The Farewell | 2

1369 Words
Setelah menemukan tanaman pohon yang mereka cari, Clara dan Nurin sekarang tengah berada di pusat perbelanjaan. Sebelum mengisi perut, Clara mengajak Nurin mampir sebentar ke toko sepatu untuk mengambil pesanan sepatu Clara yang dua hari lalu dia pesan. "Cla, gue ke bagian sana dulu ya. Bagus-bagus sepatu keluaran terbaru kali ini. Gue mau liat-liat dulu, siapa tahu ada yang gue suka." Clara mengangguk. Dia mendatangi salah satu pelayan di sana, kemudian menanyakan pesanan sepatunya apakah sudah ready stock atau belum. Di bagian rak sepatu sebelah kanan, Nurin sedang melihat-lihat berbagai macam model sepatu keluaran terbaru yang berjajar rapih di sana. Dia mengambil sepatu sneakers putih dengan perpaduan toska di bagian bawahnya. Ketika dicoba pada kakinya, senyum Nurin merekah--sepatu itu seperti berjodoh dengannya, kebetulan pas sekali dengan ukuran kaki Nurin. Nurin mengangkat tangannya, memanggil salah seorang pelayan untuk meminta pengemasan sepatu kesukaannya tersebut. "Sudah, Cla?" tanya Nurin saat menghampiri Clara. Gadis itu sedang duduk di sofa tunggu sembari memainkan ponselnya. "Sudah, lagi di kemas." Nurin mengangguk. "Lo juga beli?" "Iya, suka banget sama model terbarunya. Bagus banget." Clara tertawa kecil. Tumben sekali Nurin ingin membeli sepatu, biasanya gadis itu selalu lebih mementingkan uangnya untuk membeli makanan. Setelah membayar sepatu masing-masing, mereka segera meninggalkan toko sepatu itu menuju tempat makan kesukaan mereka--yang sering mereka kunjungi ketika weekend. Baru saja melangkah beberapa meter, Nurin kembali tersandung, tetapi tidak sampai terjatuh. Kakinya kembali menyapa pel pelan lantai seorang cleaning service. "Astaghfirullah, maafkan saya yang kurang berhati-hati, Mbak," ujar cleaning service tersebut. Nurin hanya tersenyum kaku, karena kecerobohannya tadi menarik beberapa pasang mata untuk menatap ke arah mereka. Memalukan? Tentu saja. "Gak pa-pa, Mas." Lantas meninggalkan tempat itu dengan langkahan yang lumayan lebar. Nurin beberapa kali menggerutu, merutuki dirinya yang selalu sial setiap saat. Menyebalkan bukan? Bukannya menenangkan Nurin yang sedang kesal, Clara malah menertawakan sahabatnya itu. Entahlah, wajah kalem Nurin tidak cocok sekali untuk marah. Seberapa hebat Nurin kesal, wajahnya tetap kelihatan baik-baik saja--tenang. "Gue saranin mending lo habis ini cari orang pintar deh. Siapa tahu lo emang benar kena kutukan?!" katanya kembali memberikan saran tak masuk akal. Clara hanya mengangkat bahu menerima tatapan tajam Nurin. "Mandi kembang tujuh rupa coba, siapa tahu sial lo luntur, kan?" Nurin mengangkat tangan ingin memukul Clara, namun urung. "Sekali lagi lo ngomong gila kayak gitu, gue pecat jadi sahabat gue!" ancamnya dengan sorot tajam. Clara hanya menyengir kuda, tidak merasa bersalah sedikitpun. Sesampainya mereka di tempat makan, Nurin dan Clara menaruh barang belanjaan mereka tadi--sepatu, ke tempat penyimpanan barang para pengunjung. Bebas sebenarnya mau menitip barang atau tidak, boleh-boleh saja. Tetapi jika ingin menghemat tempat, biasanya Nurin maupun Clara selalu menitipkan barang belajaan mereka di sana. *** Sesuai perjanjiannya dengan bu Abraham, sehabis makan dia dan Clara pulang. Sekitar jam tujuh malam, mereka telah tiba di kediaman Nurin. Clara memilih langsung pulang beberapa menit yang lalu setelah berpamitan dengan bu Abraham. "Ayah sudah pulang, Bun?" tanya Nurin. Dia menuangkan air ke dalam gelas, sedangkan bu Abraham sedang membantu Mbok Ina menyiapkan makan malam untuk mereka. Dua hari yang lalu, pak Abraham melakukan pekerjaan keluar kota--mengurus kerjasama baru mereka bersama dengan perusahaan Agency besar. "Iya, Sayang, sudah." Mata Nurin berbinar. Biasanya setiap kali pak Abraham pulang dari luar kota dia pasti membawakan oleh-oleh untuk putri kesayangannya. "Irin mau nanyain oleh-oleh dulu, ah, sama Ayah!" Lantas beranjak menuju kamar orangtuanya. Meninggalkan bu Abraham sebelum wanita paruh baya itu berhasil mencegahnya. Bu Abraham hanya menghela napas sambil menggelengkan kepala. Tanpa mengetuk pintu, Nurin langsung membuka pintu berwarna putih tersebut. "Ayah ...!" panggilnya secara tiba-tiba, mengagetkan pak Abraham yang sedang duduk sambil mengecek sesuatu pada layar laptopnya. Pak Abraham sempat terkejut, kemudian menggelengkan kepalanya keheranan. "Nak, jangan kebiasaan dong, jantung Ayah gak setahan banting waktu muda dulu," tegurnya seperti biasa--mengutamakan kelembutan dan penuh kasih sayang. Pak Abraham tertawa kecil di akhir kalimatnya. Nurin ikut tertawa. "Hem ... Ayah gak lupa bawakan oleh-oleh buat Irin kan?" Dengan menunjukkan ekspresi sok imutnya. "Ada. Tapi nanti Ayah kasih setelah kamu selesai pengenalan lingkungan sekolah." "Kok gitu, Yah? Gak mau sekarang aja ngasihnya? Irin sudah penasaran, nih! Ayah bawakan Irin tas keluaran terbaru lagi? Atau ... jepit rambut yang lebih cantik dari bulan lalu? Irin sudah gak sabar nih mau pakai tas atau jepit rambutnya ke sekolah." Pak Abraham menyunggingkan senyum. "Lusa Ayah kasih. Fokus aja dulu sama masa-masa pengenalan lingkungan sekolah kamu." Nurin mengerucutkan bibir. Masa pengenalan lingkungan sekolah tiga hari saja, setelah itu anak-anak langsung memasuki masa pembelajaran wajib. "Sudah tidak usah cemberut begitu. Mandi sana, baunya keciuman sampai ke sini." "Eh ya Allah, Ayah kok nyebelin banget. Jadi inget pak Abbas!" sewotnya dengan bibir bawah digerakkan ke kiri dan ke kanan. "Ya sudah, gih sana mandi. Setelah itu istirahat." Nurin terpaksa mengangguk. "Irin ke kamar dulu, selamat malam Ayah." "Hem ... selamat malam, Nak." Nurin melangkah cepat ke lantai atas. Menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur sambil menghela napas panjang--melepas lelah. Sebelum mandi, Irin kembali mengambil kotak sepatunya. Dia akan memakainya besok ke sekolah. "Hah?!" kaget Nurin ketika dia membuka kotak sepatu yang tengah berada di atas pahanya tersebut. Sejak kapan sepatu cantiknya berubah jadi sepatu cowok seperti ini? Ukuran 41? Oh astaga! Apa pelayan di toko sepatu tadi salah memberikan barang kepadanya? Oh ... atau tertukar di tempat penyimpanan barang tadi? "Aish!" Nurin mendesah sambil memukul kepalanya sendiri dengan kesal, lalu mengentakkan kakinya ke lantai. Ke mana dia harus mengembalikan sepatu ini dan mendapatkan sepatunya kembali? Lagi, lagi dia kembali sial. Padahal Nurin sudah mengorbankan sebagian tabungan berharganya hanya untuk membeli sepatu dengan harga yang lumayan tinggi itu. Tetapi sekarang malah tertukar begini dengan milik orang lain? Oh ayolah, sampai kapan Nurin akan terus sial seperti ini?! **** Seorang keluar dari dalam kamar mandi sambil menggosokkan handuk kecil untuk mengurangi kadar air pada rambutnya. Dia, Alby Putra Bagaskara. Cowok berpostur tinggi tegap, hidung mancung terpahat sempurna, semakin tampan dengan mata yang begitu indah. Siapa yang menolak jatuh hati pada si tampan Alby? Usai mengeringkan rambutnya, Alby yang terkenal dengan kebersihannya itupun segera mengantung handuk kecilnya dengan rapih pada tempat yang sudah tersedia dalam kamarnya. Kamar cowok itu kelewat bersih dan rapih. Semua barang berada pada tempat yang benar, hingga menimbulkan kesan indah jika dipandang. Alby cupu? Banci? Ah, tentu saja tidak. Tidak sama sekali. Cowok bersih dan rapih belum tentu lemah gemulai seperti perempuan. Begitupun sebaliknya, cewek tomboy belum tentu semua hal yang dia lakukan seperti cowok. Malah ada yang lebih telaten soal pekerjaan rumah daripada cewek feminim. Alby meraih kotak sepatu yang baru saja dia beli tadi, duduk sambil menikmati teh dan angin malam di beranda kamar. Alby menyeruput tehnya. Nampaknya Alby sudah tidak sabar ingin mencoba sepatu barunya. Seperti ekspresi Nurin, Alby pun demikian. Dia nampak lebih kaget, sambil membolak-balikkan sebelah sepatu itu di depan matanya. Alby mengakui sepatu pilihan Nurin itu bagus dengan model tidak pasaran. Alby berpikir bahwa cewek pemilik sepatu itu pintar soal style anak muda kekinian dan keren. Alby juga tahu berapa kisaran harga sepatu dengan model simple itu. Tentu tidak murah, ya meskipun tidak lebih mahal dari sepatu barunya tadi. Ah, sepatu barunya! Alby segera mengambil ponsel, menelpon seseorang yang berada di seberang sana. "Halo, Lang?" "Hem. Kenapa?" jawab Galang dengan begitu malas. Dia baru saja akan mandi, tapi panggilan dari Alby berhasil menghentikannya. "Lo harus tanggung jawab nih! Lo kan tadi yang ngambilin barang-barang gue di penitipan barang pas kita makan, sekarang sepatu gue ketuker nih sama punya orang. Cewek lagi!" Galang tertawa kecil. Alby tidak senang mendengarnya. Apa temannya sehat? "Sepatu cewek? Sepatu Cinderella maksud lo? Jangan ngaco, ini dunia nyata, bukan dongeng! Gak lucu banget candaan lo!" Alby mendesah kesal. "Sialan! Gue serius, anjing! Matiin dulu, gue kirimin buktinya!" Lantas mematikan sambungan telepon mereka secara sepihak. Alby langsung mengambil gambar untuk dia kirimkan pada Galang. Alby: Sekarang lo percaya kan? Galang: Buset! Sepatu jodoh lo jangan-jangan tuh, Al! Ingin rasanya Alby melempar ponselnya ke dinding. Galang benar-benar menyebalkan. Cowok satu itu tidak pernah serius dalam hal apapun. Kalau dalam hal yang memang tak penting, Alby tidak ambil pusing. Tapi sekarang? Galang lagi-lagi menyulut emosinya. Satu pesan kembali masuk, dari Galang. Galang: Ye ... si Onyet pakai ngambek segala. Iya dah, entar gue bantu nyariin cewek itu. Jangan marah mulu kenapa, sih?! Jantungan nanti baru tau rasa lo. Alby: Sialan! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD