“Lu ingin tahu bagaimana caranya pulang?” tanya Ceko sambil meraih buku pada rak atas dan memberikannya pada Lara. Sedari tadi Lara kesulitan mengambil buku itu.
Gadis cantik dengan rambut di ekor kuda itu menatap Ceko menyelidik. Bagaimana lelaki ini bisa menebak dengan tepat keinginannya? Apa dia tahu kalau lara datang dari masa depan? Apa dia juga tahu kalau ini bukan tubuhmya yang sebenarnya?
“Kamu … apa maksud omonganmu?” tanya Lara hati-hati. Bisa saja yang dimaksud Ceko adalah hal yang lain.
“Nggak ada. Cuma pengen tahu aja mana tahu lu butuh bantuan,” katanya acuh lalu berjalan meninggalkan Lara.
“Tunggu, Ceko!” Lara meraih tangan Ceko dan mencegahnya pergi.
“Hh, lu nggak takut digosipin lagi? Yang dulu aja belum reda kan? Sekarang tangan lu megang-megang gue.”
Buru-buru Lara melepaskan tangannya dan terlihat salah tingkah dengan membuang pandang dari Ceko.
Lelaki tampan itu terkekeh melihat wajah memerah Lara. “Gue nggak nyangka kalau lu itu lucu.” Ceko bersiap meninggalkan Lara lagi.
“Jangan pergi. Tolong jelaskan maksud dari perkataanmu. Apa … kamu tahu yang sebenarnya terjadi sama aku?” tanya Lara hati-hati.
“Gue tahu sebatas yang perlu gue tahu aja. Gue selalu melihat elu, Lara.” Diusapnya pipi gadis cantik yang berdiri di hadapannya. “Gue tahu lu kebingungan dengan perubahan tiba-tiba ini. Tapi lu ngejalanin semuanya dengan tabah. Seenggaknya di sini lu ketemu sama calon nyokap lu. Dan seharusnya lu tahu kalau dia berbeda dari nyokap yang lu kenal, kan?”
Lara tersentak dengan kata-kata Ceko dan menatap mata lelaki itu yang memandangnya teduh. Tidak seperti biasanya yang selalu menatapnya mengejek dan melecehkan.
“Kamu tahu kalau aku … Ahh, aku … bukan datang dari masa ini?” tanyanya pada Ceko.
Lelaki itu mengangguk. “Kita berdua sama. Bedanya, aku datang dengan tubuhku sendiri. Sedang kamu … menetap di tubuh orang lain.”
Lara mundur selangkah dari hadapan Ceko. Ini benar-benar sebuah pukulan baru bagi dirinya. Ada orang lain yang serupa dia dan sekarang mereka berdua saling bertatapan.
Ceko melangkah mendekati Lara dan memegang pundak gadis itu. “Ini bukan hal yang bisa diomongin sambil berdiri di perpustakaan. Kalau lu mau tahu ceritanya, ikut gue pulang sekolah.”
Lara menatap Ceko dengan pandangan berkaca. Rasanya air matanya mau turun saking senangnya dia ketemu orang yang memahami situasinya. Lagi-lagi Ceko mengelus pipi Lara dan menghapus selarik air mata yang akhirnya jatuh juga di pipi.
“Jangan menangis Lara, kamu lebih cantik kalau sedang tertawa.” Ingin Ceko mengecup bibir itu tapi dia sudah janji tidak akan melakukannya kecuali Lara mengizinkan. Sebagai gantinya Ceko mengecup kening Lara dan tersenyum sebelum meninggalkannya.
Lara memandangi punggung lelaki yang menjauh itu dengan pikiran yang penuh. Dia tidak sabar menunggu sampai jam pelajaran berakhir dan bisa ikut Ceko pergi
=*=
Seluruh sekolah memandang kepergian mereka. Ceko yang membonceng Lara dengan sepeda motornya. Termasuk tatapan Celin dan Ayna yang semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran sahabat mereka. Kepergian Lara dengan Ceko seperti mentasbihkan kebenaran yang beredar kalau mereka berdua saling tertarik.
“Pantesan pagi ini kamu nggak naik mobil jemputan bareng aku. Ternyata sudah bawa motor sendiri, ya?” teriak Lara dari belakang tubuh Ceko. Angin menerbangkan suaranya.
“Kenapa? Lu kangen sama gue?” Ceko terkekeh sambil terus melajukan motornya semakin jauh dari sekolah.
“Kita mau ke mana?” tanya Lara penasaran. Dia belum tahu daerah tempatnya tinggal. Selama ini dia cuma tahu rumah dan sekolah saja.
“Ke pantai. Di sana lebih enak buat ngobrol.”
Setibanya di pantai, Ceko menurunkan helmnya dan menatap gelombang yang memecah pantai. Ada penjual kelapa di dekat mereka dan Ceko meraih tangan gadis yang sudah turun dari motornya untuk diajak duduk di kursi-kursi kayu yang berada di bawah pohon ketapang yang rindang.
Ceko memesan dua buah kelapa muda dan menikmati sejuknya angin laut yang menerpa wajahnya.
“Kamu … beneran datang dari masa depan?” tanya Lara lirih. Tidak ingin percakapan aneh mereka terdengar penjual kelapa muda.
Ceko mengangguk. “Dari masa yang lebih jauh dari masa tempta lu berasal.”
“Apa? Maksudnya kamu datang bukan dari tahun 2018?” Lara tidak bisa menyembunyikan suara terkejutnya.
Ceko menggeleng. “Lebih jauh sedikit dari masa itu. Dunia sedang dijangkit wabah yang tak ada habisnya dan gue melarikan diri ke masa lampau yang menurut gue lebih aman.”
“Ceritakan! Ceritakan lebih lengkap apa aja yang kamu tahu.”
“Minum dulu kelapanya. Otak lu mulai panas sepertinya.”
Lara menurut. Disedotnya air kelapa untuk membasahi tenggorokannya.
“Bagaimana caramu datang dan bagaimana kamu bisa tahu kalau aku juga bukan berasal dari masa ini?” tanya Lara memastikan.
“Gelombang kita tabrakan ketika sama-sama sedang menuju kemari. Cuma lu nggak menyadari. Apa ini yang pertama kalinya buat lu?”
Lara mengangguk. “Kamu? Apa kamu sering melakukan perjalanan seperti ini?”
“Nggak terhitung jumlahnya.”
Lara terkesiap. “Dan … dan bagaimana caranya buat pulang?” tanyanya penuh harap.
“Buat gue, semudah melakukan teleportasi. Gue tinggal membayangkan tempat seperti apa yang gue inginkan dan gue langsung berada di tempat itu. Sedangkan lu … gue nggak tahu gimana caranya.”
“Apa maksudmu nggak tahu? Apa kita berbeda?”
“Setiap pelintas waktu punya caranya masing-masing, Ra. Mungkin ada juga yang seperti gue. Mudah melewati masa demi masa karena sudah terbiasa. Tapi buat pemula seperti lu, bakal sangat sulit.”
“Kalau gitu, apa kamu bisa membawaku pulang?”
“Dengan tubuh ini?” Ceko menggeleng. “Kasus lu lebih kompleks. Lu datang dengan meminjam tubuh gadis lain. Apa lu nggak penasaran dengan tubuh lu sendiri di masa depan? Dan kenapa lu malah berada di tubuh Lara?”
“Apa kamu tahu siapa aku di masa depan?”
Ceko menggeleng. “Haruskah? Lu seseorang yang terkenal?”
Lara menggeleng. “Aku biasa saja. Tapi yang jelas nggak secantik sosok di depanmu sekarang.”
Ceko terkekeh. “Apa lu dah mulai jatuh cinta sama tubuh yang sekarang? Hati-hati karena kalau lu dah merasa nyaman, kasihan pemilik aslinya.”
“Apa yang terjadi sama Lara yang sebenarnya?” tanyanya tanpa menggubris ejekan Ceko.
Lelaki itu mengedikkan bahu. “Gue nggak tahu. Gue nggak sedetail itu mengamati orang.”
Menyebalkan. Sikap lelaki ini kembali menyebalkan. Padahal rasanya tadi dia sudah bersikap manis.
“Aku pengen pulang. Aku kangen rumah dan juga Bunda. Di sini bahkan aku nggak bisa ketemu orang tuanya Lara. Mereka ada tapi setiap kali aku mau lihat, mereka nggak ada. Aneh sekali. Aku benar-benar kesepian.”
Ceko jatuh iba pada gadis di hadapannya. Dia memegang tangan Lara di atas meja. “Lu udah ketemu nyokap lu di dunia ini. Kenapa nggak coba cari tahu kenapa lu dilempar ke dunia di mana nyokap lu berada? Siapa tahu setelah ketemu jawabannya, jalan pulang terbuka lebar.”
Lara menatap Ceko serius. Apa yang dikatakan lelaki itu sama seperti pemikirannya selama ini. Dia harus memperbaiki kehidupan Bunda dan jalan pulang itu bisa segera terlihat. Bunda yang sekarang, kelihatan lemah. Dia harus membuatnya menjadi kuat dan tidak dibully lagi. Mungkin itu kuncinya.©