SHOWROOM

1023 Words
Semakin hari aku semakin dekat dengan Angga. Aku merasa bukan hanya merawat dia tapi aku juga menjaga dia. Berdekatan dengannya membuatku merasa terus deg-degan setiap saat. Apakah aku mencintainya ? Kurasa tidak. Eh mungkin belum. Aku tidak bisa memungkiri jika aku tidak menyukainya. Karena kenyataannya aku suka sesuatu yang ada pada diri Angga. Aku jahatkah jika terus berharap jika Angga tetap buta seperti ini ? Aku sungguh tidak ingin dia melihat agar aku bisa tetap selalu bersama Angga. "Kay .... " Suara Angga memanggil dari balik pintu. "Iya Angga." Jawabku setelah membuka pintu kamarku. "Kamu sibukkah ?" Tanya Angga. "Enggak Angga aku cuma lagi nulis novel aja. " "Nulis ?" "Oh maksudku membaca novel Angga." Hampir saja aku keceplosan. Aku hanya tidak ingin terlalu jujur pada Angga tentang diriku sepenuhnya, aku takut jika dia akan curiga padaku jika aku terlalu banyak memiliki banyak kegiatan. "Kamu suka novel ?" "Lumayan Angga, oiya kenapa kamu manggil aku Angga ? Ada perlu bantuan ? " "Bisa kamu temani aku ke kantor ? Kebetulan aku sudah lama tidak mengecek laporan keuangan dan aku tidak mengecek kondisi showroom." "Oh bisa. Aku siap-siap dulu ya ?" "Iya." Aku bersiap untuk berganti baju. Aku berdandan secantik yang aku bisa meskipun Angga tidak bisa melihatku setidaknya aku tidak ingin jika terlihat buruk dimata karyawan Angga. Bruk ..... Aku menghentikan aktifitas merias diri ketika aku mendengar suara yang begitu kerasa yang kurasa itu berasal dari arah kamar Angga. Aku segera keluar dan membuka pintu kamar Angga. Aku menutup mataku ketika melihat Angga terduduk di lantai hanya mengenakan pakaian dalam. Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar Angga. "Angga maaf aku .... " Aku bahkan tidak bisa melanjutkan kata-kataku karena aku terlalu kaget untuk hal ini. "Kay maaf, aku masih belum bisa menghafal seluruh isi rumahku, bahkan letak kamarku dan barang apa saja yang disini aku belum hafal dan aku tidak tau jika aku menabrak sesuatu. Bisa kamu membantuku ? Biasanya pak Muh yang membantu, tapi tadi dia ijin pergi mengantar mbok Nah kepasar. " Kata Angga. Aku menarika nafas panjang. Seharusnya aku tak secanggung ini. Bukankah aku ini adalah seorang dokter ? Aku juga dibayar mahal untuk merawat Angga disini. Seharusnya untuk hal seperti ini aku tidak boleh canggung. Harusnya aku berani, toh Angga juga tidak melihatku. Aku mulai membuka mataku dan berjalan melangkah mendekati Angga yang masih tergeletak di lantai. Aku menyentuhnya tanpa busana, ini pengalamanku yang pertama. Aku mengangkat dia pelan untuk membawa dia duduk di ranjang, tapi apa yang terjadi justru karena saking kecilnya aku, aku malah terjatuh bersama dengan Angga di ranjang Angga. Aku menjatuhi tubuh Angga. Angga memeluk tubuhku membuatku sangat dekat dengan Angga. Aku bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup menembus gendang telingaku. Tangan Angga bergerak naik meraba pinggangku membuatku menggeliat menyadari kesalahanku, dann ..... Aku juga merasakan sesuatu yang bergerak diantara pangkal paha Angga menjadi menonjol tepat mengenai perutku. Astaga. Aku langsung berdiri dan sedikit menjauh dari Angga. Nafasku tersenggal-senggal. Ini adalah pengalaman pertamaku. Aku tidak pernah bersentuhan dengan seorang pria hingga sejauh ini. Aku segera mengambilkan pakaian Angga lalu membantunya memakai baju lalu berpamitan keluar dengan alasan mempersiapkan keperluan lainnya. Aku kembali ke kamarku. Aku kembali mengatur nafas dan jantungku yang masih berpacu tak beraturan. Aku pernah dulu saat masih sekolah menengah pertama dekat dengan seorang pria. Dia juga teman sekolahku, kami berdua sangat dekat. Selalu berangkat sekolah dan pulang sekolah bersama, kupikir dia menyukaiku karena perhatian yang selalu dia berikan padaku, tapi ternyata dugaanku salah. Dia mendekatiku karena ingin mendapatkan hati Kayla. Sejak saat itu aku merasa patah hati yang begitu luar biasa, untuk itulah aku tidak pernah lagi dekat dengan pria bahkan membuka hati untuk pria. Aku takut sakit hati lagi. Percayalah sakit hati sebelun memiki itu rasanya begitu menusuk hati. Bahkan susah untuk dilupakan rasa sakitnya. Kami berdua berangkat saat pak Muh sudah sudah pulang dari mengantar istrinya. Aku merasa sedikit canggung pada Angga, aku masih mengingat bagaimana tadi Angga meraba pinggulku dan aku merasakan pangkal pahanya yang mengeras mengenai perutku. Rasanya kembali membuatku merinding. Aku melirik sekilas pada Angga. Dia nampak tenang seolah tidak ada apa-apa diantara kita. Apakah karena dia buta atau memang jika sudah menjadi tabiat jika pria akan biasa saja dengan hal seperti itu, atau mungkin justru dia pernah .... "Kay ..." Panggilan Angga membuyarkan segala fikiran negatifku tentang Angga. "Iya Angga?" "Belajar mengemudi ya ? Besok biar diajari pak Muh." Kata Angga. "Oh tidak Angga, aku belum siap." "Setidaknya kita tidak perlu menunggu jika pak Muh ada keperluan lain." "Tapi Angga ...." "Kalau menungguku mengajarimu, aku tidak tau kapan, karena aku belum tau kapan aku bisa melihat kembali." "Baik Angga." Kami sampai di showroom milik Angga di daerah Solo Baru. Showroom bernuansa merah itu banyak sekali terpampang mobil-mobil mewah. Para karyawan begitu antusias menyambut kedatangan Angga. Aku menuntun Angga menuruni mobil untuk masuk ke dalam showroom. "Selamat siang pak Angga." Sapa beberapa karyawan yang mendatangi kami. Mereka masih tetap menunduk meskipun Angga tidak bisa melihat mereka. "Siska .. " Panggil Angga. "Iya pak Angga." Jawab perempuan yang bernama siska. Dia mendekat ke arah kami. Aku merasa seperti pernah melihat perempuan itu, tapi dimana aku lupa. "Siska bawa laporan dua bulan terakhir ke ruangan saya." Perintah Angga. Angga memberikan isyarat untuk melanjutkan perjalanan. Dia juga menunjukkan jalan menuju ruangan kerjanya. Sombong sekali Angga, dia bahkan tidak menyapa karyawan yang tadi menyapa dirinya. "Kay ?" Panggil Angga begitu kita sampai di ruangan kerja Angga. Ruangan kerja milik Angga sungguh besar, bahkan lebih besar dari rumahku sendiri. "Iya ANgga?" Jawabku mendekat. "Apakah mereka semua tadi menunduk kepadaku saat memberikan aku salam ?" Tanya Angga. "Emmmm iya Angga, mereka semua menunduk di hadapan kamu." Jawabku. "Bagus. Berarti mereka masih hormat padaku meskipun aku tidak bisa melihat." Kata Angga dengan nada sedikit sombong. "Angga maaf." "Iya Kay ?" "Tapi kenapa kamu diam saja ketika mereka menyapa kamu? Bukankah seharusnya kamu juga membalas sapaan mereka ?" "Hahahahhaa ...... " Angga tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaanku, dan itu membuatku bingung. "Mereka sudah sepantasnya begitu, karena aku atasan disini. Mereka bekerja padaku, jadi mereka harus hormat padaku. Aku membayar mereka dengan bayaran tinggi, justru aku akan memecat mereka jika mereka tidak tunduk dan hormat padaku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD