Semua Karena Balas Budi
Lucia merasakan sakit itu menghujam perutnya berkali-kali saat perutnya mengalami kontraksi. Seorang dokter memberikan bius epidural yang disuntikkan ke punggungnya. Ia pasrah saat tubuhnya dibaringkan di atas meja operasi. Gadis berusia 18 tahun sempat memanggil nama ibunya berkali-kali. Hatinya memang sakit atas segala duka yang selama ini harus dia jalani. Tetapi ini sebuah pilihan yang harus dia lakukan atas nama balas budi.
Beberapa menit kemudian jiwanya seakan melayang. Ia bisa mendengarkan suara dokter memerintahkan seseorang untuk mengambil pisau bedah dan gunting. Tetapi dia tidak mampu berkata-kata. Hatinya begitu tenang seakan segala kepedihan itu hilang bak ditelan bumi.
"Oeek ... oeek ...." Terdengar suara tangisan bayi yang sangat keras di ruangan itu. Lucia mendengarnya. Itu adalah suara bayinya.
"Bayinya laki-laki, sehat dan sangat tampan," ucap seorang pria yang terdengar jelas di telinga Lucia hingga membuat hati gadis itu bahagia.
"Beratnya 3,2 kilogram dan tingginya 53 sentimeter." Suara itu adalah suara seorang wanita. Lucia masih mendengarkan tangis bayinya dalam kondisinya yang tersadar tetapi tanpa beban. Gadis itu seakan lupa bahwa setelah ini hidupnya akan kembali terkurung dalam derita. Bayi itu memang miliknya tetapi ia tidak memiliki hak untuk memilikinya. Semua ini terjadi karena sebuah hal. Keserakahan dan ketamakan paman dan bibinya menjadi awal mula semua ini terjadi.
Flashback on.
Kota Montana, Miracle Harbour satu tahun lalu ....
Seorang wanita berpakaian formal mendatangi kedai kopi milik paman dan bibinya, Mattew Hamington dan Ana Maria. Wanita itu datang dengan sebuah mobil mewah. Lucia yang saat itu sedang menyajikan kopi untuk pelanggan di kedai merasa penasaran. Kedatangan wanita itu sepertinya bukan kedatangan biasa. Paman Mattew menunjuk ke arah dirinya dan hal itu merupakan sebuah firasat yang tidak baik.
"Lucia!" panggil bibinya dengan suara keras. Lucia segera bergegas menghampiri meja tempat paman dan bibinya duduk bersama wanita berpakaian formal itu. Tatapan wanita itu menjelajahi tubuhnya, dari atas ke bawah. Lucia merasakan hal yang tidak baik. Apakah wanita ini adalah wanita yang akan membelinya? Tubuh Lucia sedikit gemetar.
"Keponakan Anda sangat cantik, Tuan Mattew. Dia adalah sosok yang pas sesuai kriteria atasan saya," ucap wanita itu dengan gaya elegan, menyilangkan kaki dan melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Ya. Lucia. Namanya Lucia. Sejak kecil saya yang merawat dan membesarkannya. Dia memang cantik. Dan saya jamin dia masih murni," ucap Ana Maria lirih.
"Baiklah. Saya anggap bahwa Anda berdua menyetujui kesepakatan ini. Proses akan dimulai bulan depan. Segala hal yang terkait dengan Nona Lucia selama sembilan bulan ke depan akan menjadi urusan saya." Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop tebal dari sebuah tas yang ada di bahunya.
Mata Mattew dan Ana bersinar bak berlian langka. Tidak sia- sia mereka merawat Lucia sejak usia gadis itu tujuh tahun. Lucia adalah ladang emas untuk mereka. Menjual gadis itu? Sepertinya kalimat itu tidak sepenuhnya benar. Mereka hanya menyewakan Lucia selama sembilan bulan. Hanya menyewakan.
"Siapa wanita itu, Paman?" tanya Lucia yang merasa penasaran.
"Orang yang bisa memberikan kami banyak uang. Lihatlah! " Mattew menggerakkan amplop di tangannya kemudian mengeluarkan isinya. Mata gadis itu membelalak saat berlembar-lembar uang ada di dalam sana.
"Apakah kalian menjualku? Apakah pengabdian yang aku lakukan selama ini belum cukup untuk membayar hutang budiku kepada kalian? Kalian juga sudah mengambil warisan milik orang tuaku," kata Lucia dengan suara bergetar. Serakah. Satu kata yang bisa mewakili sifat paman dan bibinya.
"Seumur hidup kamu menjual diri, kamu tidak akan mampu membayar hutang budi kepada kami!" tegas Mattew dengan tatapan menghunus tajam. Mattew memang membenci Lucia. Ibu dari gadis ini lebih memilih menikah dengan kakaknya daripada dengannya, dan itu adalah alasan yang mendasari rasa bencinya kepada gadis ini.
Lucia mengepalkan kedua tangannya kemudian segera berlalu. Gadis itu tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh paman dan bibinya. Ia hanya tahu dirinya hanyalah boneka untuk mendapatkan uang, memuaskan hasrat berjudi dan mabuk-mabukan seorang Mattew Hamington dan kegemaran Ana yang suka berfoya-foya dengan para wanita di lingkungan ini.
"Seseorang yang kaya raya memilihmu untuk menjadi rahim bayaran bagi putranya." Satu kalimat lugas itu diucapkan Ana setelah Lucia menyelesaikan pekerjaan dapurnya malam hari.
"Rahim bayaran?" tanya Lucia yang belum mampu menangkap maksud ucapan bibinya.
"Ya. Kamu diminta untuk mengandung cucunya melalui proses bayi tabung."
Deggg!
Lucia merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia tidak bodoh untuk menerjemahkan kalimat yang baru saja keluar dari bibir bibinya. Bayi tabung? Diantara seluruh siksaan batin yang selalu ia terima, akankah ini menjadi siksaan yang terberat?
"Aku tidak mau, Bibi," ucap gadis itu dengan bibir bergetar. Seluruh syaraf di tubuhnya seakan lemas hingga ia kesulitan menopang tubuhnya. Gadis itu berpegangan pada sisi samping kursi di sebelahnya.
"Aku tidak menyukai penolakan dan tidak akan menerima penolakan yang keluar dari mulutmu. Kata-kataku adalah titah wajib yang akan dan harus kau laksanakan. Pamanmu sudah menerima sejumlah uang dari orang itu dan akan memberikan jumlah yang lebih banyak ketika program itu berhasil."
Luar biasa sakit. Itulah yang dirasakan Lucia. Rasa sakit ini lebih terasa dari siksaan yang sering ia terima dari paman dan bibinya ketika melakukan kesalahan yang tidak seberapa.
"Aku tidak tahu kapan kalian akan menerima karma dari perbuatan kalian itu. Kalian sudah membuat hidupku hancur. Aku bersumpah atas nama ayah dan ibuku yang telah berada di surga. Kalian akan menerima pembalasan yang lebih menyakitkan dari yang aku alami!" teriak Lucia dengan airmata yang mengalir membasahi wajahnya.
"Sumpah? Ha ... ha ... ha ... aku tidak takut dengan sumpahmu, Anak Manis. Kau adalah ladang emas bagi kami. Untuk itulah selama ini pamanmu menjagamu dengan baik dari para laki-laki buaya itu. Kau tahu kenapa?" Ana mendekat ke arah Lucia dan tersenyum sinis.
"Pamanmu tahu bahwa kau akan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan memberinya keuntungan. Hari ini penantian kami terbayar lunas. Orang itu telah datang dan membawa banyak uang. Dan kau masih berkata karma itu akan menghampiri kami? Berdoalah agar sumpahmu dijawab dan kami akan menganggap bicaramu tidak lebih dari penghiburan untuk dirimu sendiri. Kau harus hancur," desis Ana tepat di hadapan Lucia.
Lucia mematung, tidak dapat berkata-kata. Mungkin bibinya memang benar. Ucapannya adalah penghiburan untuk dirinya yang begitu lemah di hadapan mereka. Dia hanya bisa menyuarakan kata hatinya tanpa bisa berbuat sesuatu. Dia adalah b***k. b***k yang hina untuk Mattew dan Ana.
Sepanjang malam itu pikiran Lucia dipenuhi oleh empat kata yang membuatnya kehilangan semangat untuk melanjutkan hidup.
Bayi tabung ....
Rahim sewaan ....
Dan kata-kata itu ibarat serbuk mesiu pada senjata api yang menanti untuk meledak dan menghancurkan kehidupannya, impiannya tentang cinta dan kebebasan.