BAB 9

2464 Words
Rie tertidur tepat di pukul 9 malam. Setelah seharian mengobrol, membicarakan hal-hal ringan bersama Rie, mungkin wanita itu tak tahu Hiro merasa begitu senang. Karena biasanya mereka hanya akan bicara saat sedang membicarakan misi dan kasus, Hiro harus berterima kasih pada Mai yang memintanya untuk menginap di rumah sakit menemani Rie, dia jadi bisa membicarakan hal lain dengan wanita itu untuk pertama kalinya.  Jika Rie sedang tertidur lelap di brankar karena efek obat yang baru dia minum, tidak demikian dengan Hiro. Pria itu sedang duduk di sofa dengan tatapannya yang tertuju pada Rie. Dia menatap wanita itu seolah lupa cara berkedip dan sesekali mengulas senyum tipis karena bisa dikatakan ini juga pertama kalinya dia memandang wajah Rie yang sedang tertidur. Dia jadi mengetahui wajah Rie yang begitu polos saat tidur, jauh berbeda saat kedua matanya terbuka, Rie selalu memasang raut datar. Ya, walau hari ini Hiro dibuat tercengang karena berkali-kali melihat senyuman Rie.  Mungkin wanita itu tak tahu dan tak menyadari, hanya dengan melihat senyumannya sudah sangat mampu membuat jantung Hiro berdebar dengan cepat.  Hiro memang banyak menceritakan tentang dirinya pada Rie, di saat yang bersamaan dia juga menyembunyikan banyak hal dari Rie. Seperti pertemuan pertama mereka yang diketahui Rie terjadi dua tahun yang lalu. Kenyataannya tidak demikian.  Hiro memejamkan mata, sebuah kenangan saat dia masih menjadi siswa di senior high school kini terngiang di ingatannya …  Suara tangisan terus mengalun dari sosok seorang gadis kecil berusia 7 tahun. Suara tangisannya terdengar memilukan namun tampaknya tak menggetarkan hati seorang pemuda yang duduk di sampingnya. Pemuda itu terus menatap ke arah pintu yang tertutup rapat dimana di dalam ruangan sedang dilakukan proses operasi.  “Kak Hiro.”  Pemuda itu, Hideaki Hiro yang baru menginjak usia 18 tahun di tahun ini, menoleh ke arah samping begitu Hideaki Mayu yang merupakan adik perempuannya, memanggil namanya.  “Kenapa?” tanya Hiro dengan satu alis terangkat. Sama sekali tak ada niat untuk menghibur adiknya yang sedang bersedih. Bagaimana bisa dia menghibur orang lain di saat dirinya sendiri pun membutuhkan seseorang untuk menghiburnya. Sayangnya tak ada siapa pun di sana yang bisa menenangkan hatinya selain tangisan sang adik yang menambah rasa sakit di dalam hati pemuda itu.  “Apa ayah akan mati?” Hiro mengerjapkan mata mendengar pertanyaan sang adik, entah dari mana adiknya tahu tentang kondisi ayah mereka yang sedang kritis, yang pasti dia tak tahu harus menjawab apa karena kemungkinan ayahnya selamat sangat tipis.  Hideaki Shinzo, nama ayah mereka. Pria baik hati berusia 53 tahun yang bekerja sebagai nelayan. Pria itu tak pernah mengeluh meski harus membesarkan dua anaknya tanpa kehadiran sang istri. Karena istrinya tewas setelah melahirkan anak kedua mereka, Mayu.  Namun nasib malang menimpa pria tegar dan pekerja keras ini saat kapal yang dinaikinya bersama rekan-rekannya sesama nelayan, mengalami kecelakaan karena menabrak batu karang sehingga kehilangan kendali dan akhirnya tenggelam. Shinzo memang masih bernapas saat ditemukan namun kondisinya begitu kritis dan sekarang para dokter sedang berusaha untuk menyelamatkannya di ruang operasi. Luka parah yang dialami pria paruh baya itu terletak di bagian belakang kepala, sangat rentan mengingat bagian itu merupakan organ yang cukup penting.  “Kak, ayah tidak akan meninggal, kan?” tanya Mayu lagi karena sang kakak tak kunjung menjawabnya.  Hiro mengepalkan tangan, masih tak tahu harus menjawab apa karena dirinya pun mengkhawatirkan hal yang sama. Tapi di saat seperti ini bukankah sebagai seorang kakak, dia yang bertugas menenangkan adiknya?  Hiro memaksakan diri mengulas senyum, dia lalu memeluk Mayu dan mengusap puncak kepalanya lembut. “Ayah pasti baik-baik saja.” “Jadi ayah tidak akan meninggal seperti ibu?” “Tidak akan. Ayah akan selamat.” “Kakak sedang berjanji padaku?”  Hiro tertegun, tak berani menjanjikan hal seperti itu tapi sekali lagi tugasnya sebagai seorang kakak membuatnya mau tak mau harus menghibur adiknya yang masih terlalu belia untuk memahami kondisi ayah mereka.  “Ya, kakak sedang membuat janji. Ayah pasti baik-baik saja,” ucapnya.  Katakan Hiro sangat beruntung karena dia berhasil menepati janjinya, begitu pintu ruang operasi terbuka, dokter memberikan kabar yang menggembirakan. Operasi berjalan lancar dan Shinzo berhasil diselamatkan tepat pada waktunya.  Hiro merasa lega dengan kondisi ayahnya yang berangsur pulih dan dia dengan terpaksa harus kembali ke sekolah karena sudah tiga hari dia membolos demi menemani ayahnya di rumah sakit.  Saat ini, bel tanda istirahat baru saja berbunyi. Hiro menelungkupkan kepala di atas meja, menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan, dia tak kuasa menahan ngantuk karena belakangan ini dia memang kurang tidur. Setiap malam bergadang untuk menemani ayahnya. Dan dia memutuskan untuk memanfaatkan waktu istirahat ini dengan tidur di dalam kelas.  “Hiro.”  Hiro mencoba mengabaikan walau dia jelas-jelas mendengar suara seorang gadis yang memanggil namanya. Hiro tetap dalam posisi yang sama, pura-pura sudah tertidur walau sebenarnya belum.  “Hiro.”  Gadis itu kembali memanggil dan kali ini dengan berani sedikit mengguncang bahu Hiro. Hiro berdecak, habis sudah kesabarannya. Lantas dia pun mengangkat kepala dan melayangkan tatapan tajam pada si gadis yang kini meneguk ludah karena terintimidasi oleh tatapan Hiro.  “Ada apa?” tanya pemuda itu dengan nada suara ketus. “A-Aku ingin memberikan ini.”  Gadis itu bernama Haruka, dia mengulurkan sebuah buku pada Hiro membuat Hiro mengernyitkan dahi karena heran teman sekelasnya itu tiba-tiba memberikan buku padanya.  “Apa itu?” tanya Hiro, menatap heran ke arah buku yang terulur padanya tapi dia tak tertarik untuk menerimanya. “Tiga hari ini kau tidak masuk sekolah. Banyak pelajaran yang tertinggal. Minggu depan kita akan mengikuti ujian semester jadi aku menyalin beberapa mata pelajaran yang tidak kau ikuti kemarin. Aku harap ini bisa membantu.”  Melihat wajah Haruka yang memerah karena merona malu, Hiro kini memahami alasan Haruka berbaik hati melakukan itu meski dia tak memintanya. Hiro mendengus, dia tak tertarik menerima kebaikan gadis itu. Bukan karena dia jahat, hanya saja dia tidak ingin memberikan harapan pada seseorang yang tidak dia sukai.  Tanpa mengatakan apa pun, Hiro bangkit berdiri. Pemuda itu lalu melenggang pergi, meninggalkan Haruka yang masih mengulurkan buku padanya dan kini gadis itu sedang terbelalak karena terkejut Hiro menolaknya dengan cara sekejam itu. Haruka harus menahan malu karena dia kini ditertawakan beberapa gadis di kelasnya yang juga menaruh perasaan pada Hiro.  Meninggalkan Haruka yang sedang mati-matian menahan malu di dalam kelas, Hiro berjalan dengan santai menaiki anak tangga. Karena dirinya tak bisa tidur dengan tenang di dalam kelas, dia memutuskan untuk tidur di rooftop sekolah. Dia yakin tempat itu sepi karena di saat jam istirahat seperti ini siswa lain akan lebih memilih berdesakan di kantin untuk membeli makanan daripada berdiam diri di rooftop sekolah.  Hiro merentangkan kedua tangannya ke udara untuk menghirup udara di musim gugur yang terasa dingin ini setibanya dia di rooftop.  “Hah, keputusan yang tepat aku datang ke sini,” gumam Hiro, merasa dirinya akan bisa tidur nyenyak di tempat itu.  Namun saat dia hendak berbalik badan dan tanpa sengaja melihat ke arah sudut kanan, dia terenyak karena mendapati seorang gadis sedang duduk meringkuk di lantai sambil memeluk lututnya sendiri. Di saat Hiro mengenakan seragam musim dingin yang hangat, gadis itu justru mengenakan kaos olahraga yang tampak tipis.  “Pasti gadis itu kedinginan. Kenapa juga dia tidur di sini?” pikir Hiro gadis itu terlalu gegabah dengan tidur di rooftop sekolah padahal sedang mengenakan pakaian berbahan tipis.  Awalnya, Hiro tak ingin peduli. Tapi saat dia merasakan hembusan angin terasa menusuk kulit hingga ke tulang, rasa iba mulai tumbuh di hati Hiro.  Hiro menghela napas panjang sebelum melangkahkan kaki untuk mendekati si gadis yang tampak sedang tidur pulas.  “Hei, bangun. Apa kau tidak kedinginan tidur di sini?” tanya Hiro, tapi gadis itu tetap diam, tak melakukan pergerakan apa pun.  “Woi, kau dengar tidak? Di sini dingin sekali, lebih baik kau pindah.”  Karena gadis itu masih betah terdiam bagai patung, Hiro sedikit mengguncang bahunya. Sayangnya percuma karena gadis itu masih tetap diam di tempat tanpa bergerak sedikit pun. Hiro lantas membulatkan mata, mulai berpikir negatif dan mengira gadis itu mungkin tidak sedang tidur, melainkan pingsan karena terlalu kedinginan.  “Aku harus membawanya ke ruang medis.”  Hiro sudah mengambil keputusan, meski dia tahu ini tindakan yang tidak sopan tapi demi menyelamatkan gadis itu, Hiro mengabaikan sopan santun itu. Dia berniat menggendong si gadis, siapa sangka hal tak terduga justru terjadi. Gadis itu menepis tangannya dengan kasar, lalu mengangkat kepala dan melayangkan tatapan penuh intimidasi pada Hiro.  “M-Maaf, aku pikir kau pingsan jadi aku …” “Apa kau tidak pernah diajari sopan santun oleh orangtuamu?”  Hiro tersentak karena nada suara gadis itu luar biasa ketus.  “Maksudku kan baik, aku hanya …”  Hiro tak melanjutkan ucapannya karena gadis itu tiba-tiba mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Hiro. “Dengar baik-baik. Apa pun niatmu barusan, di mataku kau hanya pria m***m yang pandai memanfaatkan situasi untuk menggoda seorang gadis. Aku bisa saja melaporkanmu dengan tuduhan percobaan pelecehan.”  Hiro semakin dibuat terkejut mendengar ucapan gadis itu yang sembarangan menuduhnya yang tidak-tidak.  “Hei, sepertinya kau salah paham, aku tidak …” “Tutup mulutmu!” bentak gadis itu yang sukses membuat Hiro mengatupkan bibir yang sempat terbuka. Wajah si gadis yang pucat kini memerah karena amarah yang memuncak, tatapannya pun begitu tajam membuat Hiro seolah tak berkutik menghadapinya. Dalam pandangan Hiro, untuk pertama kalinya dia bertemu dengan gadis segalak itu, namun di saat yang bersamaan dia menyadari si gadis sangat berbeda dengan kebanyakan gadis yang pernah ditemui Hiro.  “Jangan coba-coba muncul lagi di depanku atau aku benar-benar akan melaporkanmu ke pihak sekolah.”  Setelah memberikan ancaman yang sepertinya bukan hanya sekadar ancaman karena raut wajah gadis itu begitu serius, dia pun melangkah pergi meninggalkan Hiro yang mematung di tempat sambil tersenyum tipis karena entah kenapa dia merasa tertarik pada gadis aneh dan galak tersebut.   ***    Kondisi lapangan itu sedang ramai, dimana ada dua puluh remaja yang sedang berlarian demi bisa mengejar sebuah bola yang akan mereka masukan ke dalam gawang lawan untuk mencetak goal.  Hiro ada di antara mereka, mendapat posisi sebagai gelandang tengah membuatnya dengan leluasa berlari untuk mengejar bola yang saat ini sedang dikuasai tim lawan. Hiro memiliki kecepatan berlari yang mengerikan, tak sulit baginya untuk mengejar orang yang sedang mengendalikan bola. Hiro berhasil menyusulnya dan dengan mudah merebut bola dari kaki orang itu.  “Ayo maju, teman-teman!” teriak Hiro, mengajak rekan-rekan setimnya untuk ikut berlari mengikutinya menuju gawang musuh.  Banyak pemain tim lawan yang berusaha menghadang Hiro dan merebut bola di kakinya, namun dengan lihai dan gesit Hiro mengoper bola itu pada rekannya. Sedangkan Hiro sendiri sekarang melesat semakin mendekati gawang lawan karena melihat kondisi rekannya yang sedang membawa bola tidak dihadang oleh siapa pun.  Dan sesaat sebelum tim lawan berniat merebut bola dari rekan Hiro, Hiro mengangkat tangan kanan sebagai isyarat agar bola dioper padanya. Beruntung sang rekan melihat tanda itu meski kondisinya terdesak karena dikepung beberapa pemain lawan yang ingin merebut bola darinya. Dia pun mengoper bola itu pada Hiro yang sudah berada cukup dekat dengan gawang. Meski kipper yang menjaga gawang berusaha merebut bola di kaki Hiro, begitu pun dengan beberapa pemain belakang tim lawan yang juga berusaha menghadangnya, gerakan Hiro lebih cepat dari mereka.  Hiro menendang bola menggunakan kaki kanan dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dia punya sehingga bola itu pun melesat cepat menuju gawang. Nyaris saja sang kipper berhasil menangkap bola itu tapi tampaknya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Hiro karena bola hanya menyentuh ujung jari sang kipper dan tetap melaju menuju gawang hingga berhasil masuk ke dalam gawang.  “Yessss!” Teriak Hiro, girang bukan main karena dengan goal yang diciptakannya itu pertanda timnya berhasil memenangkan pertandingan ini.  Sebenarnya pertandingan itu hanya ajang latihan karena mereka bergabung dalam club sepak bola dan sedang bersiap untuk menghadapi turnamen sepak bola nasional tingkat senior high school.  Hiro dan teman-temannya berjalan santai meninggalkan lapangan karena latihan itu sudah selesai. Hiro duduk di bawah pohon bersama beberapa temannya sesama anggota club sepak bola, ketika tanpa sengaja Hiro melihat ke arah gerbang dan menemukan seseorang sedang berdiri di depan sebuah mobil yang sepertinya memang datang untuk menjemputnya.  Orang itu tidak salah lagi merupakan gadis yang dia temui beberapa hari yang lalu di rooftop sekolah. Gadis cantik namun galak yang di pertemuan pertama sukses membuat Hiro selalu mengingatnya dan tak pernah bisa melupakannya barang sedetik pun. Bahkan berulang kali gadis itu muncul di mimpinya, sayang dia tak tahu nama dan dari kelas mana gadis itu berasal.  “Hei, Hei!” Hiro menepuk dengan sembarang, orang yang duduk di sampingnya, tanpa sedikit pun memalingkan tatapannya dari gadis itu.  “Kenapa, Kak?”  Hiro lalu menoleh ke arah samping, pada si pemilik suara yang ternyata adik kelasnya.  “Gadis itu … yang di gerbang, kau tahu siapa dia?”  Pemuda itu mengikuti arah yang ditunjuk Hiro dengan jari telunjuknya, “Oh, itu teman sekelasku. Dia gadis yang aneh dan juga pendiam. Selalu menyendiri karena dia tidak punya teman.”  Hiro terbelalak mendengar orang yang ditanyanya kebetulan sekali mengenal gadis itu. “Siapa namanya?” tanya Hiro, tak sabar ingin mengetahui nama gadis yang berhasil mencuri detak jantungnya hanya dalam sekali pertemuan.  “Yumiko Rie. Aku dengar hari ini hari terakhirnya di sekolah ini.” “Hah? Kenapa?” “Dia pindah karena ikut dengan ayahnya yang dipindahtugaskan ke prefektur lain. Ayahnya seorang inspektur polisi setahuku.”  Dan karena informasi itulah akhirnya Hiro memutuskan untuk menjadi seorang polisi, bukan karena itu murni keinginannya melainkan karena dia berharap akan mendengar kabar tentang Rie yang tak pernah dia dengar kabarnya lagi semenjak kepindahan gadis itu. Hiro berharap setelah menjadi polisi dia bisa mencaritahu tentang ayah Rie. Tapi sepertinya keberuntungan memang sedang berpihak pada Hiro karena dia justru dipertemukan kembali dengan Rie, bahkan mereka kini menjadi rekan satu tim di divisi yang sama.  Hiro mengembuskan napas panjang, cukup puas bernostalgia dengan kenangan di masa lalu. Kenangan dengan seseorang yang dia cintai, yang kini wanita itu sedang berada di hadapannya. Rie tentu tak menyadari bahwa cinta pertama yang diceritakan Hiro tadi tidak lain merupakan dirinya.  Hiro bangkit berdiri dari duduknya, dan berjalan menuju Rie yang masih tertidur lelap. Dia lalu berhenti melangkah setelah tiba tepat di samping brankar yang Rie tempati, lalu dia mengulas senyum sambil tatapannya tak berpaling sedikit pun dari wajah Rie yang tengah memejamkan matanya erat.  “Aku tidak tahu kapan harus mengatakan yang sebenarnya padamu. Tapi Rie, suatu hari nanti kau harus tahu, dari pertemuan pertama kita hingga sekarang, perasaanku padamu sama sekali tidak pernah berubah. Sebaliknya, cintaku padamu tumbuh semakin besar. Aku sangat mencintaimu, Rie.”  Hiro membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke arah wajah Rie, tatapannya tertuju pada kening Rie, sekali saja Hiro ingin mengecup kening yang terlihat cukup lebar tersebut. Hiro dengan berani semakin mendekatkan wajah, namun kejadian di masa lalu sepertinya terulang kembali karena sebelum bibirnya mendarat di kening Rie, wanita itu tiba-tiba membuka matanya. Kini Hiro hanya bisa diam mematung dengan kedua mata yang terbelalak sempurna, dia merasa kejadian di masa lalu kembali terulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD