Flow of Life - 34

2110 Words
Kini, para pahlawan bimbingan Paul sedang berkumpul di tengah hutan dari sebuah pulau yang masih terasa asing bagi mereka. Satu-persatu dari para pahlawan itu menajamkan indera pendengaran dan penglihatannya saat mereka mengikuti Abbas yang berjalan paling depan untuk memandu jalan yang mereka tempuh di hutan tersebut. Sembilan orang itu seperti anak-anak itik yang mengikuti induknya, tentu saja yang dimaksud dengan induk adalah Abbas. Hanya lelaki bertelanjang d**a itulah yang bisa melihat sesuatu lebih jauh dari manusia-manusia normal, berkat mesin yang diduga tertanam di tubuhnya itu, dia bisa menggunakan kemampuan itu sebagai alat kesukesan untuk misi sepuluh pahlawan agar mereka bisa melalui rintangan ini bersama-sama dan bisa sampai ke Pulau Gladiol. "Apa yang kau temukan sejauh ini? Apakah masih tampak buram?" tanya Colin yang berjalan pelan berdampingan dengan Nico, menanyakan hal itu pada Abbas yang berjalan tepat lima langkah di depannya. Sayangnya Abbas sama sekali tidak merespon, dia terlihat sangat fokus dalam melakukan tugasnya sehingga teman-temannya hanya bisa percaya dan mengikuti langkah kakinya. Meskipun beberapa dari mereka ada yang sedikit ragu dan ingin kembali ke tepi pantai, tapi perjalanan sudah terlalu jauh dan hampir mustahil untuk bisa kembali ke sana, apalagi kalau sendirian, itu terlalu menakutkan. "Di sini banyak sekali nyamuk! Kulit Cherry jadi digigit-gigit terus!" rengek Cherry dengan menepak-nepak tangan dan bahunya sambil menunjukkan raut jengkelnya yang imut, bahkan bibirnya ketika cemberut sangat menggemaskan. "Masih jauh tidak, ya? Cherry ingin istrahat sebentar, deh! Kaki Cherry juga sudah letih, nih!" "JANGAN BANYAK ALASAN!" bentak Lizzie pada Cherry dengan menolehkan kepalanya pada gadis mungil itu dan memberikan tatapan mata yang super tajam, sukses membuat Cherry ngeri. "Jika kau terus-terusan seperti gadis manja, kau tidak akan mampu menjadi seorang pahlawan! Buanglah harapanmu dan pulang saja ke hotel sendirian! Dasar b******n!" Mendengarnya, bibir Cherry jadi bergetar, matanya berkaca-kaca, dan air mata menggumpal banyak di kelopak matanya, tapi gadis itu terlihat menahan diri dan mulai bersuara lantang. "Lizzie-lah yang tidak pantas menjadi pahlawan! Seharusnya pahlawan tidak jahat sepertimu! Pahlawan itu orang yang lembut dan suka menolong orang lain! Dan kau sama sekali tidak memcerminkan itu semua! Jadi, bukan Cherry yang tidak pantas menjadi pahlawan! Tapi Lizzie sendirilah yang tidak pantas!" "Kau mau berkelahi denganku, hah!?" Ketika Lizzie hendak mendekati Cherry, Jeddy segera menarik badan gadis tomboi itu untuk menahan pergerakannya. "Kau mau apa!? Cherry tidak takut padamu!" Naomi juga cepat-cepat menarik dan mengunci tubuh Cherry agar tidak mendekati Lizzie. "Ayolah, Bro! Jangan bertengkar di tempat gelap seperti ini! Sudahlah! Oke!?" rayu Jeddy dengan mengusap-usap bahu Lizzie agar si gadis tomboi bisa sedikit tenang. "Ini sudah malam! Anda tidak boleh berisik seperti itu! Bagaimana kalau hewan-bewan buas yang sedang tertidur, jadi terbangun oleh suaramu, lalu mengejar dan memangsa kita semua!? Itu berbahaya, kan!? Jadi jangan berisik lagi, ya!?" Naomi juga berusaha menenangkan Cherry dengan sedikit menakut-nakutinya agar si gadis mungil itu bisa diam dan patuh pada perkataannya, mengingat Cherry sangat sulit diatur dan agak keras kepala. Lizzie dan Cherry hanya menggeram setelah dibujuk oleh Jeddy dan Naomi, mereka berdua tampaknya masih belum puas dalam mengungkapkan kemarahannya tapi mereka terpaksa menuruti kemauan teman-temannya demi kebaikan bersama. "Jangan menyentuhku!" Lizzie pun menepis tangan Jeddy yang tersimpan di pundaknya lalu pergi begitu saja untuk berjalan agak jauh ke belakang dari gerombolan. Sedangkan Cherry cuma berkata, "Ya! Ya! Baiklah! Cherry tidak akan mengulanginya lagi!" Naomi dan Jeddy hanya tersenyum lega dan saling memandang dalam beberapa detik sebelum akhirnya jadi saling membuang muka. 'Eh? Kenapa aku ikut-ikutan buang muka pada Naomi?' Jeddy kebingungan karena instingnya malah membuat ia jadi membuang muka pada si gadis berkerudung itu. Sedangkan Naomi malah histeris di dalam hatinya. 'Ya Tuhan! Barusan aku saling bertatapan dengan Jeddy! I-Itu terlalu memalukan! Bagaimana kalau dia melihat ekspresiku yang aneh dan jelek! J-Jeddy bisa membenciku dan mungkin jijik padaku! I-Ini gawat sekali, Ya Tuhan!' Mereka berdua benar-benar tidak mengerti pada perasaanya masing-masing. Tiba-tiba Abbas menghentikan langkahnya, membuat sembilan temannya jadi ikut terhenti. Mereka kebingungan saat Sang Pemandu Jalan mendadak terdiam dan mematung di tengah hutan seperti ini. Suara-suara burung hantu dan gagak terdengar di pepohonan, lolongan serigala juga turut meramaikan suasana malam yang hening itu. Rerumputan yang tumbuh di tanah menghasilkan bunyi 'crak' 'crak' 'crak' ketika diinjak-injak oleh mereka bersepuluh saat melangkah, lalu udara dingin yang membekukan kulit serta rasa kantuk dan lelah yang membuat mereka jadi menguap berkali-kali, turut melengkapi perjalanan mereka. Penasaran, Nico segera bertanya, "Ada apa? Apa yang membuat langkahmu terhenti, Abbas?" Masih belum ada jawaban sama sekali, tapi jika kau melihatnya dari depan, sangat jelas bola-bola mata Abbas yang seharusnya berwarna abu-abu kelam, jadi tampak merah menyala. Bukan, itu bukan karena kerasukan hantu atau dihipnotis oleh penyihir, tapi itu adalah penampakan saat dia telah mengaktifkan fitur penglihatan robotnya yang berasal dari mesin mungil di dalam tubuhnya. "Hey! Abbas! Kau ini kenapa!?" Colin jadi agak cemas pada kondisi Abbas, dia berpikir orang itu sedang mengalami masalah tersembunyi di dalam dirinya. Tapi, itu masih sebatas dugaan Colin saja. "Tidak apa-apa," Koko berupaya menenangkan kepanikan teman-temannya terhadap gerak-gerik Abbas yang mulai aneh. "Mungkin... Abbas masih sedang fokus pada tugasnya, jadi menurutku, kita tidak boleh mengganggunya, apalagi kalau memaksa dia untuk menjawab pertanyaan kita." "Apa yang dikatakan oleh Krystal, benar," sambung Isabella, menyetujui apa yang diucakan oleh Koko sembari menganggukkan kepalanya. "Peran kita di sini cukup mengikuti dan percaya pada segala yang Abbas lihat dalam penglihatan robotnya. Apa pun gerakan dan langkah yang dia tunjukkan, kita harus percaya dan mengikuti gerakannya. Pada intinya, itu saja." "Tapi kita juga tidak boleh terlalu bergantung pada Abbas, Bro!?" Jeddy kelihatannya menentang opini Isabella dan Koko dengan menampilkan wajah seriusnya yang sama persis seperti saat di gondola, tepatnya ketika dia ingin berenang ke laut. "Karena mesin tidak sama seperti makhluk hidup! Mesin pasti punya kekurangannya masing-masing, Bro!" "Jeddy, sejak kapan kau berani menentang keputusanku?" Isabella melirik ke arah Jeddy dan menyunggingkan senyuman menggodanya pada lelaki berambut hijau itu. "Aku tidak menyangka kau bisa tumbuh secepat ini, Jeddy. Ya ampun, pasti tongkatmu jadi semakin membesar akhir-akhir ini, pasti rasanya lezat sekali~" Mendengar itu, Jeddy langsung terbungkam dalam seketika, gairah seksualnya meningkat saat mendengar suara desahan nikmat yang disuarakan oleh Isabella, membuat tongkatnya jadi mengeras dan berdiri sempurna, Naomi bahkan terbelalak melihatnya. "Jaga bahasamu, Isabella! Kau tidak boleh merayu laki-laki separah itu! Kau bisa memancingnya! Dan itu berbahaya! Ya Tuhan!" Naomi benar-benar jengkel pada kejahilan Isabella, sedangkan yang bersangkutan hanya terkikik-kikik ria tanpa mempedulikan seruannya. Menyaksikan pertikaian itu, Victor hanya terdiam sambil menyembunyikan selangkangannya yang sudah berdiri tegak, akan sangat memalukan jika teman-temannya melihat hal tersebut. Maka dari itu lelaki berambut emas itu terus berjalan dengan gaya senormal mungkin agar tidak ada yang curiga terhadapnya, tapi sayangnya ada satu orang yang mengetahuinya dan itu adalah--- "Kamu kenapa, Victor?" ---Koko. Si lelaki cantik berambut ungu panjang itu merasa ada yang aneh dengan gerak-gerik Victor dan ia jadi penasaran untuk menanyakannya secara langsung. "Eh? A-Aku baik-baik saja, sungguh! Hehe!" Victor berusaha sebisa mungkin untuk menutupi selangkangannya dari Koko dan juga bersikap santai, meskipun kesannya masih tampak kaku dan agak panik, membuat si lelaki cantik itu merasa terheran. "Jika kamu dalam masalah, ceritakan saja, mungkin... aku bisa membantumu." "T-Tidak perlu! Hehe! A-Aku tidak apa-apa! S-Sungguh!" gagap Victor dengan tertawa kikuk. "J-Jangan khawatirkan aku." "Baiklah." Koko tersenyum dan mengangguk, Victor tersenyum balik dan bernapas lega. Ternyata suara desahan Isabella benar-benar seperti bom nuklir yang dapat membangkitkan naluri liar laki-laki, dan kini Jeddy dan Victor lah yang terkena serangan bom tersebut, membuat mereka berdua jadi panik dan gugup. Namun, segala konflik dan kekonyolan itu tiba-tiba lenyap ketika Abbas mulai mengeluarkan suara baritonenya yang sangat besar dan ngebass. "Aku melihatnya." ucap Abbas dengan mata merahnya yang memandang ke depan, menembus pepohonan dan terus menerobos hingga menemukan sesuatu yang menarik. "Melihat apa!? Melihat apa!? Katakan! Cepat katakan! Cherry penasaran sekali!" Dengan riang gembira, Cherry melompat-lompat di dekat Naomi, tampak kegirangan saking senangnya mendengar suara Abbas. "Tolong jelaskan apa yang kau lihat secara detail pada kami." pinta Nico dengan menekan kaca matanya yang berkilat-kilat. "Semoga bukan sesuatu yang buruk." resah Naomi dengan keringat yang bercucuran di keningnya, membasahi kerudung dan gamis kuning yang dikenakannya. "Cepat bilang saja, b******n!" seru Lizzie yang juga tidak sabar pada sesuatu yang dilihat oleh Abbas, ia jadi sangat jengkel saat lelaki berambut abu-abu itu malah terdiam lagi seperti patung. "Jadi, apa yang kau lihat, Abbas?" lirih Koko sambil berharap itu adalah hal yang bagus. "Kau tidak mengintip pasangan yang sedang b******u mesra di bawah pepohonan, kan? Abbas?" goda Isabella, mengusili Abbas yang terlalu serius dalam menjalankan tugasnya. "Apa pun yang kau lihat, jujur saja pada kami, seburuk apa pun itu, kita bersepuluh akan melewati dan menghadapinya bersama-sama!" seru Victor dengan bersemangat. "Ya, Bro! Ayo, bilang saja, Bro! Jangan sungkan!" sahut Jeddy, menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang Victor utarakan. "Aku melihat sebuah istana yang tidak terlalu besar tapi begitu mewah," jelas Abbas mengungkapkan apa yang dilihatnya pada teman-teman di belakangnya. "Dan di dalam sana, ada banyak sekali ruangan aneh dan orang-orang berjubah, ada juga anak-anak remaja seperti kita di sana. Dan, yang paling penting, aku juga melihat Paul bersama Roswel sedang mengobrol di balkon lantai tiga di istana itu." Sontak, mendengar penjelasan dari Abbas, wajah dari teman-temannya langsung menegang dan terkejut, mereka semua jadi hening dalam sesaat sebelum akhirnya, "YEAAAAAAAAAAAAAH!" Bersorak-sorai secara serentak, menampilkan kegembiraannya masing-masing dengan tertawa, saling memeluk, dan menari-nari. "INI PULAU GLADIOL, BROOOO!" Jeddy meraung sekeras mungkin, menunjukkan betapa bahagianya dia bisa berhasil menuntaskan segala rintangan di tengah laut bersama teman-temannya. "SYUKURLAAAAAAAAAAAH!" Naomi mendadak bersujud ke tanah, memanjatkan puji syukur dan terima kasihnya kepada Tuhan karena telah dituntun ke jalan yang benar. "Aku... senang sekali." Koko tersengguk-sengguk dengan menundukan kepalanya, air matanya mengalir dengan deras, ia menangis dalam hening sambil menyunggingkan senyumannya yang tampak mengharukan. "Aha~ Waktunya berpesta ria~" Isabella menarik Cherry untuk menari-nari bersamanya. "Akhirnya kita bisa sampai di Pulau Gladiol! Cherry tidak menyangka kita benar-benar berhasil! Cherry sangat bangga pada kita semua!" Dengan riang, Cherry meloncat-loncat dan berdansa ria bersama Isabella sembari menampilkan senyuman gembiranya sedemikian rupa. "Kau senang?" Nico menoleh pada Colin yang berdiri di sampingnya, dan ia terkejut karena lelaki itu ternyata malah pingsan di tanah. "Eh!? Hey! Colin! Colin!? Kau kenapa!? HEY! COLIN!" Penyebab Colin jatuh pingsan bukan karena melihat hal yang menakutkan, tapi karena terlalu kaget dan senang secara berlebihan sehingga dia tidak bisa mengendalikan perasaan gembiranya dan akhirnya pingsan secara mendadak. "KALIAN TERLALU BERISIK! BAJINGAAAAAAAN!" Lizzie malah menutupi dua telinganya dengan tangan sambil memarahi dan membentak teman-temannya yang berteriak-teriak seperti orang aneh. "KAK VERONICA! PAUL! ROSWEL! KAMI BERHASIL! KAMI BERHASIL! KAMI TELAH BERHASIIIIIIIIIL!" Victor begitu menggelora dalam menyuarakan kegembiraannya sampai menyebut nama orang-orang yang ada di pikirannya sekencang mungkin agar mereka yang disebutkan namanya bisa mendengar suaranya meski terhalang oleh jarak. "Eh?" Veronica, si perempuan botak yang sedang tertidur di kamarnya, tiba-tiba terbangun saat ia mendengar suara adiknya secara samar-samar. "Victor?" "Apa kau mendengarnya, Roswel?" Seketika Paul mengagetkan Roswel saat dia mendadak bertanya mengenai suara sayup-sayup yang didengarnya dari dalam kupingnya. "Ya, Tuan," Roswel mengangguk karena ia juga mendengar suara berisik tersebut. "Sepertinya mereka telah sampai. Apakah Anda mau menyambut kedatangan mereka, Tuan?" "Ya!" Tentu saja Paul menerima tawaran itu karena kerinduannya sudah tidak bisa terbendung lagi, dia benar-benar sudah tak sabar ingin berjumpa dengan sepuluh pahlawan sialannya itu. "Antarkan aku pada mereka, Roswel!" "Baik, Tuan." Abbas tersenyum senang saat melirik raut wajah kawan-kawannya yang begitu bahagia mendengar perkataan yang diucapkannya, dia senang karena dirinya bisa berguna bagi mereka. Abbas sangat bersyukur karena penglihatan robotnya dapat membantu dan meringankan beban teman-temannya. Setidaknya, hanya inilah yang dapat ia lakukan setelah sebelumnya meninggalkan mereka di tengah laut tanpa permisi. Ini p********n yang setimpal atas perbuatan buruknya. "Biar aku tunjukkan jalannya," Abbas berkata pelan, membuat keributan itu terhenti sejenak, satu-persatu dari teman-temannya menoleh, memperhatikan dirinya dengan takjub. "Ayo ikuti aku." Namun, mereka semua tampak masih mematung seperti melihat hal yang luar biasa, dan itu membuat Abbas jadi terheran-heran. "Ada apa?" tanya Abbas, mengernyitkan alisnya, tidak mengerti mengapa ekspresi teman-temannya jadi tampak aneh begitu. "Apa yang kalian lihat dariku?" Tidak, mereka semua sebetulnya tidak memperhatikan Abbas, tapi lebih fokus ke sesuatu yang ada di belakang lelaki tinggi itu. Sontak, karena penasaran pada sorot mata teman-temannya yang tampak terbelalak, Abbas mencoba untuk memutarkan kembali tubuhnya, membalikkan badannya untuk menghadap ke depan, dan ia langsung terkejut setengah mati karena--- "Heh! Kalian lama sekali! Kukira kalian sudah tenggelam di tengah lautan! Membuatku jengkel saja! Dasar LAMBAT!" ---Ada Paul dan Roswel yang berdiri di hadapan mereka, tampak tersenyum menyambut mereka semua karena telah berhasil sampai ke Pulau Gladiol. "Selamat datang di Pulau Gladiol," ucap Roswel dengan membungkukkan badannya, menghormati dan menyambuti kedatangan sepuluh pahlawan bimbingan Paul di pulau tersebut. Sedangkan Paul menyeringai bengis sambil memukul dua kepalan tangannya di depan d**a. "Kalian jangan senang dulu! Karena tantangan masih belum berakhir!" raung Paul dengan menampilkan tatapan sangarnya yang mengerikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD