bc

Dewara

book_age18+
2
FOLLOW
1K
READ
dark
drama
tragedy
twisted
sweet
humorous
heavy
mystery
scary
like
intro-logo
Blurb

Sesak. Sangat sesak.

Seakan-akan semuanya menjadi gelap.

Gelap gulita.

"Ibu, Dewa takut. Ibu. Ibu. Ibu." Tidak ada yang menjawab.

Setiap 'penyakit' itu kambuh, Dewa selalu memanggil ibunya. Tapi, kini tidak ada sosok ibunya. Hanya ada hilir angin malam yang berhembus, terdengar olehnya.

Aku dimana?

Sunyi.

Angin malam terasa dingin mencekam menusuk-nusuk tulang sumsumnya.

Tangan terikat, tetapi terasa tidak ada tali pengikat yang mengikat kedua tangannya.

Mungkinkah ada sesuatu berbentuk 'gaib' yang berurusan dengannya?

"Mati, mati. Cepatlah menyusul dia … hihihi …"

Tiba-tiba ada sebuah suara berulang-ulang yang terdengar persis dekat telinganya. Sebenarnya, siapakah sosok itu?

"Stop! Stop!!!!" Seseorang memekik dari jarak kira-kira 30 meter dari tempat Dewa berada. Terdengar kalau itu adalah suara wanita. Siapakah wanita tersebut?

chap-preview
Free preview
Bab 1: Trauma
17 Maret 2020 Pagi hari terlihat seorang pria tampan dengan tinggi badan sekitar 168 cm duduk di lantai depan pintu rumah sedang tergesa-gesa berusaha menyelesaikan ikat tali sepatu sembari melirik jam tangannya. Dewara Senlay Anak kedua dari keluarga harmonis bermarga Senlay. Dewa mempunyai saudara kembar, tetapi wajah mereka tidak identik, namanya Aelza. Mempunyai satu, hanya satu adik perempuan kesayangan keluarga ini yang manis dan cantik juga periang. Selalu tertawa bagaimanapun situasinya.  "Dewa, kamu gak sarapan dulu, nak?" Terlihat sang ibu yang sepertinya berusia sekitar  50 tahunan, namun sosoknya terlihat teduh dan sempurna, sedang menyendokkan nasi untuk anak pertamanya, Aelza. "Hmm, Maaf banget ibuku yang cantik secantik-cantiknya wanita yang pernah aku temui … heheh, aku hari ini ada presentasi di sekolah." Bukan dewa namanya jika tidak hormat dan sangat menjaga perasaan Ratunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya. Ibu tercinta, paling cantik di mata pria tersebut. Akhirnya, tali sepatunya selesai juga ia ikat dengan rapi dan sempurna.  Yes selesai! "Tapi, abangmu ga buru-buru kok?" Tatapan mata ibu dewa seperti mengharapkan sesuatu, mengulur tangannya agar anak laki-lakinya itu bisa menghargai dirinya sebagai sosok chef rumahan yang telah berusah payah membuat makanan untuk keluarga tercinta. Tampak dari nada bicara sang ibu mempunyai makna tersirat yang hanya orang-orang pintar yang bisa mengetahuinya. Seperti memohon agar Dewa, putra kedua, putra kesayangannya itu sarapan untuk pagi ini. Barang sesuap dua suap saja. Hal sekecil itu sudah  dapat membuat hati Lailly lebih membaik. Ia sudah menyiapkan sedari subuh-subuh, bagaimana bisa sarapannya tidak di gubris oleh dewa? Sepenting apa presentasi dibanding ibunya yang telah melahirkannya bertaruh nyawa, itu? "Iya bu, tapi dewa kan ketua kelas. Jadi harus lebih disiplin dari siapapun? Ibu kan yang ajari hal itu sama dewa?" Dewa memastikan agar ibunya tidak mengulur waktu untuk menyudahi kegiatan pamitan yang tertahan. Ibunya tak menjawab. Memilih bungkam, masih menatap sepasang mata dewa, berharap dewa mengerti maksudnya. Memang benar saja, itulah kenyataannya. Selama ini, Dewa telah dibesarkan dengan ilmu yang hampir seratus persen sempurna dan baik. Ibunya tak pernah mengajarkan hal-hal yang tidak tertulis di atas kesepakatan lembar perjanjian 'menikah oleh Sein'. Karena itu sudah berisi materai dan disahkan secara hukum. Mengapa bisa, ayah dan ibunya mempunyai pemikiran luas sampai seperti itu? Jawabannya hanya satu, Sein menikahi Lailly karena arah pemikiran dan tujuan hidup mereka hampir selalu sama. Yaitu, membesarkan anak secara bersama sama sampai tuhan memisahkan cinta halal mereka. Walaupun ada beberapa perdebatan sebelum menikah, tapi hal itu bisa diatasi dengan mudah. Mengingat Sein adalah seseorang yang pandai mencari jalan keluar di setiap permasalahan hidupnya.  Tapi, anak-anak mereka tidak ada yang mengetahui tentang surat perjanjian itu. Mereka hanya tahu, Ayahnya yaitu sein dan ibunya yaitu Lailly, tidak pernah bertengkar kecuali dalam kondisi genting. Itupun hanya sekali. Saat 'pemyakit' Lailly kambuh lebih susah dikendalikan dari biasanya. "Yaudah deh." Akhirnya setelah diam-diaman beberapa menit, dewa diperbolehkan untuk mencium punggung tangan sang ibu. "Makasih ibuku yang paling Cantik dan baik!" Dewa senang bukan main, pria tampan itu dengan cekatan mengambil sepedanya yang berada di garasi, sembari melihat jam tangan. Alhamdulillah, masih jam enam kurang 10 menit!  Sekarang ini yang terbesit di otaknya, hanya ingin menjemput Gelsya dulu, sahabat yang ia temui saat masih kecil, hingga sekarang mereka masih satu sekolahan. Wanita yang cukup cantik bagi dewa, tapi pria tampan itu tak ingin membuka hatinya untuk seorang perempuan. Karena saat ini prioritasnya adalah harapan 'Ratunya', yaitu Lailly. Masih sempat lah! Memutar kayuh sepeda dengan cepat, kebetulan rumah keluarga bermarga Senlay itu tepat berada di depan jalan besar, arusnya lumayan padat,  jadi memang harus lumayan hati-hati ketika mau membelokkan dan memposisikan kendaraan yang baru ingin bergabung dengan arus padat tersebut. Karena keteledoran Dewa, terjadi masalah yang lumayan serius. Tepatnya pada saat dewa membelokkan posisi setir stangnya. Bruk!!!!! . . . .  Tinnn!!! Tinn!!!!! Tin!!! tinnnnnnn!!!!!! Ckitttt!!!!! Sepeda Dewa dihantam begitu saja oleh mobil Sedan terkesan tak familiar bagi pria tampan tersebut. Sebuah mobil dengan nama yang belum diketahui. Kondisinya, dewa sudah tidak sadarkan diri, padahal dirinya akan presentasi hari ini. Ia tak mungkin melupakan apa saja yang akan ia lakukan hari ini. Jelas sudah tersimpan rapi di otaknya, menjemput Gelsya, berangkat bersama, lalu presentasi di kelas. Kebetulan hari ini adalah hari setelah seminggu  ia masuk ke sekolah. Hari ke enam, tepatnya. Dan bertemu beberapa teman yang baru saja ia kenal. Belum dekat. Tapi pasti akan dekat, mengingat kepribadian dewa yang sangat baik dan akhirnya terpilih sebagai ketua kelas. Sementara di dalam mobil sedan langka, hanya ada seorang wanita yang ternyata adalah penyetir mobil tersebut. Terlihat raut wajah wanita cantik berpakaian rapi nan modis itu sangat tidak menyenangkan, "Ck, b*****t. Siapa sih?!" Memencet tombol klakson berkali-kali. Namun Dewa yang tak sadarkan diri tidak bisa mendengar itu. Di dalam rumah kediaman marga Senlay. Tentu saja ricuh-ricuh di luar rumah terdengar sampai ke dalam ruang makan keluarga tersebut. "Ada apaan sih? Kok, berisik amat deh? Gak kayak biasanya." Lailly masih melanjutkan kegiatan makannya. Setelah menyiapkan sedari tadi, dirinya belum sempat sarapan karena terlalu mementingkan anak-anaknya. Perasaan hati Lailly kurang enak, ntah mengapa terjadi begitu saja. Perubahan yang drastis. Lailly sendiri juga tidak tahu apa penyebabnya. Acara makan paginya sudah selesai, Lailly tidak seperti biasanya, ibu rumah tangga itu melamun sembari mengunyah sisa nasi. Aelza yang sudah selesai makan, ingin segera berpamitan dengan ibunya, tangannya mengulur untuk mendapat julukan tangan kanan sang ibu, agar segera mencium punggung wanita terhormat itu lalu bergegas pergi menyusul sang adik ke sekolah,"Aku pamit Bu," ucap Aelza. Melihat ibunya melamun, tentu saja Aelza tidak tinggal diam. Putra pertamanya itu kembali menyapa ibunya itu, "Bu?" Sembari menoel-noel bahu ibunya. Lailly tersentak kaget, tersadar dari lamunannya, "Ah. Ya. Hati-hati, nak." Kegiatan berpamitan sudah selesai.  Aelza segera bergegas keluar, melirik jam tangannya.  Masih pukul enam pagi kurang 1 menit. Itu artinya belum telat. Karena sekolah mereka masuk pada pukul enam empat puluh. Aelza tersentak kaget, memberhentikan derap langkahnya, membelak melihat adiknya sekaligus kembarannya, terbaring di tanah seperti itu bersama sepeda yang biasa adiknya gunakan itu terdampar di depan pagar rumah. Hah?!! Kenapa ini?!! Ibu!  Iya ibu! Amankan ibu terlebih dahulu! jangan sampai beliau melihat kondisi ini! Atau ia akan bangun lagi!!! Sosok itu! Aku benci!  Sangat benci!!!  Argh! Bersamaan dengan itu, terlihat ibunya menghampiri Aelza, menguntit dari belakang. Aelza tersadar, telinga pria dingin itu mempunyai pendengaran yang sangat tajam. Aelza berbalik, berpura-pura terlihat biasa-biasa saja, menyembunyikan segala kepanikan dan kecemasannya terhadap saudara laki-lakinya yang terkapar. "Bu, ibu kita masuk dulu. Aelza ada yang mau diomongin serius sama ibu." Ucap Aelza, segera menutup rapat pintu keluar, menggandeng tangan ibunya ke arah ruang keluarga.  Lailly kebingungan, mengapa anaknya yang biasanya dingin dan tertutup bungkam seribu bahasa itu terlihat agak berbeda.  "Kamu mau bicarain apa? Bukannya sebentar lagi kamu masuk?" Tanya sang ibu.  Mereka duduk di sofa ruang keluarga. Saling bungkam dan menatap satu sama lain.  Aelza memilih diam, pria dingin itu sedang berpikir keras, ia harus melakukan apa untuk mengulur waktu? Aelza bukanlah tipe pria yang bisa basa-basi. Sedari ia kecil, semua orang tahu, aelza adalah pria yang akan bicara saat memang benar-benar penting. Dan juga dikenal sebagai  coldest boy di sekolah mereka. Tak ada yang berbicara, mereka memilih bungkam beberapa menit. Setelahnya barulah Aelza angkat bicara. "Bu, Aelza kayaknya sakit deh." Sembari menggeser tempat duduk mendekati tempat duduk ibunya, lalu membaringkan kepala di atas paha sang ibu. Aelza tidak pernah bertingkah seperti itu, sekalipun sakit atau sedang kritis, mengingat pria itu pernah hampir meninggal saat waktu kecil.  Ia tak pernah bergantung atau menunjukkan sisi lemahnya pada siapapun. Tak terkecuali pada sang ibu. Begitulah kira-kira sosoknya.  Melihat tingkah Aelza, walaupun ibunya lumayan heran dengan kekakuan Aelza pagi ini, tapi mungkin saja Aelza saat ini memang butuh sandaran pada ibunya. Segera dielus-elus kening sang anak. Dengan jari-jari tangan yang terlihat sudah sedikit keriput. Namun terasa halus dan lembut, juga hangat. Itulah yang Aelza rasakan.  Nyaman. Ia sadar, seharusnya ia tak perlu menghindari tangan serba bisa sang ibu. Sejak kecil, Aelza tak pernah ingin dipeluk, dicium, diberi perhatian seorang ibu pada anak cowonya seperti umumnya. Pria dingin itu selalu berhasil menghindar. "Makasih banget Bu." Ucap Aelza, sembari mengambil tangan lembut yang sedang mengelus keningnya, menicumnya kemudian menatap sang ibu. Baru kali ini Aelza bertingkah manis seperti itu. Seketika pipi ibunya memerah merona panas bak kepiting rebus. Melihat hal itu, Aelza jadi panik. Ia takut ibunya kenapa-kenapa. Atau barangkali ia tanpa sadar telah melakukan kesalahan? Aelza mengerinyit, masih menatap mata teduh sang ibu, "Ah, ibu kenapa? Sakit kah?" Tanya Aelza cemas, semakin kuat menggenggam tangan yang baru saja ia cium dengan penuh kasih sayang. "A- am, Em, a …" Lailly berusaha menjawab dengan lancar, alih-alih lancar, ia malah gagapan salah tingkah sendiri. Walaupun suasana hatinya sekarang ini campur aduk seperti ketoprak.  Siapa yang tidak baper diperlakukan seperti itu? Terlebih anak cowonya itu adalah pria yang biasanya dingin dan tidak memperdulikan sekitarnya. Mata mereka masih bertatapan. Posisinya adalah kepala aelza yang dipangku di atas paha sang ibu. Dan ibunya yang menunduk menatap sang anaknya yang paling dingin. Seperti kulkas tiga puluh lima pintu. Aelza, kamu kenapa?  Em, ah … ibu tau ….  Tumben sekali anakku bertingkah seperti ini …? Apakah anakku sedang menyukai wanita ya? Ah sial, aku baper!!! Ah … Ternyata aku telah melahirkan seorang pria yang luar biasa. Dibalik sosoknya yang dingin dan cuek, ia dapat meluluhkan hatiku hanya dalam sekali tindakan! Luar biasa! Ini sungguh luar biasa! Aku harus pamerkan cerita ini pada ibu-ibu arisan, petang nanti! Mungkin saja akan ada banyak wanita yang tertarik pada anakku! Terlebih dia itu tampan … sangat tampan seperti ayahnya, sein! Cintaku …. Hmmm … "Ibu?" Tanya Aelza karena bingung dengan jawaban gagap ibunya. Dan terlebih lagi, Lailly tidak melanjutkan ucapannya itu. "Eh! Y-ya …" ucap sang ibu masih gugup, gerakan bola matanya tak bisa fokus. Terlebih lagi sekarang pipi sang ibu semakin memerah merona! Aelza diam, masih menunggu sang ibu melanjutkan perkataanya. Namun tidak juga terucap sepatah kata apapun dari mulut Lailly. Apa aelza terlalu polos? Apa iya, aku harus memberitahu kalau ia tak boleh bertindak sembarangan pada wanita? Karena wanita makhluk yang mudah terbawa emosi perasaan! Em, tapi aku ragu …  Hah …  Aku kan sudah tua …. Setelah berdiam-diaman beberapa menit, akhirnya Lailly angkat bicara lagi. "A- a … ah! Aleza! Kamu tidak boleh seperti itu!" Tiba-tiba saja Lailly berbicara dengan nada sedikit menyentak. Tentu saja itu membuat Aelza kaget. Tak mengerti dengan maksud omongan sang ibu yang tiba-tiba saja terdengar agak aneh. Terlebih gelagat ibunya itu seperti perempuan ABG yang salting. Makin-makin membuat Aelza terheran-heran. Ibu kenapa? Dahi Aelza kembali mengernyit, "Hm? Maksud ibu apa?" Tanya sang anak.  Merasa ingin menyudahi kegiatan salah paham ini, Lailly bertekad ingin mengesampingkan perasaan baper sekaligus kagumnya itu, karena banyak pekerjaan rumah tangga yang sedang menunggu untuk dikerjakan. Lailly menarik napas panjang, memejamkan mata, dan menghembuskannya secara perlahan-lahan, lalu membuka mata. Melihat tingkah laku ibunya yang tampak terbebani, aelza berpikir ia memang benar-benar sudah melakukan kesalahan. "Aelza salah apa Bu?" Tanya Aelza. "El, kamu gasalah apa-apa kok. Gini ya nak, ibu bilangin. Tolong didengerin yaa." Oceh ibunya. Bersiap menasehati sang anak. Aelza tak menjawab, itu sudah menjadi kebiasannya sejak kecil. Pria itu terlalu ingin cepat selesai dan tidak ingin mengulur-ulur waktu. "El, kamu punya pacar kah?" Tanya sang ibu, mengulas senyuman ringan cantik khasnya. Ingin tahu sekaligus penasaran, putranya yang satu ini sangat amat sulit untuk terbuka padanya. "Enggak ada." Jawab Aleza, kali ini dengan nada datar dan dingin khasnya. Karena ia tidak suka membahas pacaran atau menikah, apalagi tentang wanita. Hal itu adalah bahasan yang membosankan bagi seorang Aelza. " El, kamu sadar kan, selama ini, kamu gapernah mau kalau ibu berikan kasih sayang yang cukup?" Aelza mengerti maksud pembicaraan ibunya, ia mengangguk. Masih mendengarkan dengan serius omongan ibunya. Baginya, walaupun ia tidak menyukai wanita, ia tetap harus hormat, karena ibunya adalah Ratu bagi semua anak-anaknya. "Sadar kah? Sikap kamu tadi itu, manis sekali padaku?" Lailly berusaha berbicara dari hati ke hati. Karena watak Aelza itu, jika anak itu sudah merasa tertekan, ia akan meninggalkan lawan bicaranya, tak perduli siapa dan seberapa penting orang tersebut. "Hm? Biasa aja." Aelza tidak mengerti, namun berusaha mengurangi sifat dinginnya, khawatir akan durhaka pada sang ibu. Atau bahkan sedikit melukai hati sang ibu. Bagaimanapun juga, ia tak mau menyakiti perasaan ibunya. Lagi-lagi ibunya menghembuskan nafas panjang, merasa ia harus benar-benar menjelaskan pada anak laki-lakinya.  "Gini ya, El. Kamu itu cowok. Ganteng pula. Kalau kamu bertindak sembarangan pada cewek, atau teman cewekmu, seperti yang kamu lakukan tadi, itu bisa membuat si anak cewek berpikir 'aelza baik sekali, apakah ini benar aelza? Atau mungkin aelza menyukaiku, ya?' Begitu. Paham kah? Anak ibu yang paling dingin. Hm?" Tanya sang ibu, memastikan apakah Aelza paham dengan penjelasannya yang lumayan berbelit-belit.  Itu karena Lailly tidak terbiasa berbicara banyak hal pada Aelza. Tapi, sangat berbeda kondisinya jika bersama Dewa.  "Em, El emangnya ngapain tadi Bu?" Tanya Aelza tak mengerti, merasa tak ada yang aneh pada dirinya, justru anak cowok itu malah bertanya balik. Untuk ketiga kalinya, Lailly dibuat menghembuskan nafas panjangnya lagi. Mengapa anak pertama dari dua saudara kembar, itu tak kunjung paham? Bagaimana caranya ia menjelaskan pada Aelza? Karena nilai Aelza sama persis seperti saudara kembarnya, Dewa. Jadi, Lailly pikir Aelza itu setidaknya sama seperti Dewa yang cepat tanggap. Ternyata dugaannya selama ini salah, Aelza bukanlah pria yang cepat paham untuk sekali penjelasan. Atau memang ibunya yang kurang tepat dalam memberikan arahan? Lailly terdiam, mereka diam bungkam lagi. Seribu bahasa. Lailly sedang berpikir keras, tentang bagaimana ia harus menjelaskan kepada Aelza. Apakah harus dengan tindakan? Contoh perbuatan? Atau apa? Lailly merasa bersalah karena kurang perhatian pada Aelza. Sebab kepribadian Aelza yang dingin, menyebabkan interaksi anak dan ibu itu kurang terjalin dengan baik, berbeda halnya dengan dewa, yang selalu terbuka tentang apapun kepada Lailly. Sementara itu, otak cerdas seorang Aelza yang harus fokus pada dua hal bertentangan. Pertama, menghadapi pertanyaan ibunya saat ini. Sebenarnya, itu bukanlah salah ibunya, tapi karena Aelza yang kurang tepat dalam membuat alasan mengenai kepalanya yang pusing. Kedua, Aelza harus memikirkan nasib adiknya yang tak lain adalah saudara kembarnya, sedang terkapar di luar rumah. Mungkin saja orang-orang sudah membawanya ke rumah sakit? Tapi, tetap saja harusnya mereka sekeluarga sudah seharusnya mendampingi dewa. Apakah keputusan Aelza dalam menghambat ibunya dalam mengetahui kebenaran kalau Dewa, anak tersayangnya itu telah mengalami kecelakaan adalah sebuah kesalahan? Aelza tidak tahu.  "El, kamu ikut ibu pas arisan sore nanti ya?" Akhirnya mereka kembali berbicang-bincang lagi. "Em? Gabisa Bu, maaf." Tanpa pertimbangan, Aelza menolak mentah-mentah tanpa alasan yang jelas. Begitulah pria dingin itu biasanya bersikap pada sang ibu. Tidak, lebih tepatnya semua orang. Ia memperlakukan semua orang dengan sama. Ucapan maafnya selalu diakhir kata. Itulah yang telah menjadi kebiasaan dan ciri khas seorang Aelza. Berbeda dengan Dewa, yang meminta maaf selalu diawal kata. Yah, setidaknya hal pertama yang ia utarakan adalah permohonan maaf. "Emang kamu mau kemana, El? Bukannya kamu selalu berdiam diri dirumah?" Tanya sang ibu penasaran, mengernyitkan dahi, memicingkan mata, berusaha membaca pikiran sang anak, Aelza. "Ah, em, itu Bu. Aduh Bu, sebentar Bu." Ucap Aelza sembari berdiri, dan bergegas ke arah toilet Ruang keluarga. Melihat itu, ibunya terima-terima saja. Mungkin mendesak, pikirnya. Di dalam toilet, Aelza mencuci wajahnya, lalu mendengus pelan, matanya melirik kesana kemari, tampak seperti orang yang sedang kebingungan namun enggan bertanya. "Ada apa El?" Tanya seseorang yang entah berasal darimana. Tiba-tiba saja muncul di belakang Aelza yang sedang menghadap cermin toilet. "Ah!" Aelza memekik melihat tampilan Seksi dari seorang malaikat maut yang ia kenal. Segera menutup mata, bagi Aelza, pantang untuk dirinya melihat lekuk tubuh wanita dengan jelas. Entah apa alasannya. "Apa, sih? Kenapa kamu?" Tanya sang malaikat maut. "Ck." Aelza hanya berdecak, masih berusaha menutup wajahnya.  Malaikat maut mengerinyitkan kening, terheran-heran.  Malaikat maut baru tersadar, ia lupa kalau Aelza sangat membenci wanita. Apalagi wanita dengan pakaian seksi! "Oh. Ini, ya?" Tanya Malaikat maut dengan nada jail. "Ck. Cepat ganti!" Pekik Elza, masih menutup kedua mata dengan kedua telapak tangannya. Bwosh!!! Kini malaikat maut sudah berganti pakaian menjadi seperti dirinya saat ingin mengambil nyawa seseorang. "Udah El. Heheh maafin saya ya." Ucapnya terkekeh. "Hm." Jawab Aelza. Pertanda ia menjawab 'iya.' "El, kamu bingungin apa, sih? Saya bisa bantu kah?" Tanya Malaikat maut. "Iya gua bingung nu." Aelza mulai terbuka pada Malaikat maut yang ternyata bernama Anu. "Bingung kenapa, deh? Tumben biasanya kau ga memikirkan apapun tuh?" Anu penasaran, kira-kira suatu hal apa yang membuat seorang Aelza kebingungan. Yang anu kenal, Aelza adalah pria yang sangat tidak perduli dengan yang namanya masalah. Bahkan ia tidak menganggap masalah itu adalah sebuah masalah. Begitulah kepribadiannya. "Pertama, mama gua ngajak bahas masalah pacaran. Kedua, adek gua abis kecelakaan, dan itu mama Lailly dan ayah Sein belum tahu." Oceh Aelza panjang lebar. "Lah? Kenapa gak kau kasih tahu aja sih? Apalagi Dewa itu kesayangannya mama kau kan?" Tanya Anu. Sebenarnya yang Malaikat maut bilang itu tidak salah. Itu benar adanya. Tapi, yang jadi masalah, pasti ada alasan kuat dibalik Aelza yang tidak mau segera menceritakan hal penting tersebut pada kedua orang tuanya, apalagi Ibunya, Lailly. "Gak bisa gitu. Masalahnya lebih berat dari yang lu kira nu." Jawab Aelza, terlihat pasrah dan terkesan sedikit ingin menyerah. Ia mendengus pelan. "Hm, yaudah deh Aelza. Santai aja. Kau pasti bisa kok! Saya pergi dulu ya. Ada job nih." Begitulah kira-kira salam perpisahan dari Anu, si malaikat maut yang menjadi teman akrab Aelza. Hampir setiap hari, anu datang ke rumah milik marga Senlay. Untuk menemui sohibnya, yaitu Aelza. Sekarang ini, di dalam toilet hanya tersisa Aelza seorang diri. Menatap kaca, berharap menemukan solusi dari permasalahan yang cukup berbelit ini.  Gua harus apa? Em, gua gapengen ibu berubah jadi monster lagi. Ck! Sialan! Kenapa ibu harus menderita penyakit itu, sih?!!! "Argh!" Rancau Aelza mengacak-acak rambutnya.  "Oke. Mau gamau gua harus bilang ke ibu." Aelza bermonolog pada diri sendiri, memantapkan hati untuk siap menerima resiko dari keputusan yang telah ia ambil.  "Ah, gua ada ide. Kayaknya sih, gua pura-pura aja tuh terima telpon dari rumah sakit. Jadi, kondisi ibu juga gabakal parah kayak dulu kan? Tapi kalo ketauan gimana? Bukannya itu malah lebih mempersulit gua?" Lagi-lagi Aelza bermonolog pada diri sendiri. "Jadi gue harus apa, b*****t?!" Merasa tak bisa menyelesaikan masalahnya, tentu saja Aelza naik pitam geram pada dirinya sendiri. Bersamaan dengan itu, ibunya mengetuk pintu toilet. Mungkin karena takut Aelza kenapa-kenapa? Karena yang ibunya tau, pria itu sedang sakit kepala. "El, kamu gapapa, nak? Ibu buatin kamu makanan cemilan ya sayang. Nanti dimakan ya, El. Jangan sampe lupa, loh." Lailly berpikir mungkin saja Aelza belum makan dengan cukup, tentu saja insting seorang ibu adalah membuatkan makanan atau makanan cemilan untuk anaknya yang sedang sakit. "Iya Bu." Jawab Aelza dari dalam kamar mandi.  Aelza masih memikirkan cara terbaik untuk jalan keluar solusi masalah ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.6K
bc

Sang Pewaris

read
53.1K
bc

Dilamar Janda

read
319.6K
bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

JANUARI

read
37.3K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.7M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook