“Semua orang mengagumiku,” ucap Colin sembari terengah-engah, kening, wajah, dan lehernya dilumuri oleh cairan darah kering, sedangkan seluruh badannya terselimuti debu-debu dari tanah lapang yang cukup kotor. Matanya menelisik ke segala arah, memandangi para penonton yang kini sedang menyorakinya, memberikan tepuk tangan padanya dengan bergemuruh. “Semuanya bangga padaku.”
Ya, itu benar sekali. Saat ini semua orang membanggakan Hercolin Alezandra.
Sebab, hanya dia satu-satunya orang yang berdiri tegak dengan mengacungkan lengan kanannya yang terkepal ke atas, tampak gagah perkasa, mengindikasikan bahwa dialah peserta terkuat dari peseserta-peserta lainnya. Lizzie, yang merupakan pasangannya, dan Paul, yang merupakan lawannya, tengah tergeletak lemas di permukaan tanah dengan seluruh tubuhnya yang luka-luka parah.
Dua tangan Lizzie bengkok ke arah yang tidak lazim karena telah dipatahkan oleh lawannya. Sedangkan Paul leher dan wajahnya membiru karena tercekik oleh Colin dengan cekikan yang sangat kuat dan kencang, menyebabkan dirinya muntah-muntah saking sakit dan pusingnya.
Namun, meskipun kondisi mereka saat ini sedang tidak baik-baik saja, tapi mereka secara kompak tersenyum sambil melirik ke posisi Colin yang sedang berdiri di tengah arena, mereka berdua sangat bangga melihat orang itu berhasil menjadi satu-satunya peserta yang bertahan di pertandingan ini, padahal sebelumnya mereka berdua mengira Colin hanyalah pecundang yang tidak akan bisa bertahan di pertarungan brutal ini, tapi kenyataannya malah sebaliknya.
Kemudian, Roswel pun mengumumkan pada seluruh penonton bahwa pertandingan pertama secara resmi telah dimenangkan oleh Hercolin Alezandra dan Lizzie Mazilda, mereka berdua lolos menuju babak kedua. Lalu, Roswel juga mengumumkan bahwa sekarang akan langsung menuju pertandingan kedua, yang akan diisi oleh Jeddy Griggory dan Isabella Melvana melawan Paul Cozelario.
“Eh?” Namun, baru saja mendengar pengumuman itu, entah kenapa penglihatan Colin jadi kabur, di pandangannya, semua penonton jadi tampak seperti gerombolan semut yang tidak jelas, sampai akhirnya tubuhnya goyah dan ambruk ke tanah. Colin pun terlelap di tengah arena, ikut bergabung bersama Lizzie dan Paul.
Beberapa jam kemudian, Colin tersadarkan diri, ia mengerjap-erjapkan kelopak matanya dan melihat-lihat situasi, untuk memastikan di mana sekarang dirinya berada, dan matanya langsung terbelalak saat menemukan tubuhnya sedang disenderkan di tepi kolam air hangat yang berada di sebuah ruangan sunyi. Setelah dipastikan lebih lanjut, ternyata bukan hanya dirinya yang berada di sana, ada Lizzie yang juga sedang menyenderkan badannya di tepi seberang, di kolam yang sama.
Mereka berdua telanjang bulat, sehingga Colin secara tidak sengaja melihat bagian p******a Lizzie yang cukup rata tersebut.
“Kau sedang melihat apa, b******n?” Sadar temannya telah bangun, Lizzie pun bersuara dengan membasuh-basuhkan badannya menggunakan air hangat dalam kolam itu.
Rambut oranye Lizzie terlihat basah dan lepek, sama seperti Colin yang rambut birunya jadi basah kuyup. Mereka berdua sama sekali tidak memakai apa pun saat ini, hanya tubuh telanjangnya saja yang saling berhadapan.
Tapi beruntungnya, kolam air hangat itu agak membuih, sehingga bagian bawah tubuh mereka tidak terlihat karena buihan dari air mendidih di kolam tersebut.
“M-Mengapa kita berdua ada di sini, dan apa tanganmu baik-baik saja?” tanya Colin dengan linglung tidak mengerti mengapa dirinya dan Lizzie bisa berada di kolam air hangat ini, padahal seharusnya mereka dibawa ke ruang perawatan, apalagi tangan gadis tomboi itu seharusnya patah sehingga tidak mungkin pihak penyelenggara tidak memberikan perawatan sama sekali pada peserta yang terluka.
“Ini kolam penyembuhan, dan tanganku baik-baik saja. Lihat?” Di seberang kolam, Lizzie mengangkat dua tangan berototnya, untuk menunjukkan bahwa tangan-tangannya baik-baik saja.
Dan ternyata memang benar, dua tangan dari gadis tomboi itu benar-benar sudah seperti sedia kala, sembuh dan dapat digunakan dengan normal. Namun, ada sesuatu yang membuat Colin bertanya-tanya karena merasa ganjil.
“Syukurlah, aku sangat senang kalau tanganmu baik-baik saja, Lizzie,” kata Colin dengan tersenyum tipis, suaranya jadi serak, mungkin karena keseringan berteriak-teriak di pertandingan sehingga suaranya jadi habis. “Tapi apa maksudnya dengan kolam penyembuhan?”
Setiap hembusan napas terbuang menjadi asap yang tebal, karena mereka saat ini sedang berada di kolam air panas, sehingga napas mereka jadi terbawa terasa hangat.
“Seperti namanya, kolam ini dapat menyembuhkan segala luka sampai sembuh seutuhnya, entah itu luka ringan atau pun luka yang sangat parah. Dan itu memang benar, karena ditenggelamkannya aku di air kolam ini, tanganku jadi terasa sangat hangat dan setelah kugerakkan secara perlahan selama beberapa menit, mereka sudah sembuh dengan sempurna.”
Lizzie menjelaskan apa yang dia tahu pada Colin dengan nada yang cukup lembut, tidak seperti biasanya yang seharusnya kasar dan terkesan merendahkan. Ekspresi gadis tomboi itu pun jadi sedikit berbeda dari saat mereka bertanding bersama, saat ini Lizzie tampak agak sedikit menyegani Colin.
“B-Begitu, ya,” Colin menghela napasnya dengan letih, dua kelopak matanya jadi tampak begitu sayu dan lemas. “Melelahkan sekali, ya? Aku benar-benar tidak tahu kalau pertarungan itu bakal melelahkan seperti ini. Tapi sepertinya tugas seorang pahlawan tiap harinya memang selalu dipenuhi dengan pertarungan, aku harus terbiasa dengan semua ini.”
Lizzie tidak meresponnya, gadis tomboi itu hanya memandangi Colin dalam keheningan. Pikirannya jadi kemana-mana saat melihat wujud Colin yang ada di hadapannya.
“Oh ya, di mana Paul? Bukankah dia juga terluka parah sama seperti kita?”
“Dia sudah kembali ke arena, seluruh badannya sudah sembuh total.” timpal Lizzie dengan menggerak-gerakkan kakinya di dalam air. “Sepertinya sangat merepotkan menjadi seorang mentor, kau harus bertarung di setiap pertandingan dan harus kembali ke sini tiap kali pertandingan usai.”
“Hehehehe, benar juga,” Colin terkekeh sejenak sebelum akhirnya kembali diam. “Hey Lizzie, menurutmu di pertandingan kita tadi, penampilanku bagaimana? Apakah aku memalukan?” Sembari bertanya begitu, wajah Colin jadi sedikit memucat, membayangkan kalau seandainya segala tingkahnya telah mempermalukan nama kelompok Pahlawan Madelta, dan dia akan merasa sangat bersalah jika nama kelompoknya jadi tercoreng dan ditertawakan hanya karena ulah bodohnya.
“Menurutmu bagaimana?” Lizzie sedikit menyunggingkan senyuman tipis dengan menanyakan balik pada Colin, untuk menerangkan sikapnya sendiri pada dirinya.
“Eh? K-Kenapa kau bilang begitu? T-Tentu saja sikapku pasti sangat bodoh dan memalukan. Semua orang pasti diam-diam menertawakanku, mereka pasti akan mengincarku jika aku telah menjadi pahlawan sungguhan dan akhirnya menjulukiku dengan sebutan-sebutan yang sangat jelek. Urgh… membayangkannya saja aku tidak kuat.”
Seketika, Lizzie tertawa renyah mendengar semua yang Colin katakan tentang dirinya sendiri. “Ya, aku tidak bisa bilang apa-apa jika kau sendiri yang mengatakannya begitu,” ucap Lizzie dengan menahan tawanya lagi.
“Tapi menurutku, kau telah berhasil membuatku bangga. Tidak, kau telah berhasil menunjukkan pada semua orang bahwa kau bukan orang yang pantas diremehkan. Dan tentu saja, untuk pertama kalinya, aku sangat bangga dan mengagumimu.”
Semburat merah langsung muncul di pipi-pipi Colin saat Lizzie bilang begitu padanya. Sungguh, dia sangat kaget orang seperti Lizzie mengatakan hal selembut itu pada dirinya, padahal sebelumnya gadis tomboi itu selalu membentak dan membencinya hanya karena suatu alasan yang sangat sepele.
“Kau yakin mengatakan hal sebaik itu padaku? Maksudku, kau membenci kaum laki-laki, kan?”
“Aku masih membenci mereka,” jawab Lizzie dengan cepat, sambil menunjukkan muka kesalnya, tapi secara perlahan, wajahnya jadi berseri-seri. “Tapi kau sudah kukecualikan. Itu artinya, ada dua laki-laki yang tidak lagi kubenci. Koko dan juga kau, Colin.”
Terbelalak, Colin benar-benar tidak menyangka akan dibuat seperti itu oleh Lizzie, rasanya seperti mimpi melihat gadis keras kepala itu sedang memberikan senyuman ramah padanya. Sungguh, ini seperti mimpi saja.
“A-Aku tidak percaya aku telah dikecualikan oleh gadis yang sangat membenci kaum laki-laki sepertimu. Aku sangat senang. Terima kasih Lizzie, karena telah mengecualikanku dan mempercayakanku. Aku akan membuktikan padamu bahwa aku akan terus membuatmu bangga.”
Menganggukkan kepala, Lizzie tersenyum. “Mulai sekarang, aku akan menyebutmu dengan ‘Kak Colin’?” Colin terkejut mendengarnya, rasa kagetnya jadi semakin bertubi-tubi. “Kau orang pertama yang terpilih menjadi pahlawannya Paul, kan? Maka kau adalah kakak seniorku, dan sudah sepatutnya aku menghargaimu dengan memanggilmu sebagai ‘Kak Colin’”
Bangkit dari kolam itu, Colin langsung memperlihatkan seluruh tubuhnya yang sedang telanjang bulat ke hadapan Lizzie, membuat gadis itu mengangkat dua alisnya.
“Tunggu, Lizzie, apa kau serius!?”
“Ya, aku serius,” jawab Lizzie dengan membuang muka ke samping karena tidak mau melihat s**********n Colin yang tertampak jelas di hadapannya.
Menyadari kecerobohannya, muka Colin langsung memerah pekat dan langsung menceburkan kembali tubuhnya ke kolam, malu pada tingkah bodohnya sendiri.
“M-Maaf, aku terlalu bersemangat sampai tidak sadar pada—“ Saat Colin sedang meminta maaf karena kecerobohannya, Lizzie langsung memotong perkataannya.
“Jadi apa? Kau tadi mau bilang apa…,” Lizzie kembali menengok ke wajah Colin untuk memberikan senyuman simpulnya. “… Kak Colin?”
Mendengar namanya disebut sebagai ‘Kak Colin’ oleh Lizzie, membuat Colin jadi tersipu malu, dia benar-benar malu dianggap sebagai seorang kakak senior oleh Lizzie maupun pahlawan-pahlawan lainnya. Entahlah, Colin masih belum terbiasa dengan sebutan tersebut, itu membuat jantungnya jadi berdetak-detak tak tertahankan karena saking gembiranya.
Dengan suara yang gemetar, Colin melanjutkan perkataannya. “A-Aku cuma kaget karena kau tiba-tiba ingin menyebutku dengan sebutan itu, soalnya aku tidak pernah dianggap sebagai kakak oleh siapa pun, bahkan anak kecil saja selalu menyebut langsung nama depanku, entahlah.”
“Kalau begitu, aku telah resmi menjadi orang pertama yang menyebutmu sebagai seorang kakak,” timpal Lizzie dengan senyuman cerahnya. “Kau adalah kakak kebanggaanku, Kak Colin. Aku sangat membanggakanmu. Aku tidak akan membiarkan seseorang menyakitimu, dan aku juga mendukung kehidupan percintaanmu dengan Nico, karena kalian memang sangat coc—“
Baru saja bilang begitu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan suara gebrakan yang sangat kencang, membuat Lizzie dan Colin menoleh ke arah pintu secara refleks untuk melihat orang yang baru saja membukakan pintu. Dan mereka berdua terkejut karena orang tersebut adalah sosok dari nama yang barusan Lizzie sebutkan.
“Aku dengar kau dibawa kemari, aku jadi langsung ke sini untuk memastikannya,” kata Nico dengan tergesa-gesa masuk ke ruangan ini dan mendatangi Colin yang sedang menyenderkan punggungnya di tepian kolam. “Aku senang kau ada di sini, apa kau baik-baik saja? Apa masih ada yang sakit? Bilang saja, aku akan mencari perawat di luar sana.”
Terkekeh melihat kekasihnya begitu mengkhawatirkannya, Colin tersenyum senang.
“Tidak-tidak-tidak, kau tidak perlu mencemaskanku, aku baik-baik saja. Semua lukaku sudah sembuh, dan sekarang hatiku juga sudah sangat senang karena bisa melihatmu lagi, Nico.”
Seketika wajah Nico memerah. “T-Terima kasih,” Kemudian, bola mata Nico tergeser sedikit dan menemukan seseorang yang dikenalinya. “Bagaimana denganmu, apa kau baik-baik saja, Lizzie?”
“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Lizzie dengan ketus. “Dan kau tidak perlu datang dengan menggebrak pintu, itu mengagetkan kami, bodoh!”
“Aku tidak peduli,” balas Nico dengan mendengus sebal, kemudian pandangan lelaki berkaca mata itu kembali melirik Colin yang ada di dekatnya. “Kalau kau sudah sesembuh itu, bagaimana kalau kita kembali ke arena? Untuk menyaksikan pertandingan selanjutnya?”
Menggelengkan kepalanya, Colin menolak. “Aku masih sedikit lelah, jadi aku ingin bersantai di sini. Maaf, Nico.”
Menganggukkan kepala, memaklumi kondisi kekasihnya, Nico pun berkata, “Tidak apa-apa, mungkin memang lebih baik tetap di sini, karena meskipun luka fisikmu sudah sembuh, bukan berarti luka mentalmu telah sembuh juga. Mungkin membutuhkan waktu sedikit lagi sampai kau bisa sembuh seutuhnya. Kalau begitu, aku pamit. Jika kau ingin sesuatu, panggil saja aku lewat telepon. Kau bawa ponselmu, kan?”
“Sayangnya, ponselku ada di saku celana, dan sepertinya semua pakaianku dibawa oleh orang-orang yang mengangkutku dari arena, entah dibawa kemana.”
“Kalau begitu, aku juga akan mencari pakaianmu. Kau santai saja di sini, jangan memikirkan apa pun,” Lalu bola matanya mendelik ke sudut yang lain. “Dan kau jangan maacam-macam pada Colin, sedikit saja kau menyentuhnya, kau akan menyesalinya, Lizzie.”
“Tergantung situasinya.” Jawab Lizzie dengan menyeringai, mempermainkan Nico yang kelihatan jengkel.
Setelah itu, Nico pun pergi dari ruangan dan menutup pintunya kembali dengan sangat rapat, meninggalkan Colin dan Lizzie yang ada di kolam air hangat.
“Bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu, Kak Colin?” tanya Lizzie dengan suara yang pelan, nyaris seperti orang yang sedang berbisik.
“Ya, kenapa?” Colin mengangguk, mengizinkan.
“Apa yang membuatmu suka terhadap laki-laki seperti Nico?”
Mendengarnya, mata Colin membulat, terdiam sejenak, mencoba memikirkan dan mencari kata yang tepat sampai akhirnya ia pun menjawabnya dengan santai.
“Mungkin, karena dia sangat baik padaku.”
“Sangat baik? Cuma itu saja?”
“Ya, cuma itu saja.” Angguk Colin dengan tersenyum simpul. “Lalu bagaimana denganmu, apakah ada seseorang yang kau cintai?”
Tiba-tiba, Lizzie jadi salah tingkah mendengarnya, dia jadi menggaruk-garuk lehernya dengan kikuk. “Tentu saja ada, tapi aku masih belum menyatakan perasaanku padanya. Mungkin nanti, jika waktunya sudah tepat.”
“Siapa? Siapa? Bolehkah aku mengetahuinya?” Colin jadi sangat bersemangat saat Lizzie mengakui itu. “Laki-laki, atau perempuan?”
“P-Perempuan.”
“Wah, siapa? Siapa? Ayolah, katakan saja padaku. Aku tidak akan memberitahukannya pada orang lain, lagi pula aku ini, kan, kakak seniormu!”
Malas melihat Colin terus menyerangnya dengan pertanyaan yang sama secara terus-menerus, akhirnya Lizzie menyebutnya dengan pelan. “Rara. Namanya Rara.”