“Hek!”
Perutku terasa diaduk-aduk.
Mata ini membelalak maksimal, sedang tubuh ini tegang dicekam kengerian.
Sebuah ekor reptil berwarna hijau yang ternyata keluar dari kursi pengemudi, menjulur-julur ke arahku.
Ekor yang terlihat licin menjijikan itu seperti menggapai-gapai sesuatu. Tapi, mendadak benda itu berhenti di dekat kaki-kaki ini, tegak.
Inilah sumber bau yang aku sejak duduk di dalam taksi ini terasa begitu menyengat.
“Sedang sakit ya, Kak?” ucap sopir taksi ketika sekilas sedikit menoleh.
"I-iya" Aku menyahut, lalu mengalihkan pandangan dari ekor yang masih berada di dekatku ke wajah sopir taksi itu.
“Hah!” seruku kencang.
Sopir taksi ini juga memilki penampilan ganda?
Napas ini tertahan.
Kenapa beberapa orang yang kulihat malam ini memiliki penampilan ganda? Kenapa mereka berubah menjadi wujud menjadi tak wajar?
“Mau turun di mana, Kak?” ucapnya sambil mempercepat laju kendaraan.
“Si-si-sini saja, Pak. Saya mual!” teriakku cepat.
Aku berharap, saat ini juga, kendaraan roda empat ini berhenti seketika.
Suara roda yang bergesekan dengan permukaan aspal hitam itu mengeluarkan suara berdecit. Taksi ini berhenti di pinggir jalan.
“Ini, Pak!” seruku singkat.
Aku mengulurkan uang tanpa melihat wajah itu, tetapi dalam sekilas pandang, dibalik wajahnya yang normal seperti pada umumnya, tampak satu wajah berkerut berwarna hijau yang mengerikan, mata manusianya tidak tampak lagi, berganti menjadi mata reptil dengan manik mata berwarna merah dan pupil tipis mengerucut.
Ihh! aku bergidik jijik.
Suara terima kasih terdengar dari pengemudi taksi itu, lalu kendaraan itu melaju dengan cepat meninggalkan suara deruman dan asap yang keluar dari knalpot.
“Hoek!”
Tak berganti detik, apa yang ada di dalam perut langsung keluar.
Walaupun hanya air yang dipaksa keluar dari lambung ini, tetapi itu diikuti dengan rasa tak nyaman dan sedikit sakit kepala.
Apa sih mereka itu?
Pertanyaan-pertanyaan berdesing-desing bagai peluru yang ditembakkan di dalam otak.
Suasana malam makin terasa dengan berkurangnya jumlah kendaraan yang makin berkurang.
Segera aku mencari halte bus yang ternyata tidak jauh dari tempat di mana aku diturunkan, lalu aku menaiki bus dan berharap semua isi bus, manusia seperti aku.
Pikiran ini jadi sedikit paranoid, khawatir dalam bus yang penumpangnya bisa dihitung dengan jari ini, ada salah satu atau malah semuanya seperti sopir taksi yang baru saja kulihat.
“Pfuh!”
Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan keras, tak peduli beberapa kepala menoleh ke arahku.
Syukurlah! Seluruh isi bus ini sepertinya manusia biasa sepertiku.
Aku tak percaya lagi kalau penglihatan ganda ini akibat dari tamparan, guncangan jiwa atau penyakit sembarangan bernama alergi orang kaya.
Ini memang sesuatu yang ada di sekitarku, dan entah bagaimana, tiba-tiba kota Shirm yang damai ini berisi orang-orang yang aneh.
“Hah!”
Tak sadar aku berteriak.
Dengan cepat, orang-orang yang ada di bus ini kembali menoleh ke arahku.
Tunggu!
Apa kota Shrim yang damai ini telah diserang oleh makhluk luar angkasa atau dunia setan telah bergabung dengan dunia manusia?
Ah!
Aku memukul-mukulkan jidat pada sandaran bangku yang ada di depanku.
“Hal-hal itu, hanya terjadi di film-film. Ayolah!” ujar sebagian dari diriku memerintahkan untuk tetap masuk akal. Tetapi, akal ini harus melawan apa yang baru saja terekam oleh mata.
Lima belas menit kemudian bus berhenti di halte yang tak jauh dari tempat tinggalku.
Dengan langkah yang sedikit terhuyung aku berjalan menuju sebuah bangunan ruko dengan tulisan Chocolate Bakery.
“Pfuh!” Kembali napas ini terhembus.
Dalam keadaan ini, mataku memandang anak tangga yang kini seolah terlihat bertambah banyak.
Dengan mengeluarkan suara keluhan yang panjang, kaki-kaki ini menapaki satu per satu anak tangga dengan rasa berat.
Toko di bawah sudah tutup, ya ini memang sudah mendekati tengah malam.
Semoga saja toko yang dikelola oleh teman-teman itu semua barangnya laku, masih sempat hal ini terpikir olehku.
Baru kali ini aku merasa tinggal di rooftop ruko yang kumiliki ini terasa begitu melelahkan, padahal ini tidak setinggi penthouse yang baru saja kutinggalkan. Namun, badan yang masih gemetar dan tubuh yang terasa lunglai ini membuat berjalan menaiki anak-anak tangga ini terasa payah dan melelahkan.
“Apa lantai ruko ini bertambah beberapa tingkat sejak kutinggalkan sore tadi?” seruku sambil memandang anak-anak tangga yang telah terlewati.
Ah! Sepertinya aku mulai tak masuk akal.
Bersyukur sekali, pintu rumah kecilku sudah di depan mata.
Dengan cepat tangan ini membuka daun pintu berwarna coklat itu, lalu segera menghambur ke kamar mandi.
Semoga debu dan bau dari ekor-ekor aneh tadi hanyut bersama air.
Beberapa saat kemudian, aku sudah terbaring di ranjang dan merasakan suhu tubuhku mulai naik.
Aku nggak tahu berapa lama aku terlelap.
“Untung pagi ini demamnya turun, kalau enggak langsung kubawa saja ke rumah sakit.”
Suara yang kukenal bak suara emak tiri yang mendadak turun dari angkasa ini masuk ke dalam gendang telinga dan memaksa mata untuk terbuka.
“Ha, sadar ‘kan, syukurlah,” seru sahabat baikku.
Ia langsung duduk di sampingku.
“Selamat pagi, Nona! Sepertinya tidur Anda nyenyak sekali,” seloroh Sinna sambil tersenyum lebar.
Aku melirik, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
“Di mana anakmu itu ya?” tebaknya tepat membaca pikiranku, aku sedikit mengangguk.
“Apa menurutmu akan kubiarkan si kecil yang baru keluar dari rumah sakit itu terkena radiasi demammu?” serunya sambil menyentuh leherku dengan punggung telapak tangan.
“De-mam?” ucapku lirih.
Sinna mengangguk tanpa ragu.
“Sejak kapan demam memiliki radiasi?” komentarku lelah.
Ingatan ini baru terputar lagi dan aku ingat sebelum tidur memang terasa panas.
“Sejak tiga hari lalu kamu terbaring dan demam tinggi?” sahutnya datar.
“Ti-”
Ucapanku terputus.
“Ti-ga-ha-ri,” sahut Sinna sambil mengacungkan ketiga jari tangan tepat di depan wajahku.
Huh!
Jari-jari yang hanya berjarak sekitar tiga sentimeter itu menutup pandangan mata ini.
“Aku sudah terkejut, jangan ditambah dengan gangguan penglihatan,” ujarku dengan nada datar.
Dengan cepat, Sinna menarik jari-jarinya sambil terkekeh.
“Apa si kecil sudah sembuh?” tanyaku dengan berharap jawabannya adalah jawaban positif.
Sinna mengangguk sambil menggeser sebuah wadah plastik yang berisi air es yang tampak mulai mencair.
“Syukurlah, sudah keluar dua hari yang lalu, sekarang sedang di toko bawah bersama bapaknya, mungkin sedang mengobrak-abrik toko bakery-mu itu,” jelasnya sambil hendak beranjak.
“Eh, tapi benar itu yang ingin Kamu tanyakan?” lanjut Sinna sambil mengurungkan gerakan tubuh dan kembali duduk di sampingku.
Aku terdiam dan berpikir merenungkan pertanyaan perempuan yang sedang menatap lekat ini. Pikiran ini berusaha keras mengingat-ingat apa yang seharusnya kutanyakan sekarang.
“Eng ...,” gumanku bingung.
Sinna sibuk melihat-lihat apa yang ada di mataku dengan mencondongkan wajahnya hingga hanya berjarak tiga puluh sentimeter dari pandangan mata ini.
Manik mata coklat tua Sinna tampak bergerak ke kanan dan ke kiri.
“Apa yang kira-kira harus Kamu ketahui setelah terbangun dari tidur selama tiga hari?” pancingnya dengan ekspresi wajah telah mengetahui pertanyaan yang harusnya terlontar dari mulutku.
“Hah!"
"Pekerjaan!” seruku panik setelah sejenak nge-blank tidak menemukan pertanyaan itu.
“Pekerjaan!”