau lihat?" "Boleh," jawaban Amira yang membuat Dharma membawanya ke dalam kamar ukuran 7 x 7 meter. Memang tidak seluas kamar yang Amira tiduri sebelumnya. Tapi kamar ini tetap memiliki sebuah ruangan pakaian, kamar mandi di dalam dan juga televisi. Apalagi jendela yang terbuka memperlihatkan langsung kolam renang yang ada di bagian belakang. "Wah ini sangat indah," ucap Amira melepaskan genggaman tangan Dharma kemudian melangkah menuju sofa yang ada di dekat jendela. Mungkin ini akan menjadi Spot yang favoritkankan oleh Amira. Tubuhnya tersentak ketika Dharma tiba-tiba menyentuh bahunya kemudian mendudukkannya di atas sofa dengan pelan. Dengan pria itu yang berjongkok dihadapan Amira, sambil menggenggam tangannya. "Saya tahu apa yang saya lakukan malam itu adalah sebuah kesalahan besar. Dan saya akan bertanggung jawab untukmu, dan juga untuk bayi kita." Kalimat yang dikeluarkan Dharma membuat Amira terdiam seketika. Apalagi ketika pria itu melanjutkan, "Dan saya yakin Ibu saya tidak akan berhenti mengganggu kehidupan kita. Tapi kita juga butuh waktu untuk membuktikan kalau bayi ini adalah benar keturunan Candra Wiguna. Setidaknya tunggu sampai dia sedikit besar sehingga tidak menimbulkan bahaya. Sampai saat itu, saya harap kamu bertahan dengan semua ocehan dan juga perilaku Ibu saya terhadap kamu." Benar-benar diluar bukan Amira, seorang Dharmawangsa; di mana semua orang yang melihatnya saja sudah memutuskan kalau karakter pria itu adalah sosok yang dingin. "Saya juga akan melindungi kamu, tapi kamu harus melindungi diri kamu sendiri. Terutama pada Soraya, jangan biarkan dia membully kamu lagi." Hal itu membuat Amira menegang, darimana pria itu tahu tentang pembullyan yang dilakukan anaknya? Seolah paham apa yang dipikirkan Amira, Dharma kembali melanjutkan, "Begitu kamu sah jadi istri saya, saya mencari informasi tentang kamu. Dan sangat disayangkan saya menemukan fakta kalau kamu mendapatkan perlakuan buruk dari Soraya selama ini. Maaf untuk itu." Mengingat hal itu kembali, Amira menunduk menatap tangannya yang sedang digenggam oleh Dharma. Matanya berkaca-kaca, bayangan akan jahatnya Soraya dan teman-temannya masuk ke dalam pikirannya dan membuatnya takut. Hingga air matanya jatuh tanpa sadar. Dan yang lebih mengejutkan, Darman tiba-tiba memeluknya. Tapi tidak dipungkiri kalau itu sangat nyaman. "Tidak akan ada yang bisa menyakiti istri dari seorang Dharmawangsa lagi. Tidak usah takut." Saat itu pula Amira menjatuhkan air matanya dengan isakan, memeluk erat sang suami sambil menenggelamkan wajahnya di d**a bidang yang begitu nyaman, apalagi ketika Dharma mengelus rambutnya dengan pelan. Pertanyaan yang membuat Amira penasaran, "kenapa.... hiks..... Masih bisa percaya.... hiks.... Kalau ini..... Anakmu?.... hiks..... Gak ragu kayak Ibu." Dimana Dharma malah menjawab dengan kekehan, dan dilanjutkan dengan kalimat, "Masa saya ragu, kan saya yang jebol kamu. Yang bikin kamu berdarah-darah malam itu, emang siapa lagi yang bikin kamu bunting kalau bukan saya?" Dan saat itulah Amira percaya kalau sosok yang sedang memeluknya ini bukanlah sosok pria yang dingin seperti yang mereka ucapkan. "Udah jangan nangis, istirahat aja dulu. Saya harus pergi ke kantor." Ketika Amira melepaskan pelukannya, Dharma mengusap air mata Amira yang berjatuhan di pipi. Membuat sosok perempuan itu malu. "Tapi baju aku di rumah itu." "Udah ada di ruang ganti. Semuanya lengkap kok." "Dibawa ke sini?" Dharma masih berjongkok dihadapan Amira itu menggeleng. "Beli baru." "Emang Mas tahu ukuran aku?" tanya Amira sambil mengusap air matanya. "Tahu lah, kan saya pernah jelajah tiap inci tubuh kamu. Masa lupa." Di mana Amira membulatkan matanya tidak percaya. "A-apa? Malem itu sadar ya?" Tanya Amira dengan suaranya yang pelan. "Awalnya sih gak sadar, tapi pas udah masuk ya nanggung. Masa gak gerak?" "Kok gitu." Amira merengut kesal. Dharma malah tertawa, dan tanpa ragu mengecup bibir Amira. " Maaf ya, kita mulai dari awal lagi oke?" Amira mengangguk. "Jangan formal lagi ngomongnya, kebiasain panggil Mas biasa gitu. Jangan kaku." "Iya." "Iya apa?" "Iya, Mas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD