Empat hari Alta sudah banyak melukai orang, ada peserta laki-laki maupun perempuan. Ia seperti seorang pembunuh handal yang berbakat, padahal sang ayah melarang melakukan kekerasan pada siapapun. Tapi ia tak bisa menolak.
“Aku tak ingin melakukan pembunuhan lagi,” ujar Alta setelah lama terdiam.
“Kenapa?” tanya Mahen seperti reaksinya tadi.
“Aku merasa seperti seorang pembunuh berantai,” kata Alta.
“Tapi, jika kau tak membunuh kau akan dibunuh, Alta,”
“Kau mau membunuhku? Jika iya lakukan saja saat ini,” mendengar ucapan dari Alta itu Mahen hanya menggelengkan kepalanya.
Mahen tak tahu harus bereaksi apa, sebenarnya ia juga sudah lelah dengan permainan mengerikan yang bertema ujian sekolah ini.
Setelah berdiam lama, akhirnya keduanya memutuskan untuk menjalani ujian itu bersama. Dengan rute peta yang sama. Hal itu tak melanggar aturan ujian karena akhirnya hanya akan dipilih satu peserta saja yang lulus dan mendaptak pemenangnya. Dialah pemilik lencana naga.
Mahen dan Alta berjalan bersama menuju area lain dari arena ujian itu, dari hologram tanda pengenalnya Alta mematikan peta dan mengkonfirmasi mengikuti arahan peta Mahen, dengan begitu panitia tahu bahwa mereka bergabung menjadi satu tim. Hal itu tak melanggar aturan ujian, mereka bekerjasama untuk melaju ketahap selanjutnya meskipun nanti akhirnya hanya akan satu yang mendapatkan lencana naga untuk sang pemenang.
Alta yang terbiasa berbicara seolah tanpa beban terus mengajak Mahen menceritakan apapun, sedangkan Mahen berusaha menanggapi dan merasakan bahwa Alta begitu tulus padanya. Sejak kecil Mahen tak pernah merasa mendapatkan teman, selain di pilihkan keluarganya, teman-teman di sekolahnya juga tak membuatnya merasa nyaman.
Mereka hanya kumpulan siswa dan anak-anak dari orang kaya dari Lidor, mereka selalu membahas tentang kekayaan dan harta keluarganya, ia tak suka membahas itu. Maka dari itu Mahen sejak dulu selalu menyendiri, pergi ke kelas seni untuk menyibukkan diri dengan menggambar.
Di sana ia bertemu dengan kakak kelasnya bernama Erick Sodim, anak dari Lion Sodim keluarga seorang pelukis. Erick begitu baik dan ramah padanya, sayangnya setelah ujian mematikan yang diikuti Erick tak pernah kembali lagi. Padahal Erick yang mengajarinya tekhnik melukis dan apa itu menggambar.
Meskipun keluarga Sodim adalah keluarga tersohor, tapi tak memiliki pengaruh seperti keluarga Dailos, maka dari itu mereka tak memiliki hak istimewa untuk tidak mengikuti ujian mematikan itu. Bahkan adik Erick Sodim, yakni Teresa Sodim saat ini juga mengikuti ujian mematikan itu tapi tidak satu arena dengan kelompok ujian Mahen.
Saat waktu sudah mulai siang, seorang peserta laki-laki bernama Mahen, tengah berjalan santai mengikuti rute yang diberitahukan peta padanya.trubuhnya sangat lerlah, dengan lengan tangan kanan yang diperban akibat luka dari goresan ujung anak panah peserta lain.
Untung saja ia bisa menghindar, ia memang tak ingin mencari urusan dengan peserta yang menggunakan anak panah karena bertemu dengan peserta-peserta itu ia akan merasa sangat di rugikan.
Mereka bisa menyerang dari jarang sangat jauh bahkan di balik pohon dan juga menyerang dari dengan dengan perubahan busur. Sedangkan ia yang menggunakan sabit cukup kesulitan, senjatanya hanya akan bekerja jika ia bertarung jarak dekat.
Mahen tak merasa pengecut saat lari dari lawannya, hanya ia belum siap melakukan pertarungan lagi, apalagi saat malam hari ia tak bisa tidur, tempat yang seharusnya nyaman untuknya beristirahat malam dipenuhi ular kobra, ia tak bisa tidur dan malam bergelut dengan ular berbisa itu.
Kini Mahen berhenti sejenak untuk menarik napas beratnya, bersandar dibawah batang pohon, ia harus tetap terjaga agar tak tertidur, akan membahayakan jika ia tertidur saat dalam keadaan seperti ini, itu sama saja membiarkan musuhnya membunuhnya dengan mudah.
Tak berapa lama saat ia bersandar, ia mendnegar sebuah suara langkah kaki dari arah samping kirinya. Mahen terjaga dengan memegang senjatanya erat. Bersembunyi? Sepertinya tak akan semudah itu, karena pepohonan didekatnya memiliki batang yang kecil.
Langkah kaki itu semkain mendekat dan terus mendekat kearah Mahen. Mahen bersiap untuk serangan selanjutnya, tapi ia berharap peserta itu bukan lawan yang membawa senjata panah. Semisal pedang atau yang lainnya masih bisa ia hadapi.
Dari balik pohon, seorang peserta seusianya dengannya muncul. Pemuda yang membawa senjata kapak lebar dengan gagang tombak. Entah kenapa dalam keadaan seperti itu Mahen malah bernapas lega, padahal itu musuh yang jelas.
Memang peserta itu tak menggunakan panah, tapi kapak lebar juga senjata yang cukup kuat jika bertarung dari jarak dekat, dari jarak jauh bahkan bisa melayang dalam radius beberapa meter.
Mahen berjaga sambil memasang kuda-kudangnya, jika ia tak siap dalam penyerangan ini, mungkin saja ia bisa terjatuh secepat mungkin, tapi peserta itu juga tak melakukan apapun, hanya terdiam sambil menatap Mahen.
Mahen tak ingin menyerang lebih dulu jika peserta itu tak bereaksi apapun. Dilihat dari segi fisik kemungkinan tubuh peserta itu dan Mahen mirip.
“Aku lelah, kalau kau ingin menyerang silahkan,” ujar peserta itu menurukan senjatanya.
Mendengar ucapan peserta itu Mahen malah bingung sendiri, bagaimana mungkin ada peserta yang menyerah begitu saja. Padahal kalau dilihat dari segi apapun tak ada terlihat bahwa tubuh peserta itu mengalami luka, hanya beberapa bercak darah saja yang mempel di lengan dan dekat lehernya.
Mahen tak melakukan reaksi apapun, tapi ia menurukan senjatanya mengikuti apa yang di lakukan peserta itu dan dari manapun sepertinya peserta itu tak akan membohonginya.
Setelah melihat Mahen menurukan senjatanya, peserta itu mendekati Mahen perlahan dan duduk di dekat batang pohon yang tadi diduduki Mahen.
“Kenapa?” Begitu tanya Mahen saat ia ikuti duduk menghadap peserta itu.
“Pagi ini aku sudah bertarung dengan dua peserta, satu berhasil aku bunuh dan satunya kabur setelah berhasil membuatku tak sadar,” ujar peserta itu, “Oh iya, aku Alta dari Provinsi ke-20 kota Tios.”
Mendengar perkenalan singkat dari peserta bernama Alta itu Mahen belum bereaksi, tapi Alta terlihat begitru baik meskipun ia baru saja mengatkan telah melawan dua peserta dalam pagi ini.
“Aku Mahen, Mahen Dailos provinsi ke-19 kota Lidor,” kata Mahen memperkenal dirinya.
Provinsi ke-19 dan ke-20 adalah dua provinsi dalam satu pulau diluar negara Linkton, dan satu-satunya pulau terbesar berpenghuni. Keduanya adalah pulau paling makmur dengan masing-masing lima kota tanpa memiliki distrik, kedua provinsi itu hanya dihubungkan oleh jalan-jalan, dan tak ada warga desa.
“Keluarga Dailos, dokter paling terkenal hampir diseluruh Linkton?” tanya Alta antusias ketika mendengar bahwa Mahen adalah keluarga Dailos yang tak lain anak Martin Dailos.
Mendengar pertanyaan Alta, Mahen mengangguk. Semua orang mengenal siapa itu keluarga Dailos, keluarga kaya raya yang terkenal karena memiliki garis keturunan seorang dokter hebat. Buyut, kakek, ayah serta kedua kakak lelaki Mahen adalah seorang dokter dan salah satu anggota menteri kesehatan.