Bab 7

1047 Words
Pemandangan seperti ini tidak pernah dibayangkan sama sekali oleh Feiza sebelumnya. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan rumahnya dan seorang laki-laki yang dikenalnya keluar dari dalamnya. Ya Allah Gusti, apa pun maksud dan tujuan kedatangan laki-laki ini, semoga tidak seperti apa yang dipikirkan Feiza dan menjadi dugaannya. Gadis itu berpikir ia tidak akan kuasa jika kemunculan laki-laki itu sepagi ini di rumahnya sama seperti yang ada di pikirannya. Feiza tidak akan bisa. "Assalamu'alaikum." Laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan mengucap salam dengan suaranya yang berat dan tegas. Feiza yang sempat mematung selama beberapa detik langsung kelabakan menjawab salam laki-laki itu. "Wa-waalaikumussalam." Ia sampai tergagap. Laki-laki itu pun mengulas senyum di wajahnya. "Ayah dan Ibu di mana?" tanyanya. Feiza langsung tercenung mendengarnya. Ayah dan Ibu? Ayah dan ibu siapa yang dimaksudnya? Ayah dan Ibu Feiza? Tapi, kenapa laki-laki itu menyebutnya seolah ayah dan ibu Feiza adalah orang tuanya juga. Feiza merasakan sedikit lemas di sekujur tubuhnya. Ia mencoba mengendalikan dirinya, mengatur napas, dan berusaha memasang ekspresi biasa di wajah ayunya. "Mereka ada di dalam," jawabnya kemudian. Laki-laki itu pun mengangguk mendengar jawaban Feiza. "Kamu tidak menyuruhku masuk?" tanyanya lagi, kembali mengumbar senyum yang Feiza tahu dengan pasti, ampuh meluluhkan hati perempuan mana pun di sekitarnya selama ini. "Feiza?" Laki-laki itu memanggil namanya karena Feiza yang tidak kunjung merespons kata-katanya. Gadis yang merasakan tenggorokannya tengah tercekat menatap wajah tampan yang ada di depannya itu pun langsung menelan salivanya keras-keras kemudian mengangguk. "Iya, silakan masuk, Gus." Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya menatap wajah Feiza lalu tersenyum tipis dan melepas alas kaki kemudian masuk ke dalam rumah sang gadis. Feiza membeku. Ia kembali berdiri mematung di teras rumahnya. Siapa pun, tolong katakan kalau apa yang dilihatnya ini hanya mimpi! Feiza ingin segera bangun dari tidurnya dan kembali pada malam di mana ia kelelahan menagis dan jatuh tertidur di kamarnya setelah acara pelukannya dengan ayahnya. Ah, tidak tidak! Jangan bangunkan Feiza dan membuatnya kembali ke momen itu. Kalau bisa bangunkan Feiza dan buat ia kembali terbangun di suatu pagi satu atau dua bulan sebelumnya. Ia pasti akan bahagia luar biasa dan melakukan apa pun untuk menggagalkan rencana yang dibuat kedua orang tuanya untuk menikahkannya. Drtt ... Drtt .... Feiza tersentak saat ponsel yang ada di genggaman tangannya bergetar dan menampilkan notifikasi panggilan masuk dari aplikasi ojek yang terinstall di ponselnya. Ia segera menggeser tombol hijau yang ada di layar dan mengangkat telepon itu. "Halo, Mbak. Saya sudah di depan. Posisi di mana, ya?" Feiza bisa mendengar suara mas-mas tukang ojek yang menginformasikan kedatangannya kepada Feiza. Gadis itu menghela napas gusar. "Maaf, Mas. Saya nggak jadi pesan," lirihnya di telepon. "Hah? Tapi, saya sudah di depan lho, Mbak," balas tukang ojek itu. "Iya, Mas. Sekali lagi maaf, ya. Saya cancel. Tapi Mas tenang saja. Yang di aplikasi saya biarin. Dananya tetep buat Mas. Anggap Masnya udah betul-betul nganterin saya ke stasiun hari ini." Tanpa menunggu balasan dari tukang ojeknya lagi, sambungan telepon itu pun Feiza akhiri. Pagi ini Feiza berencana akan kembali ke tempat rantauannya mengenyam bangku kuliah. Ia sudah memesan satu tiket kereta api untuk itu. Sebab sebelumnya, ia pun pulang dengan menaiki kendaraan besi yang sama yang jalurnya hanya di atas rel kereta. Sebelum pulang, Feiza meninggalkan motor matic-nya di indekos dan diantar ke stasiun oleh temannya. Biasanya Feiza pulang pergi ke rumahnya menaiki motornya itu. Namun, tidak dengan kali ini. Ia ingin naik kereta api. Feiza tidak ingin bertemu dengan laki-laki yang dinikahkan dengannya, yang kata ayah dan ibunya akan menjemputnya nanti sore untuk kembali ke kota rantauan. Karena itu, kemarin malam ia memesan tiket kereta api pagi via aplikasi daring yang untungnya masih tersisa meski Feiza sangat tiba-tiba saat memesannya. Ia sebenarnya sudah memiliki tiket kereta dengan kursi untuk kembali ke tempat rantauan nanti malam yang dipesannya bersamaan dengan tiket pulang ke rumah beberapa hari yang lalu. Namun, ia tentu tidak bisa menggunakannya karena seseorang akan menjemputnya sebelum waktu keberangkatan kereta. Dengan tiket kereta pagi yang dadakan dipesannya, konsekuensinya memang Feiza tidak mendapat kursi dan terancam berdiri jika jadi menaiki kereta api dengan tiket itu. Namun, hal itu lebih baik bagi Feiza daripada ia harus kembali dengan laki-laki asing yang tiba-tiba berstatus suami sahnya secara agama. Feiza sudah merencanakan skenario apik untuk semuanya. Pagi-pagi ia sudah bersiap kembali ke kota rantauan. Mandi, sarapan, dan mengenakan pakaian santai agar tidak dicurigai kedua orang tuanya. Ia bahkan berencana ikhlas meninggalkan tas dan sepatu kesayangannya di rumah yang sebelumnya ia pakai ketika pulang dan kembali ke rantauan dengan membawa ponsel, charger, dan dompetnya saja dengan mengantonginya, pun mengenakan sandal jepit sebagai alas kakinya. Memesan ojek online dengan lokasi penjemputan tidak tepat di depan rumahnya tapi beberapa meter dari rumah dan berencana berjalan kaki ke sana. Sedikit durhaka dengan tidak berpamitan secara langsung kepada ayah dan ibunya dan berencana berpamitan daring saja ketika sudah berada di dalam lambung kereta. Namun, semua rencana itu gagal. Skenario apik Feiza kacau karena kedatangan seorang laki-laki yang tak pernah diduganya sebelumnya. Laki-laki idaman para perempuan di kampusnya yang dengan tega menghancurkan rencananya yang seharusnya sempurna. Sekarang Feiza hanya bisa berdoa semoga kedatangan laki-laki itu ke rumahnya tidak seperti apa yang sedang dipikirkannya. "Nduk." Feiza tersadar dari lamunan ketika suara sang ibu memanggilnya dari dalam rumah. Ia menoleh dan langsung mendapati ibunya yang menatap heran ke arahnya. "Ngapain dari tadi berdiri di teras?" tanya sang ibu. "Sini! Ayo masuk, Fe," seru ibunya lagi sembari melambaikan tangan dengan gestur memanggil ke arahnya. Feiza mengehela napasnya. Ia mengangguk lalu membawa kakinya berjalan pelan masuk ke dalam rumah. Jantungnya berdebar-debar dengan satu harapan. Laki-laki itu ... semoga dia bukan laki-laki yang sama yang kata orang tuanya akan menjemputnya. Namun, harapan itu langsung runtuh begitu kaki Feiza menginjak bagian dalam ruang tamunya ketika mendengar apa yang dikatakan ayah dan laki-laki yang datang ke rumahnya. "Tak pikir Feiza akan kamu jemput nanti sore, Nak. Ternyata kamu datang sepagi ini." Gadis itu bisa mendengar kekehan yang keluar dari labium laki-laki yang seharusnya hanya menjadi tamunya alih-alih menjadi laki-laki yang menjemputnya menyahuti penuturan ayahnya. "He he. Nggeh, Yah," katanya. "Kulo sengaja datang lebih awal untuk mengajak Feiza jalan-jalan dulu jika Ayah dan Ibu memperbolehkan." Ayah Feiza ikut tertawa. "Owalah. Iya. Tentu saja boleh, Le. Iya, kan, Bu?" "Iya, Yah." Saat itu juga, Feiza ingin pingsan saja rasanya mendengar semuanya. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD