The Farewell | 9

2007 Words
Sesampainya di sekolah, pagar besi berwarna hitam itu sudah tertutup rapat. Tidak ada satu orang pun siswa maupun siswi yang berkeliaran di halaman depan, semua berkumpul di lapangan. Sedang melakukan senam sehat yang dipimpin oleh kakak pendamping masing-masing kelas. Nurin dan Clara bersamaan mendesah kecewa dengan sorot sedih. Sebenarnya keterlambatan seperti ini sangat mereka hindari sejak dulu, agar selalu tercatat sebagai siswi teladan di sekolah. Seperti kata Clara, 'Gue meskipun gak pinter-pinter banget, yang penting gak bikin ulah'. Begitu saja sudah cukup untuk menjadi pelajar yang baik, dalam kata lain ... tidak harus pintar. "Maaf, ya, Kak, gara-gara bantuin aku tadi Kak Alby jadi terlambat," ucap Nurin begitu merasa bersalah. Seandainya dia dan Clara saja yang terlambat mungkin tidak masalah, tapi sekarang? Alby juga. Apalagi ketika mengingat jabatan cowok itu di sekolah, ketua MPK dan dipercaya menjadi pendamping kelas mereka seharusnya memberikan contoh yang baik. Alby mengangguk. "Gak pa-pa, santai aja. Bukan masalah yang besar, gue gak sekali ini aja terlambat. Udah pernah terjadi sebelumnya." Dia mengangkat sedikit sebelah bahu kanannya tanda tidak terlalu mempermasalahkan perihal ini, lalu mengulas senyum tipis. Alby sudah pernah terlambat dua kali waktu kelas sepuluh. Nurin tidak langsung menyahut, dia malah membisu dengan tatapan kian dalam kepada Alby. Tidak tahu mengapa, Nurin merasa senang jika menatap mata hitam cowok itu--yang saat ini kelihatan begitu menenangkan. Seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya agar terus menatap lurus ke satu titik tersebut. Clara yang menyadari kebisuan Nurin segera menyikut pelan pinggangnya. "Biasa aja ngelihatinnya, jangan kayak orang yang lagi terhipnotis gitu!" bisiknya dengan penuh penekanan, kemudian mencoba mencairkan suasana dengan menyunggingkan senyum semanis mungkin kepada Alby. "Maaf ya, Kak, sahabat aku emang rada aneh gitu kalau liat cowok ganteng, suka kebablasan," katanya setengah berbisik, membuat Alby terkekeh. Nurin berdecak kesal. Clara secara terang-terangan sudah mempermalukan dirinya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu di depan Alby, mau ditaruh di mana wajahnya? Ah, pasti sekarang wajahnya juga sudah memerah padam karena malu. Mengesalkan! Alby mengajak Nurin dan Clara ke sebuah kedai kopi yang berada di sebelah kanan sekolah Antares, tempat biasa dia, Galang, dan teman yang lain nongkrong sepulang sekolah atau saat jam kosong. K3 (Kedai Kopi Kenangan) nama yang bagus, kata sang pemilik kedai agar setiap pengunjung yang mampir mendapatkan sebuah kenangan manis, semanis kopi yang dia racik penuh cinta. Kedai kopi sederhana yang memiliki desain bergaya Skandinavia ini begitu memanjakan mata. Penggunaan material kayu sebagai hiasan untuk lantai dan furnitur, sementara pada bagian dinding menggunakan gaya modern dengan dinding bata asli adalah pilihan yang sangat pas, begitu menenangkan. Terdapat banyak jendela kaca yang menghadap jalan menciptaan ruangan yang bersih, sejuk, dan cerah. Membuat ruangan lebih terang dengan pencahayaan alami dan sirkulasi udara yang baik, mampu membuat setiap pengunjung betah berada di sana dalam waktu yang cukup lama. Menikmati minuman dan makanan ringan sambil mengobrol bersama teman atau bahkan ada yang sambil bekerja. "Gue baru tempe kalau kedai kopi K3 dalamnya sebagus ini!" decak kagum Clara. Dia akhirnya mendapat jawaban kenapa kedai kopi kenangan tidak pernah sepi pengunjung setiap harinya. Dari dulu dia ingin sekali mengunjungi tempat ini, tetapi saat tahu jika mayoritas pengunjungnya adalah para cowok berkelas, Clara mengurungkan niatnya. Nurin menganggukinya. Tidak hanya Clara, dia juga baru pertama kali mengunjungi tempat ini. Saat sama-sama sedang memesan menu yang ada di sana, Nurin dan Alby kompak mengatakan, "Caramel Macchiato." Lantas saling memandang satu sama lain--hanya beberapa saat saja, setelah itu Nurin lebih dulu memalingkan wajahnya karena tersipu, Alby hanya tertawa kecil melihat tingkahnya. Clara geleng-geleng kepala. Begini ternyata seorang Nurin ketika salah tingkah di hadapan cowok. "Hem ... aku Asian Dolce Latte aja deh!" Dia memesan minuman yang berbeda. "Mau makanannya sekalian?" tawar Alby sebelum mereka mengambil tempat duduk. Nurin menggeleng sungkan. "Nggak usah, Kak, tadi aku sudah sarapan kok." Kemudian terdiam seraya berpikir, Alby menanyakan perihal makanan, membuat gadis itu teringat sesuatu; "Kalau cowok ajak lo ke tempat makan, terus dia nanya lo mau pesan apa berarti dia yang akan membayarnya." Itu adalah ucapan Clara, ketika mereka makan bersama Genta--gebetan Clara yang tiba-tiba menghilang sejak tiga bulan yang lalu, profesi polisi. Mereka berbeda jarak usia empat tahun. Apa sekarang Alby juga akan membayar makanan untuk mereka? Astaga, Nurin tidak mau hutang budi, tidak enak. Bagaimana cara membalasnya nanti, dengan mengajak Alby makan bersamanya, begitu? Oh tidak, membayangkannya saja terasa sulit. Pandangan Alby beralih pada Clara. "Lo mau sekalian sama makanannya juga?" "Enggak, Kak, tadi juga udah sarapan." Alby mengangguk, dia mempersilakan Nurin dan Clara lebih dulu menuju meja yang akan mereka tempati nanti, sementara dia memberikan kertas pesanan dan beberapa lembar uang lima puluhan kepada pemilik kedai bernama Mas Ilham. Mereka berteman dekat, karena Alby adalah pelanggan setia. Bahkan tak jarang Alby juga ikut membantu Ilham meracik kopi jika pengunjung sedang banyak. Pagi ini sedang tidak ada pengunjung lain yang datang, kopi pesanan mereka bertiga selesai dibuat dalam waktu yang lumayan singkat. Ketiganya mengobrol ringan sambil menikmati kopi masing-masing. Ada banyak hal yang mereka obrolkan mengenai SMA Antares, dari prestasi yang telah di dapat, nama-nama serta karakter setiap guru, lingkungan yang selalu dijaga agar tetap sehat, dan beberapa hal positif lainnya. Satu hal lagi yang Nurin dapatkan hari ini dari sosok seorang Alby; Supel. Sudahlah tampan, supel, berprestasi ... tidak tertinggal senyum dan kumis tipisnya yang selalu kelihatan manis sekali. Bukankah dia idaman setiap cewek? **** Setelah kegiatan bazar amal, di mana semua anak mengumpulkan semampunya yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Berupa mie instan, telur, beras, teh, gula, serta bahan sembako lain--akan dibagikan oleh beberapa orang dari anggota OSIS dan MPK kepada masyarakat kecil yang membutuhkannya. Kini berlanjut pada kegiatan lomba cerdas cermat antar kelas. Memiliki dua orang perwakilan kelas, IPA maupun IPS gabung bersama menjadi satu dalam sebuah ruangan. Karena terlambat, guru kesiswaan serta teman-teman OSIS dan MPK sepakat menghukum Alby, Nurin, Clara, dan seorang siswi lain yang tadi ketahuan bersembunyi di kantin saat jam senam sehat berlangsung, untuk membersihkan musholla dan merapikan buku-buku yang ada di perpustakaan. Sejak dulu, SMA Antares menetapkan beberapa peraturan untuk memberikan rasa jera kepada siswa maupun siswi yang terlambat masuk berupa hukuman. Seperti membersihkan toilet, musholla, perpustakaan, aula tertutup, laboratoriun, ruang olahraga, ruang ganti pakaian, menyiram tanaman, maupun mencabut rumput liar. Bukan hanya sekedar hukuman, tetapi juga bermanfaat untuk kebersihan bersama. Clara bersama Ara--siswi kelas X IPS 3--membersihkan musholla, sementara Alby bersama Nurin membersihkan dan merapikan buku-buku yang ada di perpustakaan. Sesampainya di perpustakaan, Alby dan Nurin berbagi tugas agar pekerjaan mereka cepat terselesaikan. Alby membersihkan bagian kiri, sedangkan Nurin pada bagian kanannya. Keduanya sama-sama membawa kemoceng dan sapu. Nurin mulai membersihkan buku dari rak paling belakang bagian ujung, mengangkat debu yang ada pada setiap sela-sela rak, kemudian memperbaiki susunan buku yang nampak tidak beraturan, buku yang kecil dan besar diletakkan menjadi satu tanpa melihat tinggi rendahnya buku hingga terlihat berantakan, tidak tersusun dengan baik dan benar. Dia pikir awalnya membersihkan perpustakaan adalah hal yang mudah, tetapi nyatanya melelahkan juga. Belum lagi ketika mengetahui perpustakaan yang dimiliki SMA Antares lebih besar dua kali lipat dari yang ada di SMPnya. Terdapat banyak rak di bagian kanan, kira-kira dua belas. Itu pun jika dia tak salah hitung. "Istirahat dulu," ujar Alby yang tiba-tiba mendatangi Nurin. "Nih buat lo, minum dulu!" Dia membawa dua botol minuman, memberikan satu botolnya kepada Nurin. Lalu menepuk kursi agar cewek yang nampak canggung itu duduk di sebelah kanannya. Alby paham betul jika Nurin masih sedikit malu-malu kepadanya. "Makasih, Kak, aku minum." Nurin membuka tutup botol minuman itu, lalu menegaknya hingga seperempat bagian. "Haaah ... melelahkan juga ternyata, ya, Kak?" tanyanya yang langsung menolehkan kepala. Alby mengangguk. "Iya, gak nyangka bakal lumayan menguras tenaga. Sebelumnya gue cuman pernah dihukum menyiram tanaman dan bersihin ruang ganti pakaian gak serepot ini," katanya sambil tertawa kecil. Alby tertawa lagi, sepertinya hari ini Nurin melihat banyak keceriaan dari wajah tampan cowok itu. Lebih baik daripada menunjukkan wajah datar dengan tatapan sinis dan tajam miliknya. Sebenarnya yang begitu menguras tenaga bukanlah soal bersih-besihnya melainkan pada saat pengelompokan buku berdasarkan sistem Dewey Decimal Classification atau dengan kata lain sistem Desimal Dewey. Memusingakan sekali! "Anak-anak kalau habis pinjam buku gak di taruh lagi ke tempat asalnya, yang bener sesuai pengelompokan." Nurin menghembuskan napasnya. Alby hanya tersenyum tipis sambil mengangguk, membenarkan. "Di bagian kanan ada berapa rak buku yang lo bersihin?" "Dua belas kalau gak salah." "Mending, gue lima belas." Dia mengangkat bahu. Nurin melebarkan matanya. "Seriusan? Dan semua rak itu bukunya gak tersusunan rapih?" "Ya enggak, hanya ada tiga rak yang berantakan." Helaan napas terdengar. Nurin pikir semua rak, sebab mimik wajah Alby kelihatan begitu serius, sulit terbaca olehnya. "Aish! Tiga rak juga banyak, aku yang satu setengah rak aja pusing banget." "Belum selesai semua, masih ada setengah rak lagi yang belum beres." "Nanti aku bantuin, Kak." Nurin tersenyum, pandangan mereka kembali bertemu. Saling menatap satu sama lain. Nurin terfokus pada iris hitam pekat itu, sementara Alby terfokus pada bulu mata tebal dan lentik. "Ahhh!" desah Nurin dalam hati ketika tersadar, lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Sudah jam makan siang, mungkin anak-anak lagi kumpul buat makan siang bersama," kata Alby setelah melirik ke arah jam tangan tangannya. "Kita belum selesai di sini, berarti gak boleh gabung?" Alby menggeleng, entah artinya tidak boleh bergabung atau memang tidak tahu. "Makan bareng gue aja di sini, mau?" tawar Alby membuat Nurin tersedak air liurnya sendiri. Makan bersama? Berdua saja? Oh God, mimpi apa semalam Nurin? "B-boleh, Kak." Nurin mengangguk meski nampak sedikit ragu. Kemudian keduanya sama-sama mengeluarkan wadah bekal masing-masing, meletakkan ke atas meja dengan duduk saling berhadapan. Apakah ini yang dinamakan makan bersama secara romantis? Aish! Berhentilah memikirkan hal konyol yang sama sekali gak berfaedah seperti ini, Irin! Nurin cepat-cepat menyadarkan dirinya dari kehaluan yang terpendam selama ini. "Lo bawa bekal apa?" tanya Alby kembali membuka suara. "Masakan rumah sederhana aja, Kak, bakwan jagung, ayam goreng, sayurnya ada tumis tempe sama buncis." "Masak sendiri?" Nurin mengangguk sambil tersenyum. "Iya, kebetulan aku senang masak." Alby ikut tersenyum. "Hebat." Satu kata yang mampu membuat d**a Nurin berdebar. Kenapa senang banget berdebar kencang gini sih, d**a? Padahal cuman dipuji hebat doang! "Hehehe. Makasih, Kak. Hem ... kalau Kak Alby bawa bekal apa?" "Ayam goreng mentega, sama sapo tahu udang dan enoki." Alby memperlihatkan bekalnya. "Bukan gue yang masak, tapi nyokap." Dia tertawa kecil. "Gue gak hebat masak," jujurnya. Nurin hanya mengangguk sambil ikut tertawa. Mereka memulai makan dengan tenang tanpa saling mengobrol lagi, menciptakan keheningan. "Kak Alby mau bakwan jagung?" Alby mengangguk. Nurin membagi bakwan jagungnya. "Aku malu sebenarnya makan bareng gini, soalnya makan aku banyak." Sambil mengembungkan kedua pipi, matanya melebar. Terlihat begitu menggemaskan. Alby tertawa lagi. "Santai aja kalau sama gue. Lagian gue lebih senang liat cewek kayak lo--pasti kalau makan selalu habis, gak mubazir jadinya." Nurin menganggukinya dengan pipi sedikit merona. "Oh iya, sekalian nyicip sayur yang lo masak dong, kayaknya enak banget. Tukeran deh, lo juga boleh nyicip masakan nyokap gue, dijamin enak dan bikin ketagihan." Nurin membagi tumis tempe dan buncisnya, begitupun dengan Alby yang membagi sapo tahu udang dan enoki miliknya. Sesendok tumisan tempe dan buncis ditambah sedikit nasi putih masuk ke dalam mulut Alby, mengunyah sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Ini enak banget!" serunya dengan mata melebar. Senyum lebarnya juga tak tertinggal ketika cowok itu memuji masakan Nurin. Sangat pas di lidahnya. Setelah menyelesaikan makan siang, Nurin membantu Alby membereskan penyusunan buku yang sempat tertunda tadi. "Irin, diam sebentar!" Alby mengernyit, tangannya terangkat ke arah kepala Nurin. Gadis itu hanya diam mematung, bahkan hembusan napasnya terhenti beberapa saat. Apa Alby akan mengelus kepalanya? Nurin membatin dengan keadaan begitu gugup, hingga refleks menutup kedua mata. "Kok bisa ada nasi yang nyangkut di rambut lo?" tanya Alby setelah berhasil mengambil sebutir nasi yang tersangkut di antara helaian rambut Nurin. Mata yang tadinya tertutup, kini membelalak sempurna. Nurin sudah berpikir yang tidak-tidak jika Alby akan mengelus atau mengacak-acak rambutnya seperti di serial drama yang biasa dia tonton, namun nyatanya ...? Dasar nasi gak ada akhlak! **** Maaf telat update, tadi ada acara di rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD