MENCARI WINARSIH

1156 Words
Sumi dan Dahlan merasa tidak tenang. Sejak pagi, putri bungsu mereka tidak juga pulang. Padahal, matahari sudah tinggi, Sumi mencoba bertanya kepada Marni dan Surti, tapi kedua gadis itu tidak tau ke mana perginya Winarsih. "Pagi tadi, kami berpisah di sungai, Bukde. Narsih meminta kami duluan, karena dia masih mencuci. Kami mau menunggu dia bilang tidak usah," kata Marni. "Tapi, sampai sekarang Narsih belum juga kembali." "Bagaimana kalau kita cari ke sungai?" kata Marni. Sumi pun mengangguk mengiyakan. Tanpa membuang waktu lagi keduanya pun segera menyusuri jalan setapak menuju ke sungai. Namun, belum sampai ke sungai, saat mereka melewati kebun cengkeh, Sumi mengenali sebuah keranjang pakaian yang tergeletak di atas tanah. "Ya Allah, ini kan keranjang pakaian milik Narsih. Ini juga baju-baju yang ia bawa, dan... " Sumi tidak meneruskan ucapannya saat melihat kain jarik yang dipakai Winarsih ketika gadis itu pergi ke sungai. "Jika kain jariknya ada di sini, Winarsih memakai apa?" kata Sumi. Tiba-tiba bayangan yang buruk tentang anak gadisnya melintas di benaknya. Seketika Sumi merasa tidak karuan. "Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu, Bukde. Kita cari saja dulu," kata Marni. Sumi dan Marni pun segera pergi ke sungai. Sepanjang jalan yang mereka lalui jika bertemu dengan orang yang mereka kenal, mereka akan menanyakan Winarsih. Namun, sayang tak satupun yang melihat Winarsih. Merasa putus asa Sumi pun kembali ke rumah. Tampak Dahlan suaminya bersama beberapa penduduk desa terlihat cemas. "Aku menemukan keranjang cucian ini, kang. Tapi, Winarsih tidak ada di manapun. Bagaimana ini, Kang?" "Nyai tenang saja dulu, kita akan mencari Winarsih. Tidak mungkin kan kalau dia menghilang tanpa jejak." "Betul itu,kita akan mencari putri kita. Winarsih akan baik-baik saja," kata Dahlan. Sumi hanya bisa terduduk lemas di kursi. Semua orang saat ini sedang berusaha untuk menenangkannya. Tapi, perasaannya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu pada putrinya itu. Dan, ia sendiri tidak tau harus melakukan apa selain pasrah. **** Sementara itu, di sebuah puncak bukit dari sebuah pondok bambu tampak asap membumbung. Sepertinya berasal dari perapian yang ada di dalam gubuk itu. Seorang wanita setengah baya tampak sedang meramu obat-obatan. Di atas dipan kayu terlihat sesosok gadis yang berbaring lemas tak berdaya. Perlahan wanita itu menyendokkan obat ke dalam mulut gadis yang terbaring itu. Perlahan, sedikit demi sedikit hingga obat itu tertelan dan masuk ke tenggorokan sang gadis. "Kamu harus hidup cah ayu. Untuk membalas segala sakit hati yang kau rasakan. Mata dibayar mata. Darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa." "Saya di mana?" Winarsih mengerjapkan matanya perlahan, sekujur tubuhnya terasa begitu sakit. Terlebih organ intimnya, samar ia teringat kembali apa yang sudah terjadi kepada dirinya. Gadis cantik itu pun mulai menangis tersedu-sedu. "Tenanglah cah ayu, kau berada di tempat yang aman sekarang." Winarsih tersentak, ia mencoba untuk bangkit, tapi tangan wanita itu menahannya. "Jangan takut, aku yang sudah menolongmu. Kau hampir saja mati karena hanyut di sungai. Kau bisa memanggilku Nyai Tapa. Katakan kepadaku, siapa yang sudah menodai kesucianmu?" Winarsih menggelengkan kepalanya dan menangis dengan pedih. Nyai Tapa mendekat dan mengelus bahu Winarsih perlahan. Aneh, saat Nyai Tapa mengelus bahunya, Winarsih merasakan ada kehangatan yang masuk ke aliran darahnya dan membuat tubuhnya lebih kuat. Perlahan, ia pun duduk. Ya, ia merasa jauh lebih baik. Rupanya Nyai Tapa mengalirkan tenaga dalam ke tubuh Winarsih. Ilmu kanuragan wanita di hadapan Winarsih ini rupanya tidak bisa dianggap main-main. "Nyai, tubuh saya terasa hangat," kata Winarsih. "Tentu saja, aku baru saja menyalurkan tenaga dalam kepadamu. Sekarang, ceritakan apa yang sudah menimpa dirimu." "Kehormatanku sudah di nodai, sudah di renggut begitu saja. Padahal,dia adalah anak dari keluarga terpandang. Tapi, kelakuannya tidak berbeda jauh seperti kompeni-kompeni itu. Saya tidak rela, Nyai. Saya ingin membalaskan sakit hati saya kepada mereka." "Kau mau jika aku mengajarkanmu ilmu kanuragan dan juga ilmu pengasihan yang bisa membuat semua musuhmu menjadi gila? Mereka akan merasakan bagaimana rasanya hidup segan mati tak mau." "Saya mau, Nyai. Saya mau!" "Tapi, tidak di sini. Kita harus ke gunung Ciremai. Di sana kau harus bertapa dan meminta pertolongan kepada Nyai SekarJagad Arum Sari atau yang lebih dikenal dengan nama Nini Pelet." Winarsih mengerjapkan matanya? "Ni-Nini Pelet? Apakah Nini Pelet itu benar adanya, Nyai?" "Hahahahaha... Apa kau pikir dia hanya legenda? Sebuah cerita dongeng? Tentu saja ada, sekarang kau harus pulih terlebih dahulu. Baru setelah itu kita akan berangkat ke gunung Ciremai. Kau harus menyiapkan dirimu, karena perjalanan yang akan kita tempuh bukan perjalanan yang mudah. Pasti akan banyak aral melintang. Apa lagi kau ini benar-benar kosong. Tidak memiliki tenaga dalam sedikitpun." "Iya, Nyai." "Tapi, ingat satu hal, kau harus benar-benar meninggalkan sisi kemanusiaanmu. Kau harus lahir baru dan menjadi dirimu yang baru. Hatimu harus mati." "Bagaimana caranya, Nyai?" "Dengan memupuk dendam di hatimu menjadi kebencian." Winarsih mengangguk, sambil mengepalkan tangannya, "Saya akan membalas semua rasa sakit saya!" ** Sementara itu, Sumi dan Dahlan tidak berhenti mencari putri mereka yang hilang bagaikan di telan bumi. Segala usaha telah di coba, mereka mencari ke mana-mana. Tapi hasilnya sia-sia. "Apa tidak sebaiknya kita pergi ke orang pintar saja, Pak?" tanya Sumi. "Bapak nggak percaya, Bu." "Ya dicoba dulu, Pak. Kita mana tau kalau tidak kita coba. Apa Bapak tidak khawatir pada Winarsih?" "Bapak khawatir, Bu. Tapi, bagaimana lagi? Segala usaha sudah kita coba, tapi Winarsih tidak juga kita temukan." "Anak kalian masih hidup, tapi saat ini dia berada di tempat yang sangat jauh." Sumi dan Dahlan saling berpandangan. Saat ini mereka sedang berada di rumah Mbah Broto, dukun yang terkenal sakti di kampung mereka. "Apakah Mbah tidak bisa melacak keberadaan mereka?" tanya Sumi. Lelaki tua yang sudah lanjut usia itu menggelengkan kepalanya. "Saat ini putri kalian berada di tangan seseorang dengan ilmu kanuragan yang sangat tinggi. Putri kalian akan aman. Tapi...." "Tapi apa,Mbah?" tanya Dahlan penasaran. Mbah Broto menggelengkan kepalanya. "Kalian doakan saja putri kalian supaya ia tidak tersesat terlalu jauh. Jujur saja, ilmu saya tidak bisa menandingi orang yang saat ini menolong putri kalian." Sumi dan Dahlan makin terkesiap kaget. "Maksudnya menolong bagaimana, Mbah? Apa putri kami sebelumnya mengalami hal yang membahayakan hingga sampai ditolong oleh orang lain?" tanya Sumi. Mbah Broto mengangguk, "Dari hasil penglihatanku, putri kalian sudah diperkosa dan tubuhnya dibuang ke sungai begitu saja. Dia hampir mati jika wanita tua itu tidak menolongnya," kata Mbah Broto. Dunia Sumi dan Dahlan serasa hancur lebur mendengar perkataan Mbah Broto. Siapa yang tega sudah menodai putri mereka? Tangisan Sumi pun mulai pecah, ia merasa dadanya sesak. "Duh, Gusti yang Agung. Apa salah dan dosa putri kami Wimar sih hingga harus menanggung beban aib seperti ini. Apakah dia akan kembali pada kami, Mbah?" "Maafkan saya, kalau untuk itu saya tidak tau. Do'akan saja yang terbaik untuk anak kalian." Setelah menerima beberapa wejangan dari Mbah Broto, Sumi dan Dahlan pun pulang. Hati mereka terasa remuk redam. Hancur berkeping-keping, "Terkutuklah orang yang sudah membuat putriku celaka, sampai mati aku tidak akan ikhlas!" seru Sumi. Duaar... Duaar Tiba-tiba kilat menyambar di langit sesaat setelah Sumi berseru. Sepasang suami istri itu saling berpandangan. Dalam hati mereka tau, bahwa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD