Bab 3: Bukan Kuntilanak

1388 Words
“Bagaimana dengan Anna, Will?” tanya Toni pada Willy ketika mereka baru saja selesai membahas pekerjaan selama dua jam. “Kau temukan dia di mana sih?” tanya Willy kesal. “Kenapa? Apa dia buat masalah?” tanya Toni dengan seksama. Willy menggeleng. “Dia kampungan sekali,” kata Willy mengeluh yang membuat tawa Toni tergelak mendengarnya. “Memangnya dia goreng ikan asin di rumahmu?” tanya Willy. “Ikan apa?” tanya Willy tak paham. “Ikan asin, makanan khas desa yang nikmat, apalagi kalau dicocol sambal terasi dan timun segar, wuih bisa menghabiskan nasi tiga piring, Wil,” ujar Toni. “Kedengarannya kau membohongiku,” sahut Willy. “Kalau tidak percaya minta Anna membuatkannya untukmu pasti kamu suka sekali,” goda Toni dengan kalimat membujuk yang meyakinkan, membuat Willy berpikir lama seraya penasaran. Toni tersenyum sembunyi di balik botol air minum putih sembari melirik Willy yang terlihat berpikir. “Jika aku tidak membutuhkan pengasuh, mungkin aku tidak akan menerima Anna,” kata Willy. “Memang kerjanya tidak becus?” tanya Toni serius dan Willy menggeleng. “Kerjaannya bagus,” jawab Willy. “Lalu di mana salahnya?” tanya Toni heran. Willy menerawang jauh ke belakang, ingatannya terhempas pada sore hari ketika ia baru saja pulang kerja. Mobil yang dikendarai oleh pak Supri memasuki halaman rumah mewahnya yang sangat megah dan indah sekali, Willy harus mengeluarkan banyak uang untuk membangun rumah impian mantan istrinya yang ternyata hanya setahun ditinggali oleh mantan istrinya sebelum Willy mengusir mantan istrinya itu dari rumah karena ketahuan berselingkuh dengan teman baik Willy sendiri. Saat itu mobil sudah terparkir di halaman depan rumah, Willy turun dari mobil, ketika ia masuk ke dalam rumah, ia mendengar senandung suara-suara aneh yang menggelitik telinganya. Dua asisten rumah tangganya mendekat ke arahnya untuk menyambut kedatangannya dan langsung menerima tas kerjanya dan jas yang Willy berikan. “Di mana Laura?” tanya Willy. “Sedang digendong oleh nona Anna, tuan,” kata salah satu asisten rumah tangga yang menerima jas kerja Willy. Willy lantas mengangguk dan berjalan ke kamar sang putri, Laura. Semakin langkah kaki Willy mendekat, semakin jelas suara senandung lagu aneh yang ia dengarkan. Bulu kudu Willy merinding, ia teringat tembang lingsir wengit dalam film horror yang ia tonton dengan mantan istrinya pas waktu pacaran. Saking takutnya, Willy merasa ngeri setiap kali senandung itu diputar di radio yang berisi kisah misteri atau channel-channel horror yang tak sengaja ia dengar entah di mana. Kini, ia harus mendengarkan suara lagu daerah yang dinyanyikan oleh Anna saat menggendong anaknya yang langsung membuatnya auto berpikir itu adalah lagu untuk memanggil makhluk halus. Pikiran Willy mulai kemana-mana, bayangan pohon besar yang ada di rumah Willy dan beberapa makhluk halus yang tinggal di sana saja sudah mulai hinggap di otaknya. Padahal sebelumnya ia tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Dan sekarang yang lebih parahnya adalah Willy merasa ada yang mengikutinya dan berada di belakangnya, ia menelan ludah sendiri ketika rasa takut mulai mengambil alih perasaannya, seolah-olah rumahnya tengah dihuni oleh kuntilanak dan sejenisnya. Seperti di film-film horror pada umumnya, Willy pelan-pelan berbalik untuk menoleh ke belakang dan sungguh berharap tak ada sosok lain yang sedang berada di belakangnya. Willy akhirnya bernapas lega karena tak ada makhluk lain saat ia menoleh ke belakang. Suara nyanyian Anna juga sudah berhenti. Willy mulai ingin menegur Anna, ia berbalik dan …. “Arrggg!” Willy berteriak dan melompat ke belakang sampai terjatuh saat melihat Anna berjongkok dengan rambut panjangnya yang terurai ke bawah dan kemeja putih panjang yang ia kenakan. Willy mengira Anna adalah kuntilanak yang ada di rumahnya. Anna langsung menoleh dan menatap Willy yang ketakutan dengan kaget. Anna berdiri dan berjalan ke arah Willy yang melongo ketakutan menatapnya. “Tuan, kenapa?” tanya Anna heran. Beberapa asisten rumah tangga yang mendengar jeritan ketakutan Willy juga mendekat, bahkan Laura yang baru saja dibaringkan Anna ke box bayinya juga ikutan terbangun. Anna gegas berbalik dan masuk kembali ke kamar Laura lalu menggendongnya untuk menenangkannya yang sedang menangis keras saat ini. “Tuan, kenapa?” salah satu asisten rumah tangga Willy bertanya juga padanya. Willy bangkit dari posisinya yang konyol dan menggeleng cepat. Anna keluar dari kamar Laura bersama Laura di dekapannya yang matanya merah karena tangisan dan sekarang tak bisa tidur. “Saya gak papa, semuanya kembali bekerja,” titah Willy yang berusaha tenang. Anna hendak kembali ke kamar Laura dan Willy mengikutinya. “Kamu sengajan menakut-nakuti saya, ya?” tanya Willy pada Anna langsung. “Maksud bapak apa, ya?” tanya Anna tak paham sambil menenangkan Laura yang sedang rewel. Anna berjalan ke arah perlengkapan s**u Laura dan membuatkan Laura s**u formula yang biasa ia minum. “Ngapain pakai baju kayak kuntilanak begitu dan jongkok di depan pintu seperti tadi?” tanya Willy kesal. Anna menatap dirinya yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih yang panjangnya sampai ke lutut dan tak menerawang sama sekali. “Ini kemeja pak, bukan kostum Halloween,” jawab Anna yang membuat Willy menggeram kesal. Anna selalu bisa membuatnya heran dengan jawaban yang membuat Willy tak bisa membalas ucapannya. Benar yang dikatakan oleh Anna, ia sedang memakai kemeja putih dan bukan kostum Halloween. “Aku tahu! Tapi saat kamu tadi di ambang pintu persis kayak hantu, lagian kenapa jongkok sih?” tanya Willy. “Kayak suster ngesot gitu maksud bapak?” jelas Anna, “saya tadi ambil pita saya yang terjatuh, pak,” kata Anna seraya menunjukkan pita di pergelangan tangannya yang tadi sempat akan ia gunakan untuk mengikat rambutnya tapi malah terjatuh di lantai. Willy melihat pita merah di pergelangan tangan Anna yang putih. Hati Willy berdesir, padahal ia hanya melihat pita merah cantik yang bertengger di kulit tangan Anna yang putih bersih, hal sederhana itu sudah membuat Anna terlihat cantik. “Terus kenapa kamu nyanyi tembang horror buat anak saya?” tanya Willy. “Mana ada saya nyanyi lagu horror, pak,” “Itu yang bahasa daerah itu,” kata Willy, “yang biasanya ada di film-film horror untuk manggil hantu dan sejenisnya,” kata Willy lagi. Anna tersenyum kecil. “Ohh maksud bapak lagu lingsir wengi? Saya gak nyanyi itu pak, saya nyanyi, cublek-cublek ….” “Sudah-sudah!” seru Willy. “Dengerin dulu selengkapnya, pak. Beda. Lagu yang saya nyanyikan tadi lagu anak-anak. Beda sekali dengan ling….” “Stop! Kamu mau panggil sekutu kamu ke sini?” kata Willy kesal. “Para makhluk halus itu bukan sekutu saya, pak,” jawab Anna. “Sudahlah, pokoknya saya gak mau dengar kamu nyanyi pakai bahasa daerah ke anak saya, selain saya gak ngerti artinya, saya merasa ngeri sendiri!” kata Willy yang membuat Anna mengangguk dan terpaksa menahan senyumnya. Anna sama sekali tak menyangka kalau Willy ternyata penakut padahal Willy punya tatapan tajam dan hobinya marah-marah. Setelah memperingatkan Anna, Willy lantas pergi dari sana dengan perasaan kesal meninggalkan Anna yang tersenyum kecil melihat kepergian Willy. Toni yang mendengarkan cerita Willy itu tersenyum terbahak-bahak sekarang. “Dia udik sekali,” kata Willy kesal sekali. “Aku senang karena ternyata Anna bisa membuat kamu sekesal sekarang!” “Setelah Laura sudah agak besar, aku akan memberhentikannya,” kata Willy. “Kenapa?” “Aku tidak suka padanya, Toni! Dia selalu membuatku kesal dan bisa menjawab apa saja yang aku katakan padanya,” kata Willy. “Jangan-jangan nanti malah kamu yang jatuh cinta kepada Anna loh! Dia itu memang gadis kampung tapi dia pintar dan pandai memikat hati pria loh, tak terkecuali kamu, Wil,” kata Toni. “Gak mungkin, aku gak suka perempuan kampungan macam Anna,” kata Willy penuh keyakinan. “Ahh, cewek metropolitan juga hanya bisa merepotimu terus menerus, kan? Parahnya malah main serong sama temen kamu sendiri,” kata Toni yang membuat Willy diam. Apa yang dikatakan oleh Toni memang benar adanya. Willy kemudian bangkit dan keluar dari ruang meeting diikuti oleh Toni. “Mau ke mana kamu?” tanya Willy saat mereka berdua sudah di dalam lift. “Ikut kamu pulang,” jawab Toni. Willy menoleh heran ke arah Toni dengan pandangan menyidik. “Maksudnya?” “Ketemu Anna, kamu gak mungkin jatuh cinta sama dia, mau aku jodohkan saja si Anna ini sama keponakan aku yang kuliah dokter, barang kali mereka cocok dan menikah kelak,” kata Toni. “Jangan macam-macam, Toni! Anna masih terikat kontrak kerja denganku!” jawab Willy tegas lalu keluar dari lift. Toni terkekeh melihat tingkah pola sahabatnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD