Lara memandangi Celin yang berdiri di depannya dengan tatapan berapi-api.
“Nggak ingat,” jawab Lara pendek. Dia memang nggak ingat semua yang dituduhkan Celin. Baru beberapa hari dia di dunia ini dan Celin sudah menjejalinya dengan tuduhan-tuduhan nggak masuk akal.
“Jangan becanda, Lara. Radin aja ngaku kalau kamu mengajak ketemuan sepulang sekolah. Kamu kasih harapan apa sama dia?”
Lara memandang Celin dengan tatapan datar. Bagaimana cara dia menjelaskan kalau dia sama sekali nggak ingat kejadian itu. Pasti terjadi sebelum dia, Alea, masuk ke dalam tubuh gadis bernama Lara ini.
“Nggak tau,” jawabnya pendek dan acuh. Tanpa memedulikan lagi sikap sebal Celin pada sahabatnya, Lara pergi meninggalkan gadis itu.
Urusannya di dunia ini jauh lebih penting dari pada ngurusin seorang anak cewek yang nggak terima ditolak. Hhh, Lara merasa sudah terlalu tua untuk hal-hal kayak gini. Sudah lewat masa-masa baper itu. Eh, apa di dunia ini mengenal istilah baper? Ah, jangan sampai dia mendahului masa kata-kata itu mulai dipopulerkan.
“Ra, tunggu! Kamu nggak bisa berlagak cuek gini dan seakan nggak tahu apa-apa gitu dong! Kamu harus tanggung jawab sama perasaan Radin. Kalau memang kamu nggak suka dia, tolak dia! Jangan kasih harapan!” Celin menarik lengan Lara dan memaksanya untuk menatap dirinya.
Lara geram. Cewek-cewek di zaman ini tidak sekalem dugaannya. Sama aja di semua zaman, cewek populer terkesan agresif dan bisa berlaku seenaknya.
Lara mendorong tubuh Lara ke tembok dan mulai mengintimidasinya. “Kamu tahu apa itu stres?”tanyanya penuh penekanan. “Gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan oleh faktor luar. Gue … lagi mengalami itu. Pikiran gue sedang nggak stabil bahkan gue nggak tau lagi kemarin ngapain dan tadi abis apa. Semua terdistorsi dan campur aduk di kepala gue. Lu paham situasinya? Jadi jangan nambahin tekanan di kepala gue dengan hal-hal nggak penting yang harus gue inget-inget. Dan seinget gue … gue nggak punya urusan sama yang namanya Radin. Kalau pun yang bersangkutan merasa, gue nggak inget. Oke?” tanyanya lagi sembari menunjuk dadaa Celin dengan telunjuknya.
Celin terdiam. Apa yang barusan terjadi seolah tidak bisa dicerna dengan baik di dalam kepalanya. Ini seperti bukan Lara yang biasanya. Ralat, ini memang bukan Lara.
Setelah kepergian Lara, Celin baru bisa mengembuskan napas yang sedari tadi dia tahan. Beberapa anak yang melintas memandang penuh tanya ke arahnya. Mereka pasti melihat bagaimana Lara menekannya tadi. Lara … Lara sahabatnya, sesama anggota Blue Butterfly berseteru memperebutkan anak lelaki. Mereka akan menggunjingkan soal ini sebentar lagi.
“Aku denger dari anak-anak apa yang terjadi. Kamu nggak papa?” Ayna berkata dengan napasnya yang putus-putus karena baru saja berlari.
“Dia bukan Lara,” desis Celin sambil memandang ke arah kepergian sahabatnya itu.
=*=
Lara tidak memedulikan tatapan ingin tahu anak-anak sekolah ketika dia berjalan menuju perpustakaan. Dia sudah biasa menerima tatapan itu sekarang. Tatapan penuh rasa ingin tahu seolah keberadaan Lara di perpustakaan sangat tidak biasa.
Gadis itu menyusuri satu per satu rak buku dan memperhatikan orang-orang yang berdiri di baliknya. Akhirnya dia tahu identitas gadis yang mirip seperti bundanya waktu masih muda. Gadis itu sering berada di perpustakaan pada jam istirahat. Dia membantu petugas perpustakaan menyusun kembali buku-buku yang berserakan.
Benar dugaannya. Gadis itu dia temukan berada di rak paling belakang sedang menaiki bangku kayu untuk menyusun buku pada deretan paling atas. Tubuh pendeknya membuat dia tidak bisa menjangkau tempat paling atas sehingga ketika dia berjinjit, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan oleng ke samping.
Lara berada di saat yang tepat untuk menangkap tubuh itu sehingga tidak membentur rak buku. Kebayang, kalau sampai rak buku itu jatuh, mungkin kekacauan besar bakalan terjadi. Karena rak-rak ini disusun seperti kartu domino yang berderet-deret. Satu tumbang menabrak yang lain maka timbullah efek domino.
“Te-terima kasih,” kata gadis itu ketika dia melihat siapa yang menolongnya.
“Biar aku bantu. Ke sinikan bukunya.” Lara menaiki bangku kayu dan mulai berjinjit. Dia meminta buku dari tangan Erika, nama gadis itu.
“Maaf sudah merepotkan,” kata Erika sopan. Tak berani menatap wajah Lara.
“Bantuanku nggak gratis,” kata Laran ketus.
“Oh! Terus kamu mau apa?” tanya Erika khawatir. Dia menyadari siapa Lara, geng BB yang terkenal. Tapi sejauh ini dia tidak pernah mendengar kalau mereka suka malak anak-anak.
“Jangan takut. Aku nggak minta uangmu. Aku … cuma ingin mencicipi roti isi yang kamu buat,” kata Lara lebih ramah.
“Hah! Roti isi? Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Aku sering merhatiin kamu duduk sendirian di bangku taman belakang. Kelihatannya roti itu enak,” kata Lara sambil mengusap hidungnya. Sebenarnya dia malu mengatakan ini, tapi dia rindu roti buatan Bunda.
“Kamu boleh memakannya. Aku sering bawa lebih. Mau sekarang?” tanya Erika lebih santai. Sepertinya dia sudah tidak takut lagi.
Mendengar tawaran Erika, Lara senang sekali. Tapi dia tidak ingin memakannya sekarang karena pasti terburu-buru. Sebentar lagi waktu istirahat usai.
“Nanti saja istirahat kedua. Kita janjian di taman belakang. Aku akan bawa minuman. Kamu suka apa? the atau minuman bersoda?”
“Air mineral saja,” kata Erika sambil menyungging senyum manis.
Lara sudah tahu jawaban itu. Bunda memang tidak suka minuman lain selain air putih. Dan Bunda suka air putih yang dingin.
“Kuharap ini hanya kebetulan. Kamu menuang air putih ke dalam gelas berisi es batu,” kata Erika melihat Lara yang meletakkan segelas air dingin di samping Erika. Mereka berdua duduk di bangku kayu yang panjang di taman belakang yang sepi. Dekat kebun botani yang sudah tidak terurus lagi.
“Kenapa? Apa kamu nggak suka?”
“Bu-bukan, aku suka sekali. Memang aku hobi minum air yang dingin sekali. Tapi … nggak banyak orang tahu karena aku nggak punya teman.”
“Kalau begitu hanya kebetulan. Aku nggak menguntit kamu kalau itu yang kamu khawatirkan.” Lara menyodorkan tangannya, meminta jatah roti isi dari Erika.
“Enak?” tanya Erika ketika dilihatnya Lara dengan lahap menggigit roti lapis sederhananya sampai habis.
“Mmm, roti lapis terbaik yang pernah aku makan.” Lara mengambil air minumnya dan menenggaknya beberapa tegukan.
“Mau lagi? Ini, makan bagianku.” Erika yang manis menyodorkan roti bagiannya.
“Jangan, itu buat kamu saja. Aku … besok bawakan aku lagi kalau kamu tidak keberatan.”
“Besok kita akan makan siang bareng lagi? Kayak sekarang?” tanya Erika dengan mata berkaca.
“Mmmm, iya. Apa itu aneh? Kamu keberatana?”
“Eng-enggak. Aku … nggak keberatan sama sekali, aku senang punya teman untuk berbagi bekal. Besok aku bawain roti lebih banyak buatmu. Nggg , yakin nggak mau lagi?” Erika menawarkan roti bagiannya kepada Lara sekali lagi.
Lara menggeleng. “Makanlah. Aku tunggu sampai kamu habiskan rotimu dan kita kembali ke kelas.”
Lara memandangi Erika yang sedang makan rotinya. Tidak berubah, batinnya. Gerak-gerik Erika saat muda sama dengan bundanya. Lara seperti berada di dapur mereka di masa depan dan melihat Bunda sedang menghabiskan roti isinya. Bedanya, Bunda yang sekarang di hadapannya kalem sekali. Lara merasa terpanggil untuk melindungi Bunda dan membuat dia sedikit lebih kuat dari sekarang.
“Kamu … apa kamu sering dikerjain di sekolah ini?” tanya Lara ketika Erika menyuapkan roti terakhirnya.
Erika mengangguk. “Masa kamu nggak ingat kalau kamu juga pernah ngerjain aku.”
Lara melebarkan matanya. “Aku?” Erika mengangguk.
Seharusnya dia takut pada gadis populer ini tapi ketika mereka bertemu tadi di perpustakaan, Lara kelihatan berbeda dengan Lara yang pernah mendorong dan menyuruhnya memunguti sampah hanya karena dia menghalangi jalan Lara.
“Maaf. Aku nggak ingat. Akhir-akhir ini aku banyak pikiran.” Dalam hati Lara memaki, tubuh seperti apa yang dia tempati ini. Sepertinya berengsekk betul!
Erika tertawa renyah. Suara tawa yang dia rindukan. Ahh, seandainya Lara bisa memeluk Erika.
“Kenapa? Apanya yang lucu?”
“Betul kata orang-orang. Kamu berubah sekali. Seperti bukan kamu saja.”
“Memang bukan, kok!”
“Eh, ap-apa?”
“Kamu mau tahu sebuah rahasia?” tanya Lara sembari mencondongkan badannya ke arah Erika.
“Ap-apa?”
Lara memandang Erika tajam, membuat gadis itu deg-dega an pada apa yang akan dikatakan Lara.
“Yang di dalam tubuh ini bukan Lara. Aku cuma roh lain yang sedang menempati tubuh Lara,” katanya serius sembari tak melepaskan tatapannya pada mata Erika.
Gadis itu terdiam, tak berani bergerak setelah mendengar pengakuan Lara. Matanya seperti terkunci dalam tatapan gadis populer di hadapannya. Pikiran sederhananya berputar-putar, mencoba mencari pembenaran dari ucapan Lara yang membingungkan.©