Vanesha terkejut setibanya di Bali, mereka tidak langsung ke hotel tapi ke sebuah restoran mewah dan bertemu dengan klien penting di sana.
Awalnya ia sangat antusias ketika melihat destinasi kota yang akan mereka datangi. Di tiket pesawat tertera, Denpasar Bali. Itu artinya ia bisa bekerja sambil liburan.
Tapi impian tidak seindah kenyataan. Mereka tiba di Bali pukul 12 malam. Vanesha yang sepanjang perjalanan tidak bisa tidur, justru merasa letih karena ia harus berkendara menuju restoran tempat mereka akan mengadakan rapat bisnis.
“Kok, bapak tidak bilang ke saya kalau ada rapat penting?” Komentar Vanesha yang mengeluhkan pakaiannya yang tidak sesuai dengan situasinya saat ini.
Lian yang fokus menyetir hanya melirik sekilas ke arah sekretarisnya yang duduk cemberut di kursi penumpang.
“Bukankah itu seharusnya pekerjaanmu?mengingatkan jadwal rapatku, hah? Lalu kenapa harus aku yang mengingatkan dirimu...?”sahut Lian tanpa emosi.
“Ya... saya pikir, kan...!”
“Sudah, saya tidak mau ada alasan! Pokoknya kau tinggal duduk di sana, temani saya selama rapat. Kau tahu apa saja tugasmu, kan?”
Vanesha mengangguk.
“Bagus. Jangan lupa tersenyum. Klien kita satu ini sangat suka jika disambut ramah.”
“Apakah segini cukup?” Ia memamerkan senyumnya yang lebar, tapi Lian meresponnya dingin. “Seharusnya saya yang menyuruh bapak latihan tersenyum. Wajah bapak kayak gunung es yang ditabrak Titanic!” Seloroh Vanesha sambil membuang mukanya ke arah jendela mobil.
Tapi, bukan Lian namanya yang mudah terpengaruhi. Ia masih memasang wajah dingin. “Jangan mengajariku, Nes. Aku tahu bagaimana harus bersikap.”
“Iya, pak! Maaf!”
“Tidak perlu minta maaf, kau tidak salah!” Gumam Lian masih fokus menyetir. Vanesha hanya mencebik, ia tak mengira bos satunya ini benar-benar mirip gunung es yang membeku ribuan tahun. Kontras dengan sosok satunya, yang gemar tertawa, walau terkadang ia juga melihat sisi yang sama dari sosok Leon. Mereka berdua memang kembar sejati.
“Terserah bapak sajalah!” Sahut Vanesha enggan berkomentar lagi.
***
Sesuai perintah, Vanesha tersenyum ramah sepanjang rapat. Tak luput, ia mencatat semua poin penting rapat mereka.
“Jadi sesuai dengan kesepakatan kita, proyek ingin akan dibangun resort mewah di pantai Pandawa yang mulai diminati turis asing maupun lokal. Kamu juga berniat membangun beach club, yang akan menarik minat wisatawan mancanegara, karena setiap bulannya kami akan bekerja sama dengan para musisi terkenal dari dalam maupun luar negeri. Tentu saja proyek ingin akan sangat bagus prospek ke depannya.” Dengan bahasa inggris yang fasih, Lian mempresentasikan proyek yang mereka rencanakan ke depannya.
Proyek bernilai ratusan juta dollar bergantung pada investor yang terkenal di segala bidang bisnis. Investasinya dimana-mana, Vanesha akhirnya mengenal pria paruh baya yang menjadi tamu kehormatan mereka malam ini. Beliau adalah Mr Albert.
Mr Albert mengangguk-anggukan kepala tanda respon positif dari rencana proyek kerjasama mereka.
Seperti yang diperintahkan, selama bosnya mempresentasikan rencana mereka Vanesha memasang senyumnya yang paling memesona. Meski tidak memakai riasan, tapi wajah Vanesha memang cantik.
“Baiklah, Mr Lian. Saya sangat tertarik berbisnis dengan Anda. Dimana saya bisa tanda tangan?” Ujar Mr Albert tanpa keraguan sedikit pun.
Vanesha langsung mempersiapkan berkas untuk mereka tanda tangani. Ia dengan cekatan menghampiri Mr Albert untuk menunjukkan tempat dimana pria itu harus menandatangani berkasnya.
Mr Albert menandatangi berkas sesuai petunjuk Vanesha. “Sudah, pak. Terimakasih banyak atas kepercayaan bapak terhadap perusahaan kami.” Kata Vanesha dengan bahasa inggrisnya yang cukup lancar dan percaya diri.
Pria itu tersenyum ramah, benar seperti yang Lian katakan. Pria paruh baya ini sangat gemar tersenyum. “Wait, sepertinya saya mengenal wajah Anda.” Ujarnya ragu.
Vanesha membeku sekilas, lalu kembali tersenyum. “Wajah saya memang familiar, tuan. Orang-orang sering salah mengira kalau saya mirip artis hollywood terkenal. Padahal saya cuma sekretaris, tuan. Tapi kalau tuan tertarik mempromosikan saya menjadi artis saya sangat setuju. Walau penampilan saya seperti ini, saya juga jago akting, lho!” Ujar Vanesha melemparkan lelucon sambil menyeringai lebar.
Lelucon Vanesha ditanggapi tawa oleh Mr Albert dan asisten pribadinya. Vanesha berjalan kikuk ketika dua orang itu terus menertawainya.
Rapat mereka pun berakhir sukses. Sesuai kesepakatan mereka berhasil menanda-tangani perjanjian bisnis bernilai ratusan juta dollar itu. Lian tersenyum lebar ketika mereka saling berjabat tangan.
Selesai membicarakan bisnis, sesi rapat itu diakhiri dengan bincang-bincang ringan sambil menyantap hidangan makan malam.
Di tengah perbincangan mereka, terndengar suara ketukan pintu ruangan rapat VVIP. Seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah, masuk dengan aura dingin yang tak terbantahkan.
“Masuklah. Kami baru selesai menandatangani kesepakatan bisnis kami.” Ujar Mr Albert menyambut kedatangan Jonathan Alexander Bagaskoro, orang terkaya se-Asia yang kekayaannya tercatat dalam peringkat sepuluh besar majalah Forbes.
“Jadi bagaimana?” Tanya Jonathan pada rekan bisnis yang sudah ia kenal puluhan tahun. Suaranya tanpa emosi, pun wajahnya tanpa ekspresi.
Mr Albert tertawa gembira merespon pertanyaan tersebut. “Anakmu luar biasa. Ide bisnisnya cemerlang. Aku langsung setuju dengan proyek yang ia rencanakan.”
“Benarkah...? Anak manja itu tidak mungkin berhasil kalau tidak ada peranku di belakangnya.” Bukannya bangga mendengar orang lain membanggakan putranya, Jonathan justru meresponnya dingin. “Sejak dulu dia memang tidak pernah bisa dibanggakan. Nilainya selalu dibawah kakaknya Leon. Dia juga selalu gagal menjadi nomor satu.” Lanjutnya dengan bahasa Jepang yang sangat lancar dan tanpa cela.
Vanesha melirik bosnya yang duduk tegang di sebelahnya. Sesekali ia melihat Lian mengepalkan tangannya, manahan emosi ketika ayahnya sedang membicarakan keburukan dirinya di depan partner bisnis barunya.
“Kau seharusnya bangga, putramu berhasil mendapatkan ide bisnis yang luar biasa.”
“Tidak sampai proyek itu selesai dibangun!” Sergah Jonathan semakin dingin. Seketika tubuh Lian membeku, mendapati ketidak-yakinan ayahnya terhadap kemampuan dirinya.
“Aku pasti akan berhasil, akan kubuktikan itu!” Sahut Lian, yakin proyeknya akan berhasil. Ia akan buktikan pada ayahnya bahwa ia mampu. Ia bisa lebih dibanding kakaknya.
Ayahnya tersenyum miring, “lakukanlah semaumu. Pada akhirnya hanya Leon yang berhasil melakukannya.”
Vanesha mencium ketidak-harmonisan hubungan antara ayah-anak ini. Sebenarnya apa yang terjadi diantara mereka. Jonathan-Leon-Lian, ketiganya seperti terikat suatu benang persaingan yang diciptakan oleh pria arogan di depannya.
Jonathan, tidak seperti ayah pada umumnya. Dia dingin, dan lebih mementingkan bisnis dibandingkan emosi. Ya... apa bedanya dengan ayahnya, yang lebih mementingkan perasaannya dibandingkan putri kandungnya sendiri.
“Aku harus percaya padanya, kan? Karena uang jutaan dolarku ada padanya.” Mr Albert mengomentari dengan humor, tapi sesuai karakternya Jonathan hanya menanggapinya dingin.
Lian semakin membeku di sebelah Vanesha. Mendapat ketidakpercayaan dari ayahnya, membuat antusias Lian perlahan menurun. Ia tak sanggup melanjutkan makan malam mereka, walau perutnya sudah sangat keroncongan.
“Permisi, Tuan-tuan. Saya dan bos saya mohon undur diri, karena kami masih harus membahas bisnis kami selanjutnya.” Vanesha berinisiatif mengakhiri siksaan bosnya dari ayahnya yang terus menyerangnya secara psikis melalui serangan verbal.
Vanesha membuka pintu mobil, Lian mengikutinya dengan patuh. Ia termenung di kursi penumpang, Vanesha langsung tancap gas meninggalkan restoran mewah itu.
***