Sedari kecil, Lizzie telah mengenal lautan lebih lama dari pahlawan-pahlawan lain, karena kota yang ia tinggali adalah Barasta, merupakan kota pelabuhan paling ramai dan terkenal di Madelta.
Banyak sekali kendaraan air yang melintasi lautan di kota itu, dari kapal paling besar sampai perahu paling kecil, semuanya hadir di sana, untuk melakukan berbagai hal, entah pengangkutan barang atau pun pengantaran penumpang.
Banyak juga yang bilang, Barasta adalah rajanya pengekspor makanan laut di Madelta, yang membuat nama negeri itu pun jadi harum berkat prestasi tersebut.
Bukan hanya itu, Lizzie pun mengenal segala marabahaya yang selalu terjadi di lautan, entah itu pasang-surutnya air yang dapat menenggelamkan suatu perkampungan, atau bencana alam seperti tsunami yang dapat merenggut sebuah pulau besar.
Lizzie paham betul mengenai hal-hal yang terjadi di lautan, termasuk juga soal pembentukan angin p****g beliung yang kerap muncul di tengah laut ketika cuaca mendung.
Namun, meskipun Lizzie tahu betul tentang bahaya-bahaya yang ada di lautan, ia tidak pernah mengalaminya secara langsung, semua yang ia tahu hanya berdasarkan penjelasan-penjelasan dari para nelayan, guru di sekolah, dan beberapa kenalan yang dijumpainya.
Itulah mengapa, sejak berlayarnya Lizzie ke tengah lautan bersama para pahlawan, dia sedikit gugup karena itu adalah pertama kalinya dia benar-benar mengarungi laut menggunakan gondola.
Dari munculnya Paus Orca sampai angin p****g beliung, Lizzie tidak mampu memperkirakannya dengan baik, alih-alih dapat meringankan keselamatan teman-temannya, dia malah menjadi beban.
Yang Lizzie lakukan hanyalah marah-marah sambil berteriak untuk menutupi rasa takutnya, tapi mau sampai kapan pun dia menyembunyikannya, tetap saja bangkai akan tercium juga aroma busuknya.
“Kalau kalian keberatan melakukannya, itu tidak masalah. Biar aku saja yang melakukannya, aku akan memeriksanya sendirian, jika dugaanku benar atau salah, aku akan kembali untuk memberi kabar.” Pamit Jeddy dengan berdiri di kayu pembatas gondola, bersiap-siap untuk melakukan aksinya, yaitu terjun dan berenang mendekati dan memeriksa cahaya yang berpendar di puncak angin p****g beliung. “Jadi, tolong, izinkanlah aku pergi, Bro.”
“Tentu saja aku menentang keputusanmu,” timpal Nico dengan menekan kaca matanya yang hampir melorot. “Dan bukan hanya aku saja yang menentangmu, mereka juga…,” Nico merentangkan lengan kanannya ke arah pahlawan-pahlawan lain yang cuma berdiri mematung memandangi punggung Jeddy. “… menentang keputusan bodohmu!”
Menghirup napasnya sedalam mungkin, Jeddy menundukkan kepalanya, memandang gejolak ombak yang terus memiring-miringkan gondola yang dipijakinya.
“Ya, aku mengerti, Bro. Tapi jika tidak ada yang mau mengorbankan diri, lalu siapa yang melakukannya!?”
“Tidak ada yang perlu melakukannya!” Ikut bergabung dalam pembicaraan, Cherry berteriak dengan mata yang dipenuhi linangan air mata, membuat semua orang di gondola langsung menoleh ke sosok gadis mungil itu. “Mau Cherry, Jeddy, Nico, atau pun yang lainnya! Tidak ada yang perlu pergi dari gondola! Tetaplah di sini! Cherry tidak mau kita semua mengalami hal yang sama seperti Abbas dan Isabella! Cherry tahu Cherry tidak punya hak untuk berbicara seperti ini di depan kalian karena Cherry cuma gadis manja yang tidak mengerti apa-apa, tapi Cherry menangis begini karena Cherry tidak mau kehilangan teman Cherry lagi!”
Mendengar segala yang diucapkan oleh Cherry membuat mereka semua terdiam dan merenungi itu dalam-dalam, mencoba memahami perasaan gadis mungil tersebut, hingga akhirnya sebuah suara mengudara, menginterupsi keheningan itu sembari mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. “Kalau memang begitu, maka lakukanlah cara yang aku usulkan!”
Mengalihkan pandangannya ke sosok gadis berambut oranye yang baru saja berbicara dengan tegas, Nico memicingkan kelopak matanya, tercium sedikit aroma kemarahan di dalam suara gadis itu, tapi ia berusaha mengabaikannya.
“Cara yang kau usulkan?” Nico mengingat-ingat kembali dan ia tersentak. “Tidak, itu juga tidak masuk akal. Dari segala cara, mengapa harus itu? Mustahil kita melakukannya di tengah badai seperti ini, sedikit saja ada yang kelelahan, dia bakal tercebur ke lautan. Itu tidak menjamin keselamatan kita, Lizzie.”
Ketika mereka berdiskusi, hembusan angin semakin kencang, membuat goyangan ombak bertambah kuat, menyebabkan gondola jadi tunggang-tunggit tak menentu. “Tapi itu lebih baik dari pada berenang ke lautan!”
Gemas, Lizzie mendatangi Nico dengan menciptakan suara langkah kaki yang nyaring, membuat semua pahlawan jadi bersiaga terhadap amukan dari gadis tomboi itu. “Dengar! Kau itu tidak perlu berlagak sombong di sini! Kau bukan pemimpin! Sebelum kau mengutarakan penolakanmu, berbicaralah dulu dengan mereka semua! b******n!”
Merasa terintimidasi, Nico menyerang balik dengan memberikan tatapan sangarnya pada Lizzie, walaupun badannya gemetaran karena gadis kekar itu ada tepat di depannya. “Kau pikir siapa yang mau menyetujui ide konyolmu itu? Mendayung gondola ini dengan tangan kosong? Sebetulnya itu tidak masalah jika situasinya normal, tapi lihatlah sekarang, kita sedang berada di tengah-tengah badai! Aku tidak mau ada orang yang terhempas ke lautan karena melakukan ide konyolmu itu!”
Tidak bisa menahan kegeramannya lagi, Lizzie langsung mencengkram pipi Nico hingga bibir lelaki berkaca mata itu monyong. “Sepertinya kau ingin sekali kubunuh, ya?” bisik Lizzie dengan suara yang sangat ditekan, sembari memelototkan bola matanya selebar mungkin, memberikan kesan menyeramkan di depan muka Nico, agar lelaki berambut kapas itu ketakutan.
“Sadarilah posisimu, kau ini cuma lelaki culun bertubuh kurus. Aku tahu alasan dibalik segala penentangan yang kau bilang, intinya kau ini cuma takut untuk melakukan ide-ide yang kami utarakan, karena semua ide itu harus dilakukan dengan tenaga super ekstra, menyadari kondisi tubuhmu yang lemah, kau pun dengan egois menolaknya. Aku mengerti sekarang, dari segala pahlawan yang berkumpul di sini, cuma dirimu lah yang paling menyedihkan.”
Terguncang dengan perkataan yang dilontarkan oleh Lizzie, Nico membelalakkan matanya dengan retina yang gemetaran, bibirnya menganga dan keringat membasahi keningnya.
Saat ini Nico benar-benar merasa terhina, harga dirinya telah diinjak-injak oleh segala kebiadaban yang diucapkan gadis berambut oranye yang bau busuk itu padanya. Tidak mau diam saja seperti orang t***l, Nico segera melancarkan serangan balik dengan emosi yang tidak terkontrol.
“Tanpa kau jelaskan pun! Aku—“
Seketika lengan kiri Nico ditarik secara paksa oleh tangan seseorang, membuat ia tidak sempat melanjutkan ucapannya dan Lizzie terkejut melihat lawan bicaranya pergi dari hadapannya secara mendadak.
Memutar lehernya, Lizzie kaget saat menemukan wujud Colin yang sedang mendekap kepala Nico di dadanya, membuat lelaki berkaca mata itu secara refleks memeluk badan orang yang menariknya.
“Berani sekali kau mengganggu—“
“Lizzie!” Jeddy tiba-tiba berteriak, memotong omongan Lizzie dengan berjalan cepat mendekati gadis tomboi itu yang akan membentak Colin. “Mari kita lakukan ide yang kau usulkan! Aku tidak menentangnya! Aku mau bekerja sama denganmu karena kupikir jika dibandingkan dengan ideku, idemu lebih bagus! Kau tidak perlu memikirkannya, siapa pun berhak untuk mengungkapkan pendapatnya, tapi yang jelas, aku bersedia melakukannya denganmu! Bro!”
Dengan senyuman lebar yang terlukis di wajahnya, Jeddy merangkul leher Lizzie dengan terbahak-bahak, agar gadis tomboi itu tidak marah-marah lagi. Berkat itu pula, suasana tegang di gondola mulai menyusut, tergantikan dengan senyuman-senyuman tipis yang tercetak di muka tiap orang.
“Sepertinya menarik, aku juga ikut!” Victor terkekeh dan mendatangi Lizzie.
“Mungkin ide ini lebih baik dari pada harus terjun ke lautan.” Koko juga ikut bergabung ke kelompok Lizzie, berjalan pelan untuk berdiri di dekat gadis tomboi itu.
“Izinkan saya ikut!” Tergesa-gesa, Naomi mengangkat bagian bawah gamisnya saat berlari menghampiri Lizzie.
Tidak mau ketinggalan, Cherry bergegas menggerakkan kakinya secepat mungkin untuk mendekati Lizzie yang dikerumuni teman-temannya. “Cherry juga! Cherry juga!”
Tidak menyangka akan mendapat kesepakatan dari rekan-rekannya yang lain, Lizzie cuma tersenyum sambil menggaruk tengkuk, gadis tomboi itu kelewat senang karena sebagian besar temannya menyetujui ide yang dianggap konyol oleh Nico.
“Kalau begitu, ayo kita bersiap-siap! Ikuti komandoku!” Tanpa banyak basa-basi, Lizzie segera bergegas ke tepian gondola, diikuti orang-orang yang setuju dengannya.
Mereka semua kini berjongkok di setiap sisi gondola, dengan satu lengan meraih papan penahan dan satu tangan lainnya menggantung di permukaan laut. Mereka akan mendayung gondola ini menggunakan tangan kosong agar kendaraan ini tidak menghampiri angin p****g beliung.
“DAYUNG SEKUAT MUNGKIN! MULAI!”
Raungan Lizzie telah mengggerakkan tangan-tangan yang menggantung di permukaan laut untuk segera mengayunkan lengan-lengannya, mendayungnya sekencang mungkin demi membawa gondola yang mereka tumpani menjauhi eksistensi bencana alam tersebut.
Awalnya pergerakkan mereka tidak selaras, tapi lambat-laun ayunan lengan mereka jadi tampak kompak bahkan gondola yang dinaiki oleh mereka bisa bergerak sesuai komando Lizzie.
Memandangi teman-temannya sedang berjuang, Nico yang masih berada di dekapan Colin mulai merasa tidak enak hati dan ingin berbuat sesuatu, perlahan-lahan lelaki berkaca mata itu melepaskan diri dari pelukan Si Pelayan Kedai dan menundukkan kepalanya.
“Sepertinya aku menyesal pada perkataanku, aku ingin membantu mereka.”
Terkejut, Colin segera menjawabnya dengan buru-buru, “Kau yakin!? Kau tidak perlu memaksakan diri, biarkan aku saja yang membantu mereka, kau istirahatlah, Nico.”
Sebetulnya Nico senang mendengar segala perhatian yang Colin ucapkan padanya, mukanya bahkan jadi memerah pekat, tapi ini bukan saatnya untuk beromantis-romantisan ria, dan dia juga tidak mau dianggap sebagai orang yang lemah.
“Jangan meremehkanku,” Nico menatap mata Colin dengan tajam. “Aku juga seorang pahlawan di sini.”
Dari ucapan itulah, Colin merasa tersentuh dan akhirnya tersenyum bangga pada Nico. “Kalau begitu, ayo!” Lagi-lagi Colin menarik tangan Nico untuk bergegas ke tepian gondola untuk berjongkok di sana, ikut bergabung bersama teman-temannya yang lain, melakukan pendayungan tangan kosong.
“Selamat bergabung!” Victor menyambut keikutsertaan Nico dan Colin saat melihat mereka berdua melakukan hal yang sama seperti dirinya dan teman-temannya yang lain. “Mari kita berjuang bersama sebagai sesama pahlawan!”
Menganggukkan kepalanya, Colin mengangkat jempolnya dan mulai mendayung, begitu juga dengan Nico.
Pada akhirnya delapan pahlawan yang ada di gondola sama-sama bertempur melawan ombak besar dengan hanya menggunakan tenaga yang mereka pusatkan di lengan masing-masing. Terus mendayung dan mendayung, tanpa peduli pada angin kencang yang menerpa wajah, petir menggelegar-gelegar mengagetkan telinga, atau pun gelombang laut yang dapat membalikkan gondola mereka.
“TERUS DAYUUUUUUUUUNG!” Mendorong mental mereka agar lebih kuat, Lizzie berteriak sekencang mungkin. “KALAHKAN GEJOLAK ALAM DAN MENDAYUNGLAH SEKUAT MUNGKIN! BAJINGAAAAAAAAAAN!”
Merapatkan mulutnya sekuat mungkin, Naomi menjerit histeris sambil mendayung-dayungkan lengannya secepat mungkin. Jeddy terbahak-bahak untuk mencairkan suasana yang menegangkan ini tanpa menghentikkan gerakan tangannya, Cherry menangis tersengguk-sengguk dengan menggoyang-goyangkan satu tangannya di permukaan laut.
Rambut ungu panjang Koko berkibar-kibar layaknya bendera saat lelaki cantik itu melakukan hal yang sama seperti teman-temannya. Sembari mendayung, Victor berharap perjuangan ini dapat mengantarkan mereka ke lokasi tujuan, begitu juga dengan Lizzie, Nico, dan Colin, mereka semua berharap bisa segera sampai di Pulau Gladiol untuk menuntaskan tantangan ini.
Krak!
Tiba-tiba semua terkejut saat mendengar suara dari suatu benda di gondola.
“Sepertinya aku mendengar sesuatu!” ungkap Victor dengan mengernyitkan alisnya.
“Cherry juga mendengarnya! Itu mirip suara kayu yang patah!”
“Kayu yang patah?” Lizzie menggeram sambil memicingkan matanya.
Seketika Jeddy terkejut saat melihat penampakan dari siluet manusia yang berusaha naik ke bagian belakang gondola dari permukaan laut, itu seperti lekukan tubuh perempuan dengan rambut yang panjang.
“Siapa itu?” gumam Jeddy dengan mengendurkan tenaganya dalam mendayung.
Menyadari kalau gerakan tangan Jeddy jadi pelan, Koko bersuara, “Ada apa, Jeddy? Sepertinya kau seperti… melihat sesuatu?”
Memalingkan ke muka Koko yang duduk di depannya, Jeddy menganggukkan kepala. “Aku melihat sosok wanita yang dapat berjalan di atas air dan dia seperti mau naik ke gondola kita.”
Terkaget, Koko tersenyum kaku sambil bilang, “Eh? Mu-Mungkin… itu cuma perasaanmu saja.”
“Biar aku periksa!” Colin tiba-tiba berdiri dan menyusuri setiap sisi gondola untuk mencari tahu suara patah tersebut. Setelah beberapa menit memeriksa, Colin tidak menemukan apa pun. “Tidak ada yang patah dari gondola ini!”
“Kalau begitu abaikan saja! Kita lanjutkan perjuangan ini!” raung Lizzie dengan dibalas anggukkan dari beberapa temannya, Colin pun kembali melakukan tugasnya.
Sementara Jeddy dan Koko masih sibuk pada pembahasan soal sosok perempuan. “Aku yakin sekali aku melihatnya barusan, Bro.” bisik Jeddy pada Koko dengan tampang yang luar biasa serius.
“Aku mengerti, tapi aku tidak melihat apa-apa di permukaan laut, Jeddy.” balas Koko dengan suara yang begitu rendah agar tidak terdengar oleh teman-temannya yang lain.
“Daripada memikirkannya… lebih baik kita mendayung dengan benar, Jeddy.”
“Tapi aku melihatnya, Bro. Sungguh.”
“Iya, aku mengerti, tapi—“
“SEDANG APA KALIAN BERDUA!?” Menyadari ada suara bisik-bisik yang mengusik ketenangan, Lizzie segera memutar kepalanya untuk menoleh ke posisi Jeddy dan Koko.
“T-Tidak! K-Kami tidak sedang apa-apa!” respon Koko dengan tergagap-gagap.
Jeddy cuma terdiam karena masih memikirkan soal itu, ia begitu penasaran mengenai sosok wanita misterius yang dilihatnya, karena saat matanya kembali memandang ke lokasi yang tadi, penampakan itu telah menghilang.
“Apa itu cuma perasaanku saja, ya? Hmmm.” Gumam Jeddy dengan merenung, tampak masih ingin menyelidiki hal tersebut.
Badai semakin kuat, perjuangan para pahlawan semakin sulit, tapi meskipun begitu mereka tidak pantang menyerah, tetap mendayung dengan tangan kosong walaupun lawan yang mereka hadapi adalah amukan dari alam.