Chapter 5 - Ice Cream

1019 Words
“Ada apa?” “Ng… tidak ada.” Justin berjalan mendekatiku dan aku menyingkir saat ia membuka kulkas. Aku meperhatikan apa yang hendak dilakukannya. Dia meraih botol minuman dan meneguk isinya hingga habis. Aku menatapnya takjub, tidak pernah seumur hidup aku meneguk sebotol air dalam sekali minum. Dapat kurasakan tajamnya padaku. “Katakan, kau menginginkan sesuatu?” tanyanya terdengar datar dan saat kulirik wajahnya ia tidak berekspresi apapun. “Uh? Ng...” aku bingung mau menjawab apa. Apakah aku harus jujur? Jika aku jujur apa dia akan perduli? “tidak ada. Aku hanya haus,” jawabku cepat. Justin mengernyit, seperti tahu bahwa aku berbohong. “Lalu kenapa kau tidak minum?” tanyanya lagi membuatku sedikit tersentak dari kesadaranku. “Ah ya! Aku lupa.” Aku merutuki diriku sendiri karena tidak pandai dalam berbohong pada hal sesepele ini. “Aku tidak suka dengan seorang pembohong, Evelyn. Katakan yang sebenarnya,” Tubuhku menegang. Pembohong? Aku menunduk. Aku malu dikatakan seperti itu dan aku bersumpah tidak akan melakukannya lagi. “Maafkan aku. Aku hanya lapar dan ingin makan es krim,” jawabku cepat. Berharap cemas akan reaksi Justin. Tetapi setelah hening cukup lama, aku tidak mendengar apapun. Lantas aku mendongak untuk mengetes apakah dia masih di sana dan memang ya dia masih berdiri di sana dengan tatapan yang juga masih sulit aku artikan. “Es krim? Di tengah malam seperti ini?” katanya kemudian. Aku mengangguk ragu. Berharap Justin akan menuruti kemauanku. Kalau tidak, mungkin tidak apa. Aku bisa menahannya sampai besok. Justin memejamkan mata, membukanya lagi sambil berkata, “Kau tunggu disini!” Justin pergi dari dapur dan kulihat ia berjalan menuju kamarnya. Kembali keluar dengan pakaian lengkap dengan jaket kulit berwarna hitam yang membalutnya. Aku tersenyum saat kudengar suara deru mobil sportnya di luar yang lamat terdengar semakin jauh. Apa Justin benar-benar akan membelikanku? Kuharap dia tidak berbohong.   * Aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkukku, membuatku tersentak karenanya. Saat aku mendongak, wajah kesal Justin terpampang jelas di hadapanku. “Ini!” Ia menaruh kasar sekotak es krim ke atas meja makan di hadapanku. Aku tersenyum, “Terima kasih,” ungkapku tulus sambil menatap punggungnya yang semakin menjauh ke dapur, kemudian aku membuka isi penutup es krim-ku. Menghiraukan tatapan Justin yang terasa jelas menusuk punggung. Senyumku hilang seketika saat kulihat warna pink polos dengan sedikit taburan strawberry di dalam kotak es krim-ku. Membuatku semakin merenggut sedih. “Kenapa?” Justin menghampiriku, menyadari perubahan gerikku. “Aku tidak suka ini. Aku mau rasa vanilla dengan taburan oreo, Justin. Bukan strawberry,” rengekku manja. Yang mana malah terdengar menjijikkan di telinga. Sejak kapan aku seperti ini? Sejak kapan aku merengek manja padanya? Seingatku beberapa hari yang lalu nafsu kebencianku masih tersisa. Lalu kemana perginya mereka sekarang?! “Apa?! Jadi kau tidak akan memakannya?!” suara Justin meninggi yang membuatku sedikit ngeri. “Y-ya,” jawabku jujur. Setelahnya, kudengar Justin mengumpat kasar. “Aku menyesal telah membelikanmu kalau begitu,” balasnya dingin. Membuatku ingin menangis, entah kenapa. “Tapi aku lapar.” “Aku tidak perduli!” bentaknya sambil menatapku tajam. Aku tahu sekalipun aku tidak membalas tatapannya, karena aku memilih untuk menunduk menatap lantai putih di bawah. “Tapi aku benar-benar ing...” “Aku tidak perduli! Kau dengar?! Kenapa kau begitu suka menyusahkan orang lain.” bentaknya lagi. Kali ini lebih rendah tapi lebih tajam dan mengintimidasi. Hening cukup lama. Kukira Justin sudah kembali ke kamarnya, tapi saat aku menoleh, dia masih ada di sana. Dengan mata terpejam dan deru napas memburu. Aku langsung kembali menundukkan kepala. “Tapi kau bukan orang lain, Justin,” bisikku dengan suara yang nyaris hilang. Kudengar dia tertawa sumbang, hampir mengejek. Apa bisikkanku sebegitu kerasnya hingga ia dengar? “Oh jadi sekarang kau mulai menuntut hak mu sebagai istri?” Aku menggeleng cepat. Sungguh bukan itu yang aku maksud. Aku hanya merasa Justin memang bukan orang lain. Dia suamiku, iyakan? Dia juga ayah untuk anakku, benarkan? “Maafkan aku, kau memang benar. Maafkan aku telah menyusahkanmu, Justin. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi.” Aku menunduk menatap kotak es krim di hadapanku kemudian melanjutkan ucapanku. “jangan khawatir, aku akan memakan ini.” Kudengar samar langkah kaki milik Justin menjauh, saat itupun air mataku jatuh dan aku menangis. Jujur saja aku bahkan terkejut dengan reaksiku sendiri, tapi kata-kata Justin barusan memang benar. Aku tidak mengelak. Seharusnya aku tidak selemah ini! Biar bagaimanapun, di mata Justin aku bukanlah siapa-siapa. Sekalipun kita adalah pasangan suami istri. Dan dia, tidaklah lebih dari pria yang telah menghancurkan hidupku. Jangan lupakan fakta itu, Evelyn! Lalu, kenapa aku menangis? Apa ini ada kaitannya dengan kehamilanku? Kalau ya, maka biarlah. Dari yang kutahu, tidak baik memendam perasaan karena hal itu dapat berpengaruh pada fisik. Wow! Darimana aku mendapatkan definisi itu?   * Aku terbangun karena ketukan samar di pintu. Kuduga salah satu pelayan di rumah ini pasti ada di balik sana. Dan dugaanku memang benar saat kudengar suara halus dan sopan menyerukan namaku pelan, memberitahuku untuk segera turun untuk sarapan. “Ya,” bisikku dengan suara parau. Bangkit dari ranjang, aku segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, aku duduk di bangku meja riasku seraya menatap wajahku dari pantulan cermin. Semakin kuteliti, mataku sedikit membengkak karena semalam. Dan aku masih tidak mengerti kenapa aku sampai menangis selirih itu. Seperti anak berumur lima tahun yang kehilangan es krimnya saja. Saat aku bangkit berdiri, kepalaku pening dan tubuhku tiba-tiba terasa lemas. Ini mungkin normal mengingat semalam aku tidak memakan bahkan meminun apapun.   * “Dimana Justin?” aku berbisik pada Richard yang berdiri di dekat pintu dapur. “Tuan sudah pergi ke kantor pagi tadi,” jawabnya ramah. Aku tersenyum, kemudian menglangkah mendekati kulkas. Mengabaikan para pelayan di sekitarku yang memang juga tampak tidak perduli. Aku berniat mengambil air dingin, tapi  saat kulihat berkotak-kotak es krim terpajang di sana, mataku membulat kejut. Ada sebuah memo kecil berwarna putih tertempel di antara tumpukan es krim itu. Bertuliskan: Habiskan! Jangan sampai mengotori kulkasku! Aku tersenyum sekalipun tersirat jelas bahwa ia pasti sedang kesal saat menulis ini. Atau dia memang tidak berminat. Tapi tak apa, aku tidak bisa mengelak bahwa aku benar-benar bahagia karenanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD