Bunda tidak akan pernah membiarkan Alea sarapan sendirian. Bunda akan menunggui Alea sampai sarapannya habis. Dia akan memastikan tidak ada secuil pun makanan tertinggal di piring Alea dan tidak ada setetes susuu mengendap di dasar gelas Alea. Sambil menunggui Alea menghabiskan sarapannya, Bunda akan bercerita tentang masa-masa SMA Bunda. Bagaimana berbedanya kehidupan SMA zaman dulu dan sekarang.
"Kamu harus melewati masa SMA dengan bahagia, Lea. Jatuh cinta sebanyak mungkin, berbuat salah sesering mungkin. Supaya nanti kamu bisa memiliki kenangan yang banyak dan beragam. Dan masa SMA-mu akan menjadi masa-masa terbaik dalam hidupmu."
"Bunda ngaco, ah. Masa pacaran sebanyak mungkin. Emang Lea cewek apaan?"
"Jatuh cinta, kan nggak harus pacaran, Lea," sahut Bunda kalem.
"Sakit, dong, Nda. Cinta dalam diam, gitu? Nyesek, Nda! Alea ogah."
"Tidak semua cinta harus dimiliki, Lea. Ada beberapa cinta yang lebih membahagiakan jika diikhlaskan."
Alea menatap mata Bunda yang menerawang jauh. Udara dapur tiba-tiba bearoma manis penuh kenangan. Ada banyak perasaan cinta dan harapan kebahagiaan dalam tatapan Bunda dan gelegak air di atas kompor. Rasanya Alea ikut terhanyut dalam kenangan Bunda yang seperti gula-gula kapas. Lembut, harum, manis, dan lengket.
TIN! TIN! TIN!
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Alea. Roti bakarnya baru separuh dia habiskan. Susunya bahkan belum dia sentuh.
TIN! TIN! TIN!
Alea sedikit panik. Susunya berleleran di dagu. Dia seolah bisa mendengar suara Bunda yang mengomel.
"Anak gadis, kok ceroboh banget, sih! Minum s**u aja belepotan.” Bunda pasti akan menyusut s**u yang hampir jatuh dari dagu Alea.
Sayangnya kini Bunda tidak di sini. Dia sendirian di tempat asing yang entah dimana.
TINNN!
Suara panjang klakson mobil jemputan semakin mempercepat gerak Alea.
"SEBENTAR!"
Alea harus bergerak lebih cepat. Tidak mungkin mobil jemputan akan berlama-lama menunggunya. Dia melihat sepatunya di sudut dapur. Menyambarnya dengan kecepatan kilat, mengenakan asal-asalan, dan berlari ke pintu depan.
"Kalau nggak cantik, gue males banget tiap pagi ngabisin waktu di satu rumah."
Alea mendengar nada sinis setibanya dia di dalam mobil. Dengan memasang wajah sebal, dia menoleh ke belakang.
"It's true, kok!"
Alea melihat siapa yang berbicara. Jika saja laki-laki di belakangnya bermulut manis pasti tampangnya akan terlihat jauh lebih menarik. Seperti pemeran utama dalam Boys Before Flowers. Sayangnya wajah semi orientalnya terhalang muka masam dan tatapan menghina yang ditujukan pada Alea. Membuatnya berpikir, sebegitu menyebalkannyakah dia di dunia ini?
=*=
"Semoga lu nggak lupa jalan ke kelas, " ujar Si Wajah Angkuh sambil menyenggol bahunya keras-keras, ketika mereka semua turun dari mobil.
Apa, sih masalah dia?
Tapi Si Wajah Angkuh benar. Ini jelas bukan sekolahnya. Sebuah papan nama dari kayu bertuliskan nama dan alamat sekolah. Seketika Alea merasa darah berhenti mengalir ke otaknya.
SMA Negeri Harapan Bangsa Cilacap
Bagaimana bisa dia dipindahkan sejauh itu dalam semalam? Batam-Cilacap bukan jarak yang bisa ditempuh dalam waktu singkat. Dan dia tahu betul, tidak ada penerbangan yang mengudara pada tengah malam dengan tujuan kota-kota besar yang dekat dengan Cilacap.
"Woi, ngapain ngelamun di depan papan nama sekolah?"
Dua orang gadis cantik dan menarik menepuk bahunya.
"Ada apa, Ra? Penampilan kamu hari ini, kok tidak seperti biasanya?"
Baiklah, di masa ini namanya Lara. Dia harus membiasakan diri dengan nama itu. Dia menatap tak mengerti pada gadis yang sibuk mengibas-ngibaskan rambut panjangnya yang lurus sempurna.
"Kenapa? Ada masalah sama rambutku?" tanyanya ketus.
"Enggak, kok, Ra. Rambut kamu cantik seperti biasa. Celin cuma iri karena kemarin dia nggak jadi creambath."
"Apa hubungannya sama aku?"
"Kita ke kelas aja dulu, yuk! Nanti aku ceritain masalahnya. Yuk, Celin kita ke kelas! Jangan cemberut terus, dong. Lara pasti bisa bantu jalan keluarnya. Dia, kan selalu bisa diandalkan seperti biasa."
Lara membiarkan dirinya di bawa oleh kedua teman yang merasa baru dikenalnya. Yang satu bernama Celin dan satu lagi entah siapa. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam lingkungan sekolah. Lara berjalan di belakang mereka dan berusaha mempelajari sekolah barunya. Dia sedikit heran ketika ada guru sekolah yang datang dengan mengendarai motor model lama. Terlalu lama malah. Disaat dirinya menaiki motor matic keluaran terbaru, guru di sekolah ini menaiki motor bebek jadul yang masih terawat body dan mesinnya. Mungkin guru ini pecinta motor klasik. Atau mungkin seorang kolektor motor antik.
"Ra, kita lewat depan kelas tiga, ya. Jam segini Mas Danu pasti lagi nongkrong di depan kelas."
Temannya yang entah bernama siapa yang sedari tadi bersuara paling banyak mengaitkan tangannya pada siku Lara.
"Mas... Danu?"
"Iyaaa. Kecenganku. Masa kamu lupa?"
"Lara kayaknya gegar otak, deh, Ay. Dari tadi sikapnya aneh banget, " sahut Celin ketus.
"Beneran, Ra? Ya udah kita langsung masuk kelas aja, yuk. Biar kamu bisa istirahat. Seharusnya kamu menuntut ganti rugi sama Ceko. Gara-gara bola dia kena kepala kamu Sabtu kemaren, kamu jadi linglung gini."
Cewek yang dipanggil Ay menggandeng lengan Lara dan membimbingnya dengan hati-hati ke deretan kelas dua. Dan mereka pun masuk ke kelas 2A1-1.
Sebelum jam pelajaran mulai, Ay dan Celin sibuk bercerita tentang kegagalan kencan Celin di malam Minggu. Dan ketika Celin berusaha mengobati rasa kesalnya dengan pergi ke salon keesokan harinya, dia mendapati jika capster langganannya mengundurkan diri dan tidak ada capster yang bersedia melayaninya hari itu. Celin memang bukan pelanggan yang tabah.
Obrolan mereka terhenti ketika bel berbunyi dan mereka harus berbaris rapi di lapangan yang berada di pusat sekolah. Sebuah lapangan dalam yang di kelilingi ruang-ruang kelas. Seorang protokol upacara membacakan susunan upacara hari itu. Lara merasa ada yang salah dengan sesuatu yang dibacakan protokol upacara.
“Cel, tadi protokol itu bilang, hari ini tanggal berapa?” tanyanya setengah berbisik ke telinga Celin.
“Kenapa emangnya?” balas Celin sambil berbisik juga.
“Tahunnya salah. Masa dia bilang 1997?”
“Bener, kok. Emang sekarang tahun 1997. Apanya yang salah?” Celin memandang aneh ke arah Lara.
Tidak ada keraguan ketika Celin menjawab pertanyaannya. Juga tidak ada tatapan jahil atau tanda-tanda bahwa Celin sedang bercanda atau bahkan mengerjainya. Kepala Lara berputar lebih cepat sekarang. Potongan-potongan penglihatan yang dirasa aneh sedari tadi semakin memperjelas tempat di mana dia berada saat ini. Pakaian-pakaian di lemari, televisi layar cembung di ruang keluarga, furniture yang terlihat tua baginya, mobil jemputan entah keluaran tahun berapa, sepeda motor Pak Guru, papan tanda ruang kelas, dan sekarang, siswa-siswa di sekolah yang terlihat berdiri dalam nuansa hitam putih. Semua terlihat tidak seperti di dunianya. Nampak culun, ketinggalan zaman, dan kusam.
Semua menjadi gelap setelah satu pertanyaan besar bersarang di kepala Lara.
Bagaimana bisa dia berada di masa yang begitu jauh dari masa di mana seharusnya dia berada?©