Amira mencoba memulai aktivitasnya dengan berbeda seperti hari-hari sebelumnya. Jika biasanya dia harus memasak dengan penuh ketakutan karena keluarga pamannya yang selalu komplain, untuk kali ini Amira memasak dengan tenang. Apalagi bahan-bahan makanan sudah tersedia.
Waktu yang tepat, ketika sarapan selesai dibuat, Dharma keluar dari kamar.
"Kamu masak jam berapa? Mas bangun kamu udah nggak ada di kamar."
"Jam 5."
"Pagi amat. Kalau masih ngantuk tidur aja lagi, nggak usah maksain bikin sarapan."
"Enggak kok, udah kebiasaan bangun pagi," ucap Amira yang ikut duduk di bangku yang berbeda. "Aku nggak tahu Mas suka sarapan pake apa. Jadi masak ini."
Di sana ada nasi, sayur bakso dengan bayam dan juga goreng ikan yang sudah di fillet. Jangan lupakan ada tahu kukus lisan.
"Atau Mas lebih suka sarapan Pakai roti?"
Sebenarnya Dharma terbiasa dengan menu makanan Barat. Namun tidak ada salahnya mencoba menu yang seperti ini.
"Suka kok, masakan kamu enak. Belajar dari mana?"
"Otodidak," jawab Amira dengan senyuman yang manis. Bahagia Ketika sang suami memakan masakannya.
"Kamu udah mandi?"
Amira mengangguk. "Pake air anget, yang Mas ajarin kemaren."
"Kalau mau kemana-mana izin dulu ya."
"Enggak kok mau di rumah aja. Paling juga beli buku biar nggak bosen, angkot masuk nggak Mas ke sini?"
"Jangan naik angkot lah, pesan online aja. Butuh buku apa? nanti mas yang cariin."
Kemudian Amira menyebut beberapa buku mata pelajaran yang ingin dia pelajari. Berbincang ringan dengan sang suami, sampai dia mengantarkan suaminya ke depan pintu.
"Sini, Dek, Mas peluk dulu."
Amira mendekat dan membiarkan pria itu mendekapnya. "Harus terbiasa buat berpelukan kayak gini, oke? Mas tau kalau pernikahan kita bukan dilandasi oleh cinta. tapi mari kita jadi orangtua yang saling menyayangi untuk bayi yang akan segera lahir. Memang tidak mudah melupakan apa yang Mas lakukan malam itu, tapi Mas benar benar ingin memulai semuanya lagi."
Hangat, hati Amira terasa penuh mendengar penuturan Dharma. Perempuan itu mengangguk dan membalas pelukan suaminya. Membiarkan Dharma melakukan apapun, seperti merangkum pipinya kemudian memberikan kecupan di dahi, ujung hidung selalu memberikan lumatan ringan pada bibir istrinya.
"Sama itu juga harus terbiasa, oke?"
"Iya." Amira mengulum senyumannya malu.
"Mas berangkat dulu."
"Hati-hati di jalan, Mas." Amira Melambaikan tangan.
Damai sekali hidupnya saat ini, tidak ada lagi teriakan dari bibi dan paman, atau sepupunya yang menyuruh untuk menghasilkan uang lebih.
Yang Amira harapkan, Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi di masa mendatang.
***
Jam pelajaran telah selesai, dosen mata kuliah itu segera keluar. Belum juga anak-anak kelas A reguler keluar dari sana, anggota BEM Universitas lebih dulu masuk, salah satunya ada Indra di sana.
"Selamat siang rekan-rekan mohon maaf mengganggu waktunya sebentar, kami akan mengadakan sosialisasi tentang seminar yang akan datang di gedung audit," ucap seorang perempuan yang mewakili semuanya.
Sementara Indra melangkah untuk duduk dibangku murid; tepat di dekat Soraya dan juga teman-temannya.
"Maaf ganggu bentar, mau nanya."
"Nanya apa Kak?" tanya Anjani dengan antusias.
Sedangkan sedang sibuk mengguncang tubuh Soraya; mengingatkan kepada sahabatnya kalau pria yang dia sukai ada di sana.
"Tentang Amira, dia beneran keluar ya? Ada yang tau dia kenapa?"
"Kami juga nggak tahu, dia tiba-tiba keluar."
"Sebelumnya dia nggak masuk kampus hampir sebulan kan?"
Anjani mengangguk. "Mungkin Kakak bisa coba ke rumahnya."
"Sudah, saat Amira mulai tidak kuliah, anggota BEM Universitas juga kesana. Tapi nggak dapat apa-apa, pamanya cuma bilang kalau Amira lagi kerja. Mungkin kalian tahu di mana Amira kerja?"
"Gak tahu, sebenarnya kamu nggak cukup akrab Kak. Itu biasanya diam di perpustakaan. Mungkin dia punya teman di sana."
"Makasih ya," ucap Indra, sampai matanya melihat keberadaan Soraya. "Soraya, kamu nggak apa-apa? Lagi sakit atau gimana? Tumben diem aja."
"Nggak tau nih Kak, kayaknya karena nggak ketemu sama kakak jadi lesu. Pas ketemu meleot," ucap Niken menggoda Soraya sambil memeluknya dari belakang.
"Hahaha bisa aja kalian. Tapi serius, kamu nggak sakit kan?"
"Enggak kak, cuma lagi males aja," ucap Soraya dengan suara yang pelan.
"Jangan males loh, udah mau naik tingkat juga. Nanti skripsian bingung."
Bersamaan dengan itu, BEM Universitas selesai melakukan sosialisasi.
"Kakak tinggal dulu ya, makasih atas waktunya."
Setelah kepergian mereka, dan anak-anak yang mulai keluar dari kelas. Niken dan Anjani serentak mengganggu Soraya dengan kalimat;
"Lu kenapa sih itu ada kak Indra diem aja?!"
"Tau ih! coba lu cerita! Lu kenapa?!"
"Gue benci sama Amira. Dia ambil semua cowok yang gue sayang."
"Semua?" tanya Niken. "Apa maksud?"
"Amira nikah, sama bokap gue."
"Apa? kok bisa? Lu bohong ya? Lu pasti lagi ngehayal!" teriak Niken yang terkejut.
***
Dharma baru saja selesai melakukan pertemuan dengan rekan kerja samanya yang baru. Dia berniat menyiapkan perusahaan untuk Soraya sendiri, dan juga anak yang ada di kandungan Amira.
Pemikirannya sudah jauh, Dharma tidak ingin kedua anaknya bertengkar gara-gara hal harta. Terlebih lagi, Soraya dan Amira memiliki riwayat yang tidak baik.
Hingga dering telepon yang ada di meja berbunyi.
"Halo?" Dharma mengangkatnya.
"Ada Tuan Sanjaya ingin menemui anda."
"Suruh dia masuk."
Beberapa detik setelahnya pintu ruangan Dharma terbuka, memperlihatkan sosok yang seumuran dengannya.
"Bagaimana kerjasamanya? Udah teken?"
" Udah fix, gue nerima beres aja."
Sanjaya duduk di sofa sambil melihat sahabatnya yang tidak berhenti berpaling dari kertas-kertas dihadapannya. "Lu beneran pindah? Nyokap lu cerita sama nyokap gue, kayaknya dia nggak suka deh sama bini muda lu."
"Emang dia belum suka, tapi akan kalau waktunya tiba."
"Makanya buru-buru tes DNA, biar nyokap lu nggak curiga lagi."
"Nggak bisa secepat itu, kondisi Amira lebih rentan. Katanya harus nunggu sampai kandungan lebih tua. Lu ngapain ke sini? Perusahaan lu kebakaran?"
"Ngaco lu! Mau ngajak lu makan siang bareng. Yuk, Masa mau besanan nggak akur."
"Siapa yang mau besanan sama lu?"
"Ya elu lah, setahun lagi anak gue lulus kuliah. Lagian kan si Indra sama Soraya itu deket."
"Dari mana lu tahu anak gue sama anak lu deket?"
"Gue sering nanya sama si Indra, katanya hubungannya sama Soraya baik. Tapi yang gue lihatnya, anak gue itu lagi suka sama seseorang dan gue yakin orangnya adalah Soraya. Cuma dia Cepu, jadi nggak bisa nembak."
"Kayak lu banget," ucap Darma kembali fokus pada pekerjaannya.
"Gue serius, Hayu makan siang terus kita omongin Soraya sama Indra. Daripada anak kita gak jelas nanti sama siapa."
Baru juga Dharma hendak menjawab, suara panggilan pada ponselnya lebih dulu mengalihkan. Dia mengangkatnya.
"Halo Bu? Ada apa?"
"Pulang kamu, ini ada orang gila yang bikin malu. Paman nya istri kamu datang lagi, teriak-teriak minta duit. Tetangga pada datang, apalagi Mereka bilang yang enggak-enggak! Ibu pusing sama keluarga w************n itu!"
***
Dharma bergegas menuju kediaman ibunya. Dan benar saja sesuai apa yang dikatakan oleh Ibu Desi, pria kurus itu kembali berteriak-teriak di depan rumahnya.
Seorang satpam terlihat sedang mencoba untuk mengusirnya. Tapi pria itu terlihat mengancam dengan menyakiti dirinya sendiri, dia membawa pisau kecil yang diarahkan pada nadi tangan.
"Mana Pak Darma?! Saya mau ketemu sama dia! Dia udah bikin keluarga saya rugi! Udah hamilin keponakan saya! Ada banyak ganti rugi yang harus dia bayar! Nyawa dibayar dengan nyawa! Begitu pula dengan kerugian!"
Dharma bergegas keluar dari mobil, memberi isyarat pada satpam untuk berhenti mendekatinya, apalagi pisau itu sudah menggores tangannya hingga mengeluarkan darah.
"Akhirnya datang juga," ucap Paman dari Amira; Asep. "Sebelumnya Amira bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kami, dan sekarang dia tidak ada. Sehingga kami kesulitan, Jadi kami ingin uang ganti rugi sebesar 50 juta."
"Bapak sudah menerima uang lebih dari itu sebelumnya."
"Tapi itu saya gunakan untuk membayar hutang ayahnya Amira yang sudah meninggal. Jadi sekarang saya harus mengambil bagian saya," ucapnya dengan wajah yang songong. "Ngomong-ngomong untuk seukuran orang kaya nggak sopan ya, masa saya nggak diizinkan masuk ke dalam."
Dharma tidak menghiraukannya, dia mencari check dari dalam dompetnya.
"Saya itu Wali sah dari Amira, Seharusnya saya diperlakukan dengan baik. Dijamu di dalam, dikasih makan, ini malah di luar gerbang gak diijinin masuk. Situ sehat?"
Dharma memberikan cek yang baru saja ditandatangani. "Cairkan ini ke bank."
"Nah gitu dong, karena ayahnya Amira udah nggak ada, berarti saya penggantinya. Harus baik-baik sama mertua ya?" ucapan Asep sambil menepuk bahu Dharma.
"Saya bisa melaporkan bapak sebagai tindak pemerasan, dan juga karena Bapak tidak mengurus Amira dengan baik."
"Apa maksudnya saya tidak mengurus Amira dengan baik? Amira hidup karena saya."
"Bapak menyuruhnya bekerja saat Amira berusia 12 tahun dan mengambil hasil uangnya. Itu bisa menjadi tindak pidana, bapak bisa dijatuhi hukuman," ucap Dharma sambil mendekat. "Ini terakhir kalinya bapak datang ke sini dan meminta uang. Jika selanjutnya Bapak melakukan ini lagi, polisi yang akan berurusan dengan bapak."
Kemudian Dharma melangkah masuk ke dalam mobil, dan melajukan nya menuju Mansion. Mengabaikan teriakan dari Asep, yang kembali mengancam untuk membunuh dirinya sendiri.
"Menantu yang tidak tahu diuntung! Sudah merusak anak orang, tidak mau ganti rugi! Apa saya harus bunuh diri dulu di sini! Supaya Anda tahu kalau setiap nyawa itu berharga?!"
Dan teriakan itu mulai mengecil ketika Darma masuk ke dalam rumah dan menemui ibunya yang sedang menangis.
"Bu...."
"Ibu malu sekali, bahkan Ibu enggak mau keluar dari rumah gara-gara orang itu."
"Dia nggak akan kembali lagi." Dharma mendekat pada ibunya yang duduk di sofa.
"Kamu harus bersihkan nama kamu lagi di lingkungan ini."
"Tetangga-tetangga itu akan melupakan dengan sendirinya, ibu. Jangan khawatir."
"Tapi tidak dengan teman-teman ibu, mereka akan datang. Mereka mendengar desas-desus kalau kamu menikah, apa yang harus Ibu katakan? Ibu malu sekali memiliki menantu seperti w************n itu. Coba kalau kamu memperkosa wanita yang lebih memiliki harga. Ibu nggak akan malu."