"Hah! Itu apa?" jeritku dalam hati.
Aku pernah mendengar tentang tanam benang di dunia kecantikan, tetapi apa yang sedang kusaksikan ini bukan jenis dari benang itu.
Terlebih lagi, mana ada tanam benang yang benangnya hidup.
Laki-laki itu makin dekat dan tubuh ini bergetar halus.
Keringat mulai bermunculan di dahi dan telapak tangan.
Benang itu tampak berwarna coklat tua, dan ia terus bergerak melingkar di d**a kanan laki-laki itu.
Laki-laki itu berdiri sejajar dengan perempuan berkulit pucat yang baru saja menamparku.
Dan tubuh ini makin terasa gemetar.
Benang coklat tua itu kini bergerak dan membentuk sudut-sudut.
Mata ini mengikuti setiap gerakan benang coklat itu yang nampaknya hidup di antara bawah kulit dan atas daging.
Beberapa saat setelah gerakan-gerakan benang coklat itu terjalin, terbentuklah satu wujud yang dapat dicerna oleh pikiran.
Gerakan benang itu akhirnya berhenti.
Ternyata, setelah sempurna, jalinan benang itu membentuk gambar sebuah bintang yang rumit.
“Hei! Kau tak perlu melihat pangeranku hingga air liurmu keluar!” teriak wanita berkulit pucat itu terdengar kencang.
Uh!
Aku kembali menarik napas dan mengembuskannya, setelah beberapa saat lupa bagaimana bernapas dengan baik.
Bintang yang terbuat dari benang hidup warna coklat itu kini warnanya memudar, berubah warna dan makin lama makin terang hingga menjadi putih keperakan.
“Aaa.”
Bintang itu kemudian bersinar dengan terang dan itu membuat kepalaku sakit.
Aku ingin memejamkan mata untuk menghindari sinarnya, tetapi kelopak mata ini tak mau menurut, bersikeras untuk tetap membuka dan bahkan melebarkan ukurannya.
“Dasar lancang!” umpat wanita itu dan merangsek untuk mendaratkan tamparan... lagi.
“Hei!” seru laki-laki itu sambil menahan tangan wanita berkulit pucat itu.
“Lihat! Sampai seperti itu wanita lancang ini melihatmu. Jadi, benar wanita ini berusaha mendapatkanmu. Aku gak percaya seleramu serendah itu. Lihat! Apa yang ia pakai! Baju seperti itu!” rajuk wanita itu manja.
“Amora, ini pertama kali aku melihat gadis ini,” ucap laki-laki itu dengan tenang.
“Aku nggak percaya! Aku nggak percaya!” teriak wanita itu berulang-ulang dengan nada merengek.
“Sebentar, Mora!” perintah laki-laki itu sambil mendekat ke arahku yang masih ternganga.
Aku segera menutup mulut menggunakan telapak tangan.
“Hei, Apa Kamu baik-baik saja?” ucap laki-laki itu lembut.
Aku tersadar ketika cahaya bintang itu pudar lalu padam.
Aku mengembuskan napas dalam.
“I-i-ya, Pe-pak,” sahutku tergagap.
“Kamu pucat sekali seperti habis melihat hantu, apa aku tampak seperti hantu?” lanjutnya berseloroh.
Satu senyum tersungging dan itu menjadikan wajah Dua ratus lima puluh pesen sempurna, tampan hakiki.
“Eh ... em ... dua meter?” celetukku sambil mengarahkan pandangan dari atas ke bawah.
Syukurlah, kesadaran sudah mulai normal, rasa sakit yang muncul di kepala berkurang. Demikian juga tubuh yang gemetar ini.
“Hahaha,” tawa laki-laki itu terdengar merdu, bahu bidangnya yang berguncang-guncang ketika tertawa tampak begitu menarik.
“Seratus delapan puluh sembilan koma sembilan sentimeter, lebih tepatnya,” lanjut laki-laki ini masih dengan tertawa kecil.
“Oh,” sahutku pendek.
“Jadi, karena belum pernah melihat orang setinggi aku, terkejutnya sampai mulutnya ternganga begitu?” ucapnya dengan ekspresi wajah geli.
Aku mengangguk.
Sejenak, aku mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan rasa malu.
Laki-laki tampan ini terus menatapku.
“Kamu akan terkejut jika melihat yang lain,” lanjutnya tanpa menjelaskan arti kata “yang lain” itu.
Laki-laki tampan itu menoleh ke arah anak buah Sinna yang tadi menjemputku.
“Kamu ...?” tanyanya pada laki-laki muda yang berdiri membeku.
“D-di-a datang bersama saya, P-pak,” sahut laki-laki muda yang sejak dari tadi berdiri mematung tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Oh, lihat Mora! Dia anggota tim mereka, Kamu salah paham,” ucap laki-laki itu tanpa menoleh pada wanita berkulit pucat itu.
Wanita ini hanya melengos menanggapi ucapan laki-laki itu dan tetap menampakkan wajah kesal yang tak berkurang sedikit pun seperti sejak pertama kali dia masuk ke ruangan ini.
Laki-laki itu kemudian tertegun dan melihatku dengan sedikit memicingkan mata.
“Kamu benar-benar baik-baik saja?” ucapnya khawatir.
Ia berjalan ke arah salah satu lemari indah dengan tinggi sekitar satu meter yang terletak tak jauh dari tempatku berdiri.
Laki-laki itu berjongkok dan membuka pintu lemari indah itu.
Kali ini, aku benar-benar mengalihkan pandangan mata.
Aku mengangguk menjawab pertanyaan itu dengan kata oh saja, lalu kembali melanjutkan meletakkan alat-alat makan sesuai yang diajarkan Sinna ... em ... apa disebutnya ... table manner, ya table manner.
Langkah kaki terdengar mendekat, kemudian satu tangan terlihat menyodorkan sesuatu.
Aku melirik dan melihat sebuah botol kecil berada di antara ibu jari dan telunjuk laki-laki ini.
Aku menengadah untuk melihat wajahnya dengan ekspresi bertanya.
Sementara, bintang itu kini menggelap kembali ke warna semula, lalu benda itu bergerak hingga wujudnya kembali menjadi benang.
Benang coklat tua itu kini bergerak ke belakang menuju punggung laki-laki ini.
“Obati pipimu!” jelasnya sambil tersenyum.
Mungkin para gadis bakal meleleh ketika melihat senyum semaut itu dalam jarak sedekat ini, termasuk aku.
Namun, apa yang ada dalam botol kecil kaca itu lebih menarik perhatianku.
Dari luar, cairan dalam botol itu terlihat seperti cairan berwarna kuning pada minyak-minyak untuk mengobati memar biasa.
Tapi, setelah beberapa detik minyak itu terlihat normal, mulai terlihat asap samar yang muncul dari dalam minyak itu.
Asap itu kian lama kian pekat, lalu membentuk wujud yang serupa dengan akar ginseng.
“Hah!” seruku tertahan.
Aku mendekatkan wajah ke arah botol yang masih dipegangnya.
Akar ginseng itu memiliki mata, hidung dan mulut seperti manusia, lalu wajah itu tersenyum menyeringai ke arahku.
“Wah!” seruku terkejut.
Sudah lama aku berkecimpung dengan berbagai cairan kimia, tetapi belum pernah kutemukan satu pun cairan kimia yang berisi benda hidup dengan emosi seperti emosi milik manusia seperti itu.
“Ya?” seru laki-laki itu dengan ekspresi bertanya.
“Em ... em ... enggak, Pak. Pipi saya sudah ... sudah sembuh kok?” kilahku menghindar.
“Kamu nggak mau?” ucapnya heran.
Ia memandang botol kecil itu yang kini isinya kembali menjadi cairan kuning biasa setelah wujud itu memudar dan menghilang.
“Em ... kayaknya bau ‘kan, Pak. Seperti minyak gosok gitu ‘kan? Takutnya nanti bakal mengganggu selera makan para tamu,” kilahku dengan lincah.
Laki-laki ini tersenyum sambil beranjak dari tempat ia berdiri.
“Minyak gosok yang ini beraroma lavender, entah bagaimana caranya, di hidung cantikmu itu, aromanya berubah menjadi bau minyak seperti minyak gosok pada umumnya,” ujarnya masih dengan cara yang memikat.
Laki-laki ini berjalan ke arah lemari indah tadi dan meletakkan botol kecil itu di atasnya.
“Jika masih sakit, Kamu tahu di mana mengambil obatnya,” lanjut laki-laki itu, lalu berjalan ke arah dari mana ia datang tadi.
“Kenapa Kamu mengistimewakannya?” teriak wanita berkulit pucat itu membahana.
Dan itu mengejutkan ku.
“Mengistimewakan?” tanyaku dalam hati, heran.
Mungkin begitulah kira-kira pandangan dari mata seorang wanita yang cemburu dengan membabi buta.
Tetapi, ngomong-ngomong apa yang sebenarnya terjadi?