4. Hari yang Bahagia

1709 Words
Sesuai rencana sembahyang Mahrib, rumah panggung Hindun sudah mulai ramai orang betandang, tetangga kiri-kanan tak ikut hadir tak ingin melewatkan kesempatan untuk melihat seperti apa laki-laki yang akan melamar Laila. Para wanita duduk bersama berhimpit di ujung ruang tamu di dekat pembatas menuju pintu dapur. Sementara para laki-laki, Haidi dan kerabat dekat lainnya sudah duduk bersila di ruang tamu, berdekatan dengan enam orang yang datang dari dusun sebelah. Entah orang itu di antaranya adalah Kodir dan keponakannya, Zainal. Tidak lupa Haidi mengundang pengurus dan kepala suku dusun untuk ikut hadir di rumah Hindun. Sudah jadi tradisi dusun Talang Panjang, setiap rumah yang mengadakan suatu acara atau pertemuan dengan dusun luar wajib memberitahukan kepala dusun agar mendapat imbauan dan pengarahan seputar kegiatan. Atau bisa juga sebagai saksi. “Mana keponakanmu itu?” tanya Sakir, laki-laki yang saat ini menjabat sebagai kepala dusun. “ Mungkin masih di kamarnya,” jawab Haidi tenang, “oh, ya, kenapa Nurdin tak ikut hadir?” Haidi mengedarkan pandangannya. Ditanya soal Nurdin, Sakir merasa putranya sedang direndahkan. Maka ia berkata dengan nada sinis, “Sebentar lagi ia mungkin sampai, bukankah jarang sekali di dusun kita ada orang tuli ingin melamar gadis bisu?” Kata-kata Sakir, bagai segerombol penyengat paling berbahaya. Mendengar kesininya itu Haidi merasa sakit dan pedih sampai ke ulu hati. Bagaimana bisa Sakir tega menumpahkan kalimat itu pada temannya sendiri. “Laila sudah benar, ia lebih memilih laki-laki tuli daripada laki-laki tak berhati,” tukas Haidi penuh penekanan. Berharap Sakir dapat mencerna baik-baik makna perkataannya. Benar saja, Sakir seketika bungkam. Sebagai seorang ayah, ia tahu bagaimana watak Nurdin, putranya yang selama ini ia bangga-banggakan. Sakir bahkan menginginkan Nurdin untuk menggantikan posisinya sebagai kepala dusun tahun depan. Ia ingin Nurdin tak hanya dikenal sebagai seorang sarjana yang berilmu tinggi, tapi memiliki kedudukan dan pangkat di kampung sendiri. Di tengah jeda di antara mereka, Haidi beringsut mendekati Hindun dengan berjalan membungkuk melewati kerumunan tamu menuju tempat di mana para wanita berkumpul. Ia menemui Hindun dan mengatakan agar Laila segera keluar kamar. Sebab acara sebentar lagi akan dimulai. Hindun mengangguk. Lalu ia menyodorkan tampan pada Harsa yang duduk di sampingnya. “Harsah, tolong kamu gantikan Makcik menyuguhkan kopi ini ya,” pinta Hindun, “Makcik mau ke kamar Laila sebentar.” “Baiklah, Makcik.” Harsa menerima nampan di tangan Hindun, tapi Haidi segera meminta nampan itu agar ia saja yang menyuguhkannya. “Kau bersiap saja nanti menemani Laila, Harsah. Biar Bak saja yang mengantar kopinya.” Haidi kembali ke berjalan menuju ruang tamu sambil membawa nampan minuman. Tidak ada yang lebih nikmat daripada meminum kopi Sumatra, kopi khas dusun Talang Panjang. Di setiap pertemuan, kopi adalah jamuan minuman paling istimewa. *** Di kamar, Laila duduk di depan cermin. Dipaandanginya wajahnya yang sudah dipoles bedak tipis-tipis dan bibir digincu warna merah. Kepalanya ditutupi tudung kain yang ujungnya memiliki rumbai lembut berwarna putih. Ia mengenakan kebaya merah senada dengan merah di bibirnya. Laila sedikit tersenyum, senyum yang manis dan lembut. Ia baru menyadari, bahwa ia memang gadis yang cantik. Selama ini, Laila memang tak begitu mementingkan penampilan. Kini, Laila terlihat anggun dengan dandanan yang tidak berlebih. Laila mengusap pipinya yang selembut kulit bayi. Matanya terus melihat pantulan dirinya dalam cermin. Dirinya yang lain. Bibir Laila berusaha kembali untuk tersenyum, tapi ia tak mampu mengingat pernikahan yang akan ia jalani bukanlah kebahagiaan, tapi bahan olok-olokan. Masih diingatnya petang tadi saat di sungai. Kata-kata ketiga gadis penggosip itu terus berdengung di telinganya. Laila gadis bisu. Laila gila. Laila yang bagai batu saat malam pertama. Ejekan demi ejekan itu, membuat hati Laila membiru. Betapa pedihnya ia. Akankah pernikahannya nanti akan berhasil? Apa mungkin laki-laki tuli itu benar tulus mencintai dan menginginkannya? Ah, entah. Laila bergulat dengan pikirannya sendiri. Namun Laila tetap berkutat hati, bahwa ia akan tetap menerima lamaran si laki-laki tuli. Apapun yang terjadi, terjadilah. Ia sudah memutuskan akan tetap melanjutkan. Ia selalu mengingat nasehat Haidi, bahwa pernikahan adalah penyempurnaan iman. Dengan berumah tangga, maka kau akan menemukan kebahagian yang berbeda. Tiada fitnah atas kesendirian. Yang ada, rasa nyaman, saling menjaga, dan mencintai karena-Nya. Laila tersenyum lebar, ya ia harus bisa. "Laila, cepat keluar. Rombongan sudah datang." Suara Hindun terdengar dari kamar dengan pintu yang diketuk pelan. Jantung Laila berdegup cepat. Laila berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Laila tak ingin membuat dirinya tampak gugup. Ia tahu, rumah panggung mereka saat ini sudah dipenuhi banyak orang yang ingin melihat karena rasa penasaran. Lagipula, sudah jadi tradisi kampung acara sekecil apapun tetap menjadi tempat untuk berkumpul. "Laila," panggil Hindun lagi. Kini dibukanya perlahan pintu kamar. Ia tahu Laila tak mungkin menyahut, tapi Laila pasti mendengarnya. Tidak lama suara derit pintu bilik kamar terdengar terbuka lebih lebar, terlihat Laila melangkah keluar kamar dengan langkah pelan. Hindun meraih tangan Laila lembut, memapahnya untuk berjalan menuju tempatnya duduk di samping Harsah, di tengah-tengah para wanita tua tetangga mereka yang sejak tadi menunggu. Terdengar gumaman para tamu memuji kecantikan Laila. Wajah gadis itu terlihat bercahaya, lembut, dan sorot matanya yang teduh. Tanpa disadari oleh semua orang, sepasang mata terus melekat mampu berpindah akan pesona seorang Laila. *** Acara perkenalan itu berjalan lancar, Kodir dan keluarganya menyampaikan itikad baik pada keluarga Hindun dan juga Haidi bermaksud melamar Laila untuk seorang laki-laki bernama Zainal. Zainal Sani, laki-laki berusia 30 tahun itu dengan bertutur kata lembut dan sopan memperkenalkan diri di hadapan semua orang, khususnya Laila bahwa ia ingin melamar. Zainal mengatakan ia tak hanya menjadikan Laila sebagai istri, tapi seorang ratu untuknya. “Saya sudah berjanji pada diri saya sendiri. Bahkan pada kemuliaan Tuhan. Bilamana saya memiliki istri, maka wanita itu bukanlah pendamping yang mengurus semua keperluan dan kebutuhan saya, tapi saya akan menjadikannya ratu yang harus saya jaga, saya cintai sepenuhnya.” Kata-kata Zainal sangat awam di telinga para tamu yang mendengar, termasuk Laila sendiri. Tapi gadis itu seakan tak peduli, meski ia tahu mungkin saja Zainal hanya mengumbar janji. Namun tak dapat dipungkiri, para wanita terus mengulum senyum, mereka memang tak pernah mendengar kalimat-kalimat pujian yang berlebih yang dilakukan oleh para suami untuk istri. “Apakah Dik Laila bersedia menerima lamaran saya? Saya tak memaksa, tapi berharap.” Senyum Zainal mengembang, ucapannya pun mengundang kegemasan sendiri bagi para tamu. Beberapa kali lengan Laila dijawil, agar ia segera menjawab. Jawaban Laila sangat penting di acara malam ini, bila ia menerima, maka akan segera menentukan kesepakatan hari perkawinan. Wajah Laila menghangat, pipinya merona karena rasa senang bercampur malu. Tapi ia harus meyakinkan semua orang bahwa ia menerima lamaran Zainal. Senyum Laila mengembang, diletakkannya telapak tangannya di d**a dan ia menganggukkan kepala tanda persetujuan. “Alhamdulillah,” ucap semua orang hampir bersamaan. Laila sudah menerima Zainal sebagai calon suami. Melihat Laila sudah menerima lamaran Zainal, Haidi dan Kodir beserta kerabat lainnya bermusyawarah untuk perkawinan Laila dan Zainal diberlangsungkan. Tapi tiba-tiba saja kepala suku dusun menyampaikan, bahwa sebaiknya Laila dan Zainal langsung saja dinikahkan malam ini juga. Keputusan kepala suku membuat keluarga Laila dan Zainal terkejut. Bukankah pernikahan harus dipersiapkan terlebih dulu? “Kawinkan saja malam ini. Tidak ada yang salah untuk menyegerakan perkawinan. Laila akan dinikahkan oleh Haidi, semua orang sudah berkumpul. Sudah menyaksikan. Sudah berbahagia. Tak usah ditunda sampai kapan, kita sempurnakan malam ini juga.” Hindun mulai tersedu. Entah ia harus bahagia atau bersedih. Yang pasti ia akan merindukan anak gadisnya. Semua orang mengangguk setuju. “Sudah, langsung ijab kabul saja malam ini.” Beberapa orang mengatakan hal serupa. Suasana menjadi ramai dan penuh percakapan persetujuan. Perihal pesta hajatan, bisa menyusul. Haidi bertanya pada Laila, “Laila, bagaimana menurutmu? Bersedia untuk dikawinkan malam ini, Nak?” Mata Laila berkaca-kaca, ia melirik Hindun yang sejak tadi matanya sudah basah. Laila menunggu anggukan dari ibunya. “Umak setuju. Kita sempurnakan malam ini,” kata Hindun parau. Mendapat persetujuan, Laila segera mengangguk. Ia bersedia dikawinkan malam itu juga. Besok atau lusa, tak ada bedanya. Malam ini semua sudah berbahagia, ia dan Zainal juga tak akan menimbang lagi soal rasa. Keduanya memang sudah ditakdirkan untuk bersama. Hal paling membahagiakan, rupanya Zainal sudah mempersiapkannya. Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak berbalut kain beludru merah. “Sejak dulu, saya sudah membeli perhiasan ini. Entah ditujukan untuk siapa saat itu, saya hanya menyukai mata kalung ini yang berwarna merah berkilau.” Sebuah kalung emas Zainal keluarkan dalam kotak. Kilaunya begitu indah saat terkena sinar lampu petromax yang tergantung di atas ruangan. “Sekarang kalung ini sudah menemukan tuannya. Seorang gadis cantik penuh pesona. Laila.” Semua orang bertepuk tangan, tapi Zainal tak mendengar keriuhan di sekitarnya. Dunianya adalah dunia sunyi. Bahkan ia tak mendengar deru napas kelegaannya sendiri. “Saya memang tak bisa mendengar, tapi saya bisa merasakan. Saya bisa melihat. Dari sorot mata Laila, di sana saya menemukan banyak cinta. Tapi mata itu juga membuat saya takut sekaligus iba.” Ucapan terakhir Zainal menyentak Haidi. Zainal bukan laki-laki dusun biasa, ia laki-laki berpendidikan dan memiliki kemampuan yang mungkin tak dimiliki orang biasa. Ia bisa merasakan sesuatu yang menakutkan. Tapi samar. Sedangkan yang lain tak begitu memaknai ucapan Zainal, mereka berpikir itu hanyalah kata-kata sekadar menyenangkan hati Laila. Tak lama, ijab kabul pun diberlangsungkan. Laila tak memiliki keluarga dari pihak ayahnya, maka ia dinikahkan oleh kepala suku yang juga sebagai hakim perkawinan di dusun itu. Tidak sulit bagi Zainal menghapal ijab kabul, semuanya sudah diatur dengan cepat. Secarik kertas bertuliskan kalimat ijab kabul diberikan pada Zainal untuk dihapal. Wali hakim menggenggam tangan Zainal erat, “Saya nikahkan dan kawinkan engkau Zainal Alim bin Komarudin, dengan Lailatu Sholeha binti Yusril Anshori dengan mas kawin lima suku kalung emas dibayar tunai.” Tangannya sedikit dibentak untuk memberi kode agar Zainal mengucap kabul. “Saya terima nikah dan kawinnya Lailatu Sholehah binti Yusril Anshori dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Sah?” “Saaah!” “Alhamdulillah.” Gemuruh rasa syukur bergaung dalam rumah Hindun. Laila dan Zainal sudah sah jadi sepasang suami istri menurut agama dan keyakinan. Tubuh Laila gemetar, ia merinding saat mendengar puji-pujian syukur kepada Tuhan terus diucapkan. Tanpa sadar, air mata Laila menitik. Waktu membawanya begitu cepat menjadi bagian hidup seseorang. Laki-laki yang baru saja ia kenal, sudah sah jadi pendamping hidup. Zainal menoleh pada Laila yang kini duduk di sisinya. Dilihatnya wajah itu penuh haru. Dipakaikannya kalung itu di leher Laila, lalu mengecup kening gadis itu lembut. Laila sendiri meraih tangan Zainal dan mengecup punggung tangannya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD