BAB 12

2735 Words
“Hai, apa kabar?”  Rie masih berdiri mematung, masih belum mempercayai bahwa pria yang menyelamatkan nyawanya dan sejak pertemuan mereka selalu muncul tanpa permisi di dalam pikirannya, kini sedang berdiri di hadapannya. Masih dengan senyum yang sama, senyuman yang entah kenapa selalu membuat jantung Rie berdetak dengan cepat.  “Sepertinya kondisimu sudah baik-baik saja. Kakimu sudah pulih?”  Rie mengerjapkan mata karena kini sudah bisa mengendalikan keterkejutannya. Dia pun mengangguk sebagai respon karena memang lukanya sudah pulih. “Ya, aku baik-baik saja. Kakiku juga sudah pulih.” “Hm, baguslah kalau begitu. Aku senang mendengarnya.”  Rie memperhatikan penampilan Raiden, pria itu sudah rapi dengan kemeja navy yang dipadupadankan dengan celana bahan berwarna hitam yang melekat sempurna di tubuhnya yang tegap. Rie meneguk ludah, sekali lagi heran dengan dirinya yang selalu merasakan desiran aneh dalam hati hanya dengan melihat sosok Raiden.  “Kau sepertinya ingin berbelanja?” tanya Raiden, mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka berdua. “Ya, aku sedang berbelanja kebutuhan bulanan,” jawab Rie, memilih berkata jujur. “Aku awalnya berniat meminum kopi hangat dan roti sebagai menu sarapan pagi ini sebelum berangkat bekerja. Tidak disangka bisa bertemu denganmu di sini. Keberatan jika menemaniku sarapan? Itu pun jika kau belum sarapan.”  Rie tercekat, tak menyangka Raiden akan mengajaknya sarapan bersama dan karena dia mengingat semua kebaikan Raiden, dia tak enak hati jika menolak karena itu dia menerima ajakannya. “Boleh. Kebetulan aku juga belum sarapan,” jawabnya.  Raiden tersenyum lebar, tampak senang karena ajakannya diterima oleh Rie.  Kedua orang itu kini sudah menempati salah satu meja yang tersedia di mini market, mereka bisa memesan camilan ringan seperti roti, ramen instan, kopi dan teh hangat. Sama halnya dengan Raiden yang memesan roti dan kopi, Rie pun memilih menu yang sama.  Mereka tampak santai menyantap sarapan masing-masing, tak ada pembicaraan yang terjadi di antara mereka dan hal itu sukses membuat Rie merasa gugup serta canggung tanpa sepengetahuan Raiden. Tapi rupanya berbeda dengan Raiden yang terlihat bersikap biasa saja, tak ada kegugupan dalam tingkahlakunya, dia begitu tenang dan santai menikmati kopi hangat yang kini sedang dipegangnya.  Rie mencoba bersikap tenang seperti Raiden karena itu dia mencoba mengabaikan keberadaan pria itu, Rie memfokuskan pikirannya pada roti yang kini sedang dia kunyah di dalam mulut.  “Oh, iya. Berapa hari kau dirawat di rumah sakit?”  Rie nyaris tersedak makanannya karena Raiden yang secara mendadak mengajaknya bicara dan itu benar-benar membuatnya terkejut. Cepat-cepat Rie meneguk kopi miliknya sebelum menyahuti, “Sekitar satu minggu.” “Oh, cukup lama juga. Tapi wajar karena kakimu tertembak. Maaf aku tidak pernah mengunjungimu lagi karena aku pikir sudah ada temanmu yang menemani.”  Rie tersenyum tipis, “Tidak masalah. Lagi pula kau sudah banyak membantuku. Sekali lagi terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawaku.”  Raiden mengibaskan tangan, mengisyaratkan pada Rie agar tak terlalu memikirkan kejadian saat itu. “Jangan sungkan, aku senang bisa berguna untukmu. Lagi pula jika kau ada di posisiku, aku yakin kau akan melakukan tindakan yang sama. Mustahil kau hanya diam saat ada orang yang terluka di depan matamu, kan? Jadi yang aku lakukan itu sesuatu yang wajar, jangan dipikirkan.” “Tetap saja kau sudah menyelamatkan nyawaku. Aku jadi merasa berhutang budi padamu.” Rie menjeda ucapannya karena dia pun teringat sesuatu yang membuatnya semakin merasa berhutang pada Raiden yang sudah begitu baik padanya.  “Selain itu, katanya kau yang meminta pihak rumah sakit memindahkanku ke ruang VIP begitu selesai operasi? Dan kau juga yang membayar biaya operasinya?”  Raiden meringis karena sebenarnya dia tak ingin mengungkit-ungkit masalah ini. “Ah, itu memang benar karena aku pikir kau harus ditangani sebaik mungkin karena itu aku meminta agar kau ditempatkan di ruang VIP agar pelayanannya maksimal. Sedangkan biaya operasi, kau tahu sendiri harus cepat dibayar ke pihak adminsitrasi rumah sakit, kan? Jangan khawatir, kebetulan saat itu aku sedang membawa uang.”  Rie menggelengkan kepala dengan tegas, “Tidak bisa begitu. Aku senang bisa bertemu denganmu lagi jadi sekarang aku bisa membayar hutangku padamu.”  Raiden kembali mengibaskan tangan, “Sudahlah. Jangan dipikirkan. Aku tulus membantumu.” “Tetap saja aku tidak ingin berhutang padamu, jadi tolong sebutkan jumlah uang yang sudah kau keluarkan. Aku akan menggantinya.”  Raiden terdiam, dia menatap Rie dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.  “Aku memiliki prinsif, sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial yang akan saling membutuhkan satu sama lain, saling tolong menolong itu sesuatu yang wajar. Saat itu kebetulan aku bertemu denganmu yang sedang membutuhkan pertolongan, jadi jangan terlalu dipikirkan. Aku benar-benar tulus menolongku karena mungkin saja suatu hari nanti aku juga akan membutuhkan pertolonganmu, kan?”  Rie semakin yakin penilaiannya tentang Raiden memang tidak salah, pria itu sangat baik. Tapi tetap saja Rie tak bisa menerima jika dirinya menerima semua kebaikan pria itu tanpa membalasnya. Dan uang yang diberikannya tetap sebuah hutang yang harus dibayar bagi Rie, tak peduli sekeras apa pun Raiden mencoba menolak, dia tetap akan membayarnya.  “Aku tahu kau ini sangat baik dan aku sangat berterima kasih atas semua kebaikanmu. Tapi bagiku tetap saja uang yang sudah kau keluarkan harus dibayar karena itu sebuah hutang. Jadi tolong beritahukan jumlah yang harus aku ganti.”  Raiden menghela napas panjang, tak menyangka ternyata Rie begitu keras kepala. “Bagaimana jika aku tidak mau menerimanya?”  Rie mengernyitkan dahi, “Apa maksudmu tidak mau menerimanya? Padahal aku hanya ingin mengganti uangmu?”  Raiden mengangkat kedua bahu, “Sudah kukatakan aku tulus menolongmu, jadi kau tidak perlu repot-repot menggantinya.” “Tapi aku memaksa. Aku tidak terbiasa menerima kebaikan orang lain sebanyak ini. Aku pasti tidak akan tenang sebelum mengembalikan uangmu atau membalas kebaikanmu.” Rie mengatakannya dengan tegas, tak ingin mendengar penolakan lagi.  Raiden tertegun sejenak, sebelum dia memejamkan mata sembari mengembuskan napas pelan. “Begitu ya? Jadi kau tidak akan merasa tenang sebelum mengembalikan uangku dan membalas semua pertolonganku kemarin?”  Rie mengangguk dengan sangat yakin.  “Baiklah kalau begitu. Karena aku juga tidak kalah keras kepalanya sepertimu dan aku tetap pada pendirian awalku tidak ingin kau mengembalikan uangku jadi bagaimana jika kita mengganti uang itu dengan hal lain?”  Satu alis Rie terangkat naik, “Menggantinya dengan hal lain? Apa maksudmu?” Kedua mata Rie memicing tajam penuh curiga dan anisipasi, entah kenapa dia mulai memikirkan berbagai hal negatif di dalam kepalanya.  Dan Raiden tertawa detik itu juga karena sudah bisa menebak alasan Ria memasang ekspresi seperti itu. “Jangan salah paham dulu. Aku tidak akan meminta hal yang aneh-aneh. Maksudku kita bisa mengganti hutang uang itu dengan makan malam bersama mungkin.” “Makan malam bersama?” gumam Rie, mengulangi ucapan Raiden. “Ya, dan kau yang harus membayar  makanan kita nanti. Bagaimana?”  Rie mendengus, “Apa harga makanannya nanti akan sebanding dengan jumlah uang yang sudah kau keluarkan yang tentunya tak sedikit?” “Karena itu kau sendiri yang memutuskan di restoran mana kita akan makan bersama, jika kau membawaku ke restoran mewah kelas atas, kurasa harga makanannya sudah setara dengan jumlah uang yang kukeluarkan.”  Rie terkekeh pelan sembari menggelengkan kepala, “Oh, OK. Aku paham sekarang. Kau menyuruhku mentraktirmu makan di restoran elit rupanya.” “Ya, karena seumur hidupku, aku belum pernah makan di restoran mewah yang harga makanannya saja setara dengan harga mobil.”  Rie mengangguk-anggukan kepala, memahami sepenuhnya keinginan Raiden. Dan dia merasa itu keputusan yang adil dan terasa menggiurkan baginya. “Baiklah, aku setuju. Aku akan mengajakmu makan malam di restoran mewah. Kau bisa makan sepuasnya di sana.”  Raiden mengangkat ibu jari, tampak puas dengan kesepakatan mereka. Pria itu lalu tiba-tiba bangkit berdiri dari duduknya.  “Baiklah kalau begitu, aku harus berangkat bekerja dulu. Sampai jumpa. Aku menunggu kabar selanjutnya darimu. Rasanya sudah tidak sabar ingin segara makan malam romantis denganmu,” ucap Raiden sambil mengedipkan sebelah mata, yang membuat Rie hanya bisa terpaku di tempat.  Tanpa menunggu respon Rie, Raiden melangkah mendekati mobilnya terparkir. Dia masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apa pun lagi hingga sosoknya menghilang dari pandangan Rie karena mobilnya sudah bergabung dengan kendaraan lain yang berlalu-lalang di jalan raya.  Rie tercekat sambil refleks berdiri dari duduknya saat dia baru saja menyadari telah melakukan kecerobohan paling fatal yang pernah dia lakukan seumur hidupnya.  “Sial, aku bodoh sekali. Bagaimana caraku menghubunginya nanti, aku lupa meminta nomor kontaknya?” gerutu Rie sembari menjambak rambutnya sendiri karena baru sadar dia bisa jadi sebodoh ini. Dan hanya karena ulah Raiden yang membuatnya gugup bukan main, yang sukses memmbuat seorang Yumiko Rie yang selalu teliti itu melakukan kecerobohan besar.   ***    Ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat berdiskusi itu tengah digunakan oleh empat orang yang kini sedang membahas masalah yang cukup penting. Mereka tentunya adalah Rie beserta kedua rekannya, Mai dan Hiro. Jangan lupakan sosok pimpinan mereka yang juga berada di ruangan itu, Toshio.  Ini hari pertama Rie kembali bekerja dan dia langsung disambut dengan pertemuan penting ini.  “Rie, aku senang kau sudah pulih dan bisa kembali bekerja.”  Yang mengatakan basa-basi sekaligus memecah keheningan di dalam ruangan adalah Toshio.  “Terima kasih, Pak,” jawab Rie sembari menganggukan kepala. “Pak, seharusnya kau menunjukan kepedulian pada anak buahmu tidak hanya dengan kata-kata tapi kau harus menunjukannya dengan sikap. Selama satu minggu Rie dirawat di rumah sakit, hanya kau yang tidak menjenguk Rie di antara aku dan Hiro. Padahal katanya kita ini tim.”  Mendengar celotehan Mai, Toshio mendelik tak suka, Rie yang menyadarinya langsung menendang kaki Mai di bawah meja.  “Owh, Rie, kau ini apa-apaan? Kenapa …” Rie kembali menendang kaki Mai agar wanita itu berhenti mengoceh. Rie juga kali ini menunjuk dengan lirikan mata, memberi isyarat agar Mai menatap ke depan. Menyadari arti tatapan Rie, Mai seketika mengikuti arah yang ditunjuk temannya dan di detik berikutnya Mai terkekeh pelan karena menyadari ucapannya tadi telah menyinggung sang pimpinan.  “Pak, maaf. Mulutku terkadang susah dikontrol,” ucap Mai sembari memukul bibirnya sendiri. “Jangan dianggap serius kata-kataku tadi ya, Pak. Aku minta maaf,” tambahnya sembari mengangkat satu tangan dan membentuk huruf V dengan kedua jarinya.  Toshio berdeham pelan, “Aku setuju denganmu, Mai. Kepedulian memang harus ditunjukan juga dengan tindakan, tidak hanya dengan kata-kata. Dan aku sudah menunjukan kepedulian pada Rie dengan memberinya cuti penuh sampai dia pulih. Aku yang memohonkan cuti untuk Rie pada atasan. Karena aku tahu kau dan Hiro bergantian ke rumah sakit untuk menjenguk Rie, apa aku juga harus melakukan itu padahal di sini aku yang selalu meminta izin jika kalian datang terlambat ke kantor karena kalian lebih mementingkan Rie? Katakan, Mai, apa masih kurang aku menunjukan kepedulianku pada anak buahku?” tanya Toshio sembari menatap tajam pada Mai yang kini sedang meneguk ludah di kursinya.  “Mati kau, Mai,” gumam Hiro, tampak puas karena wanita itu akhirnya kena imbasnya karena ulah mulutnya yang selalu bicara sembarangan. Sedangkan Rie hanya meringis, tak tahu harus membantu Mai dengan cara apa karena wanita itu memang membuat dirinya sendiri celaka dengan kata-katanya yang tak pernah disaring dulu sebelum terlontar di depan orang lain.  “Errr, Pak. Aku minta maaf. Aku tidak …” “Mai, sepulang kerja nanti kau harus menghadap ke ruanganku.”  Mai sudah membuka mulut untuk mengajukan protes namun tak sempat karena Toshio kini sudah melayangkan tatapan serius pada Rie dan Hiro pertanda diskusi mereka dimulai dan pembicaraan tak penting itu pun berakhir sampai di sini. Dengan terpaksa Mai kembali mengatupkan bibirnya karena jika dia memaksakan mengeluarkan suara maka hukuman yang akan didapatkannya nanti pasti semakin berat.  “Rie, aku dengar katanya kau diserang empat orang pria yang dicurigai sebagai anggota kelompok Kitsune saat di hotel?” tanya Toshio, langsung ke inti pembicaraan. Rie mengangguk, mengiyakan. “Benar, Pak. Mereka membawa senapan laras panjang dan memang sejak awal berniat memburuku karena mereka sudah mengetahui identias asliku sebagai agen kepolisian.” “Darimana kau seyakin itu mereka sudah mengetahui identitas aslimu?” “Karena mereka sendiri yang mengatakannya. Mereka bahkan tahu aku melakukan penyusupan karena berniat menyelidiki pemimpin mereka.”  Toshio mendesis kesal padahal dia yakin anak buahnya sudah sangat berhati-hati dalam menjalankan tugas penyusupan itu namun melihat pihak musuh sudah menyadarinya bahkan identitas Rie sudah diketahui, Toshio tahu mereka harus lebih waspada untuk ke depannya.  “Aku sudah membunuh mereka berempat tapi aku dengar jasad mereka tidak ditemukan walau sudah melakukan penyisiran ke seluruh hotel.”  Toshio menganggukan kepala karena yang dikatakan Rie itu memang tak dia pungkiri kebenarannya. Di saat para yakuza itu berhasil mengungkap identitas anak buahnya yang melakukan penyusupan, mereka justru begitu licin hingga dengan cerdas berhasil menghilangkan jejak hingga tak bersisa.  “Aku baru mendapatkan laporan baru dari tim forensik yang memeriksa kamera CCTV yang dipasang di area parkir tempat kejadian. Semua rekamannya sudah tak bisa diputar karena dengan sengaja dirusak, tapi ada satu kamera yang masih berfungsi dan rekamannya masih bisa diputar.”  Rie mendelik pada Hiro yang baru saja menyampaikan informasi terbaru. “Benarkah itu, Hiro?” tanyanya, memastikan. “Ya. Aku bahkan membawa kaset rekaman itu,” balas Hiro sembari mengangkat sebuah kaset di tangannya.  “Cepat putar kasetnya, mungkin kita akan mendapatkan petunjuk penting dari rekaman itu,” titah Toshio tampak bersemangat karena berpikir akhirnya mereka bisa menemukan bukti penting.  Hiro menuruti perintah sang pimpinan, dia berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati player yang akan memutar kaset tersebut. Tak berapa lama monitor besar di belakang Toshio pun menyala, pria itu memutar kursi yang dia duduki agar bisa melihat rekaman yang kini sedang diputar pada layar monitor.  Rie seolah sedang bernostalgia dengan kejadian yang dialaminya satu minggu yang lalu saat dirinya nyaris mati di tangan keempat pria yang mengejarnya begitu menonton rekaman itu. Benar, itu rekaman kejadian yang dia alami saat itu. Direkam dengan jelas tanpa ada sedikit pun adegan yang dipotong. Hanya saja satu hal yang membuat keempat orang di dalam ruangan itu kesal bukan main karena wajah keempat orang itu sama sekali tak terlihat karena kamera CCTV yang menangkap mereka sepertinya diletakan di area sudut sehingga keempat pria itu hanya terlihat dari arah punggung saja. Tak ada satu pun wajah keempat pria itu yang bisa mereka lihat meski samar-samar sekalipun seolah rekaman itu memang sengaja ditinggalkan dan tak dirusak karena pihak musuh sudah tahu tak akan ada informasi atau petunjuk yang bisa didapatkan pihak kepolisian meskipun sudah menontonnya.  Toshio yang kesal, menggebrak meja cukup kencang membuat Mai berjengit kaget hingga suara pekikannya meluncur keras secara tak sadar. Rie ikut mendesis kesal sedangkan Hiro hanya menatap datar pada rekaman yang masih diputar di layar monitor.  “Rie, apa kau masih mengingat wajah mereka?” tanya Toshio sembari melirik pada Rie, berharap anak buahnya itu masih mengingat wajah mereka meski hanya mengingat satu orang pun tak masalah baginya.  Rie menggelengkan kepala sembari memasang raut penuh sesal, “Wajah mereka tidak bisa aku lihat jelas karena mereka mengenakan topi bahkan ada yang sengaja mengenakan penutup kepala. Maafkan aku karena tidak bisa memberikan informasi apa pun.”  Toshio mengepalkan tangan, dia tak bisa menyalahkan Rie karena dia tahu anak buahnya itu sudah berusaha dengan sekuat tenaga. Terlebih setelah melihat isi rekaman itu dia menyadari insiden yang dialami Rie cukup parah dan mengerikan, andai Rie bukan agen terlatih yang handal dalam bertarung dan lihai menggunakan senjata mungkin wanita itu sudah tewas dan hanya meninggalkan nama. Mendapati Rie selamat pun, Toshio sudah merasa sangat lega.  “Sekarang aku yakin mereka memang anggota Kitsune,” ucap Toshio tiba-tiba, yang sukses membuat tiga orang di ruangan itu memusatkan atensi padanya. “Karena memang seperti ini cara bermain mereka. Selalu cerdas menghilangkan jejak. Aku rasa mereka meninggalkan satu rekaman ini sebagai bentuk peringatan mereka pada kita.” “Peringatan? Peringatan apa?” Mai yang bertanya karena wanita itu tak memahami maksud ucapan Toshio.  “Peringatan bahwa mereka akan melakukan tindakan yang sama seperti yang mereka lakukan saat menyerang Rie, jika kita tetap menyelidiki dan memburu mereka. Dengan kata lain, nyawa kita berada dalam bahaya jika tetap bersikukuh memburu dan menyelidiki mereka. Bukankah begitu, Toshio?”  Toshio mendengus pelan, tak heran mendengar Hiro bisa menebak dengan tepat pemikirannya. “Ya, kau benar. Tapi kita tidak boleh kalah dari mereka. Kejadian ini justru harus menjadi motivasi kita untuk terus memburu dan menyelidiki mereka. Kita harus menunjukan kekuatan dan kemampuan kita pada mereka. Kita tunjukan bahwa kepolisian jauh lebih tangguh dibandingkan kelompok yakuza itu. Walau tentu saja kita harus lebih teliti dan waspada untuk ke depannya.”  Rie, Mai dan Hiro mengangguk secara bersamaan, menyetujui ucapan sang pimpinan dan mereka semakin bersemangat untuk menghadapi musuh terbesar mereka ini, kelompok yakusa terbesar di Jepang yang menamai kelompok mereka sebagai Kitsune.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD