bc

Psychology of Love

book_age18+
8
FOLLOW
1K
READ
family
goodgirl
CEO
twisted
bxg
others
illness
engineer
teacher
like
intro-logo
Blurb

[SEKUEL DEAR, CALON MANTU]

Ismi berpikir bahwa ia akan menjadi wanita yang bahagia. Menjadi ratu di singgasana panggung pernikahannya sehari. Sayangnya itu hanya angan. Argantara, calon suaminya ternyata suami wanita lain. Pernikahan yang telah disiapkan nyatanya sia-sia. Lalu, bagaimana kehidupan Ismi setelah batalnya pernikahan? Apa ia mampu mendengar segala gunjingan dan nyinyiran? Dan apakah ia bisa baik-baik saja selepas peristiwa itu?

Cover by Ara Shop

chap-preview
Free preview
1. Bahagia yang Terkalahkan Duka
Tenda pernikahan yang didominasi warna putih dan cream terlihat mewah. Lampu-lampu gantung kecil putih semakin membuat tenda itu tampak megah. Daun-daun palsu hijau merambat di beberapa titik, menciptakan nuansa alam yang menyegarkan mata. Bunga-bunga palsu kecil aneka warna juga memeriahkan tenda pernikahan yang didirikan di jalan desa. Suatu hal yang biasa bagi masyarakat kawasan itu. Ismi, calon mempelai wanita, baru saja usai mandi. Ia telah melakukan serangkaian ritual pra-pernikahan yang disarankan oleh Sabrina, sahabatnya. Lebih tepatnya dipaksa. Bahkan sahabatnya itu memberikan paket jasa ritual perawatan pra-pernikahan sebagai hadiah atas pernikahan yang akan berlangsung esok. Bukan ritual dengan bunga-bunga harum semerbak yang memabukkan dan mengandung mistis. Aroma bunga memang menguar memenuhi hunian orang tua Ismi. Hanya saja, aroma itu berasal dari lulur yang baru saja dibalurkan ke tubuhnya beberapa jam yang lalu. Pegawai salah satu salon yang dipilih Sabrina baru saja pulang. Namun aroma harum yang menguar dari tubuhnya masih tertinggal kuat. Perempuan yang esok hari akan menikah itu, sejak pagi tengah disibukkan dengan kegiatan merilekskan tubuh dengan lulur pengantin, dilanjut dengan spa, dan serangkaian kegiatan lain pra-pernikahan, seperti waxing, pedicure, menicure. Sabrina juga baru saja pulang 30 menit lalu. Sahabat Ismi itu ikut terjun langsung dalam kesibukan mempersiapkan pernikahan besok. Sebelum pulang, perempuan itu berkata dengan nada menggoda bila Argantara pasti tak akan melepaskan dirinya barang sedetik pun di malam pertama pernikahan mereka. Ismi tak menanggapi dan hanya menunduk malu dengan pipi yang bersemu merah. Sangat merah. Ia juga merasakan hawa panas di mukanya. Benar apa yang dikatakan Sabrina, tubuhnya menjadi lebih kenyal dan lembut. Harum juga terus menguar dari tubuhnya. Lulur pengantin yang dibalurkan oleh pegawai salon tadi meninggalkan aroma yang masih kuat. Tidak sampai membuat pusing. Aroma itu menyegarkan dan khas aroma bunga, aroma bunga mawar yang mendominasi. Ismi merasa bahwa dirinya sedang berada dalam taman bunga yang indah dengan bunga bermekaran yang memenuhi taman. Ismi mengecek ponsel yang ia geletakkan di atas kasur sejak tadi. Jarinya sibuk menggulir layar ponsel. Melihat sesuatu yang menarik minatnya. Terutama pesan dari Argantara, calon suaminya. Senyum bahagia terlihat jelas di wajah yang tampak semakin berseri itu. Lalu tangannya sibuk menari di atas layar ponsel, membalas pesan dari Argantara yang berisi gombalan. Pesan itu terus berlanjut dalam waktu cukup lama. Argantara juga menyampaikan bila laki-laki itu telah sampai di hotel tempat untuk menginapnya sampai esok mereka sah dalam ikatan suami istri. Argantara tidak sendiri, ada beberapa paman dan bibinya yang mendampingi. Orang tuanya telah lama tiada. Untuk menghemat waktu dan meminimalisir terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, Argantara memboyong anggota keluarganya untuk menginap di hotel. Ismi dan keluarganya pun menyetujui. Lebih efektif dan efisien. Otot-otot tubuh yang sedang dalam kondisi rileks, membuat netra Ismi mulai meredup. Membuat ponsel yang semula berada dalam genggaman kini terjatuh di samping tubuhnya yang sedang berbaring. Suara dentuman musik dangdut bertemakan cinta yang mengalun dari salon speaker besar yang disewa pun tak membuat rasa kantuk Ismi terganggu. Gelombang bunyi yang tinggi menghasilkan getaran pada beberapa bagian rumah. Dan Ismi tidak peduli. Ia semakin merasa terbuai dalam mimpinya. Seakan musik itu adalah sebuah lagu pengantar tidur. Ismi merasa bahwa dirinya baru saja terlelap. Bahkan ia merasa belum nyenyak dalam tidurnya. Namun goncangan pada tubuhnya membuatnya dengan berat hati harus membuka netra yang terasa menempel kuat itu. “Mbak!! Cepetan bangun!! Ada wanita gila di depan rumah kita yang sedang teriak-teriak!!” ucap Diana, adik Ismi dengan wajah jengah. Kekesalan tampak terlihat. Juga tatapan benci. “Kenapa sih, Dek? Mbak masih ngantuk,” jawab Ismi seraya kembali meringkukkan tubuhnya. “Mbak!!” Kekuatan Diana dikerahkannya semaksimal mungkin. Membuat Ismi pun terduduk dengan rasa kantuk yang masih menguasai. “Wanita nggak tahu malu!! Keluar kamu!!” “Dasar nggak tahu malu!!” “Ngakunya guru tapi kelakuan nggak mendidik!! Merebut suami orang. Dasar pelakor!!” Samar-samar, di tengah kesadaran Ismi yang masih belum terkumpul sepenuhnya, masuk ke pendengarannya suara seorang perempuan berteriak. Tidak ada lagi suara musik yang berdentum keras. Ismi berusaha mengumpulkan nyawanya, tetapi Diana lebih cepat bergerak. Perempuan itu menarik tubuh Ismi dengan cepat dan kuat. Membuat Ismi melangkah dengan sempoyongan. Tidak mempedulikan dirinya yang meminta waktu sejenak untuk merapikan kerudung instannya. Hal yang sudah mulai dilakukannya semenjak bertemu Aisyah, sahabatnya semasa kuliah. Dulu, Ismi tak pernah memakai kerudung saat di rumah kecuali jika akan keluar jauh dari rumah. Namun pertemuannya dengan Aisyah menyadarkannya akan kewajibannya. Ia sangat bersyukur karena kembali dipertemukan dengan sahabatnya dan membuatnya istiqomah memakai kerudung seperti saat ini. Baik di dalam rumah atau saat di luar rumah. Ismi menatap depan rumahnya dengan bingung. Bapak, budhe, pakdhe, bulek, paklek, dan beberapa tetangga yang membantu persiapan pernikahan sedang menghadang seorang wanita yang menatap dirinya tajam. Ismi tidak mengenal wanita itu. Tidak pernah melihatnya sekali pun. Wanita itu menatap Ismi dengan pandangan sinis. “Oh.. jadi wanita seperti ini yang akan dinikahi sama Mas Argantara besok?” ujarnya. Wanita itu melangkah dengan lebar dan melemparkan beberapa kertas ke arah Ismi. Tidak sempat menghindar. Sehingga wajah Ismi serasa seperti ditampar. Sedikit perih terasa di kulit wajahnya karena tepi kertas foto yang terasa tajam. “Mas Argantara adalah suamiku! Suami sahku sampai saat ini. Pernikahan kami sudah berjalan sejak 8 tahun yang lalu,” ujar wanita itu dengan nada tersengal dan mata melotot tajam. “Mbak!! Kamu siapa sih!? Kenapa tiba-tiba datang ke sini dan mengatakan sesuatu yang nggak masuk akal,” sahut Diana kesal. Ia menatap wanita itu tak kalah tajam. “Aku istrinya Mas Argantara. Istri sahnya. Bukan seperti wanita di hadapanku yang baru akan melangsungkan pernikahan esok hari ini!” sahut wanita itu dengan geram. “Dasar perebut! Gak punya hati dan perasaan!” “Batalkan pernikahan kalian! Kalau kamu nggak percaya bahwa aku memang istrinya, silakan tanya pada Mas Argantara dan keluarganya! Dasar wanita nggak tahu malu!” lanjutnya dengan emosi yang tak terbendung. Ismi menatap kertas-kertas yang berhamburan. Ia berjongkok dan memungut salah satu foto. Dalam genggamannya terlihat foto dua insan yang sedang tertawa bahagia dengan memamerkan buku nikah. Menciptakan air mata yang menganak dari netra bening Ismi tanpa dikomando. Decihan keras terdengar dari wanita yang ayu dan cantik di hadapannya. Menimbulkan wajah bingung di antara keluarga Ismi. “Sudah percaya bukan? Jadi, sebelum kamu melangsungkan pernikahan esok hari. Coba kamu pikir baik-baik. Aku masih istri sah Mas Argantara. Dan aku nggak pernah ikhlas bila dia menikah dengan kamu!” “Mbak.. Sampeyan jangan sembarangan ya kalau ngomong!” cerca bulek Ismi. Ia tentu saja tidak percaya dengan ucapan wanita di hadapannya. Ia mengenal Argantara. Meskipun tidak terlalu kenal dekat. Dan ia percaya bahwa Argantara bukan laki-laki yang sembunyi-sembunyi akan menikah dengan perempuan lain ketika sudah memiliki istri. Ia tidak percaya bahwa Argantara telah menikah sebelum ini. “Jika tidak percaya silakan saja. Tapi jangan salahkan saya bila Mas Argantara ternyata benar membohongi kalian selama ini,” jawab wanita itu sinis. Wanita itu berbalik cepat. High heels hitam mengkilap tidak menghalangi langkah tegapnya yang penuh percaya diri itu. “Ah.. Saya akan datang ke sini besok pagi. Untuk memastikan apakah benar kamu wanita berpendidikan atau tidak,” ujar wanita itu sembari memutar badan menghadap Ismi yang wajahnya diselimuti mendung. Bahkan wanita itu berniat memporak porandakan panggung pernikahan Ismi dan Argantara yang tampak megah itu. Namun ia tak ingin mengotori tangannya. Ia hanya ingin memberi pelajaran pada suaminya. Suami yang ia cintai yang ternyata tega menyakiti hatinya. Membohonginya. Bermain belakang dengan wanita lain dalam waktu yang cukup lama. Sepeninggal wanita yang tidak dikenal itu, Ismi menatap kosong pada satu per satu lembaran foto yang ada dalam genggamannya. Tubuhnya bergetar hebat. Air mata masih terus mengalir deras. “Nduk,” ucap Bapak pelan seraya merangkul pundak putri sulungnya dengan erat. Ismi tak bergeming. Pikirannya terasa kosong. Membuatnya hanya mampu berdiri kaku di posisinya. “Mbak.. Apa maksud semua ini?” tanya Diana dengan kesal, geram, dan marah setelah melihat lembaran foto yang baru saja ia ambil dari genggaman kakak perempuannya. Ismi diam. Ia juga tidak tahu apa yang baru saja menimpanya. Percaya tidak percaya. Namun semua ini terasa nyata. “Nduk.. Kita masuk saja, yuk? Sudah hampir maghrib,” ajak Bapak. Ismi masih tak menanggapi. Ia masih berdiri kaku di posisinya. Pikirnya dipenuhi dengan banyak praduga dan pertanyaan. “Diana sudah menghubungi Mas Argantara. Katanya dia mau ke sini,” ucap Diana memecah keheningan. Ismi menoleh pada adiknya. Mendengar nama Argantara membuat saraf pusatnya seketika mampu menerima rangsang. Membuat sistem sarafnya kembali bekerja. Namun tetap saja ia tak mampu mengatakan apa pun. Hingga tiba-tiba ia sudah terduduk di ruang tengah. Di salah satu sofa yang dipindahkan dari ruang tamu. Netranya memandang seluruh keluarganya dengan tatapan nanar. Terlihat jelas wajah-wajah yang khawatir dan terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Lalu terdengar deru napas yang terengah di ruang tengah. Membuat Ismi menatap pada seseorang yang baru saja tiba di ruang tengah. Ia memandang laki-laki itu dengan lemah. Tak ada lagi daya. Tatapan cinta yang sering ia berikan pada laki-laki itu pun tergantikan dengan tatapan kecewa dan bingung. “Duduk, Nak Argantara!” Suara Bapak tegas. Membuat siapa pun dapat merasakan aura kemarahan Bapak. Argantara duduk seraya menunduk. Ia benar-benar dibuat terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. “Siapa wanita yang tadi ke sini? Dia mengaku sebagai istri kamu,” ucap Bapak tegas. Argantara mengangkat kepalanya perlahan. Ia menatap pandangan Bapak. Kali ini tak setegas biasanya, ada ketakutan di netra Argantara yang dapat Bapak lihat dengan jelas. “Dia.. benar.. Benar dia istri saya, Pak,” kata Argantara lirih seraya menunduk dalam. Terdengar penyesalan di balik suara lirih itu. Ucapan Argantara bagaikan petir di malam yang tak mendung. Di kala bukan musim penghujan. Memekakkan telinga tiap insan yang berada di tuang tengah. Napas Ismi tercekat. Saraf-saraf dalam otaknya seakan berhenti bekerja. Membuat kesadarannya perlahan mulai menghilang. Yang Ismi dengar terakhir kali sebelum netranya benar-benar tertutup adalah teriakan dari Bapak, buleknya, Diana, dan Argantara.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

My Secret Little Wife

read
97.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook