04

1060 Words
"Gedung dua, lantai tiga, ruangan B," gumam Andreas. Kemudian Andreas menghembuskan napasnya setelah menaiki tiga lantai dengan anak tangga, gedung itu tak memiliki tangga atau pintu berjalan. Karena itulah Andreas belum menarik pintu ruangan itu. "Semangat Andreas," ujar Andreas bermonolog sambil menyemangati dirinya. Hampir saja Andreas menarik gagang pintu, saat lebih dulu pintu itu terbuka, Andreas terdiam sedikit mematung melihat seorang laki-laki tinggi besar dengan pakaian pemerintahan. "Nama?" tanya laki-laki itu. "Hah," ucap Andreas tergagap. "Oh, Peter Andreas." Kemudian laki-laki itu men-scane nomor di pergelangan tangan Andreas. "Siswa Briana High School, juara umum tiga tahun berturut-turut," gumam laki-laki itu, hampir tak terdengar Andreas. "Nomor tiga dari depan, baris keempat dari samping kanan." Setelah si laki-laki mengatakan itu, Andreas menarik tas dan kopernya ketempat yang sudah di katakan tadi.  Tak lama Andreas menghentikan kopernya lagi, saat sadar itu adalah aula yang cukup besar dengan lebih dari 30 anak-anak seusianya. Andreas menuju tempat yang sudah di susun untuknya, berderetan dengan orang-orang yang beberapa berbeda seragam. "Permisi," ucap Andreas meminta jalan agar ia bisa melewatkan koper dan tasnya. Lalu menaruhnya di samping tempat duduknya. Setelahnya masih ada beberapa anak yang datang bersusulan. Andreas memperhatikan aula itu, di depan anak-anak yang duduk ada sebuah panggung dengan podium dan beberapa bangku yang berderet rapi. Tempat itu dibuat khusus untuk panitia dan orang-orang yang akan menyelenggarakan ujian kelulusan itu. Dan tak berapa lama orang-orang yang di maksud mulai datang. Ada delapan orang yang dua diantaranya sangat Andreas kenal, yakni kepala sekolah dan guru yang menjaganya selama di sekolah. Dua dari mereka mereka menggunakan pakaian pemerintah seperti penjaga pintu tadi, sedangkan keempatnya menggunakan seragam sekolah lain. Satu dari orang yang menggunakan seragam pemerintahan berjalan kedepan kemudian berdiri di belakang podium, wajahnya tegas dan menyeramkan dengan kumis tipis serta jenggot jarang di dagunya. "Selamat pagi semua calon peserta ujian tahun ini!" ucapnya menggema efek dari pengeras suara yang terpasang banyak di ruangan itu. "Kalian adalah 70 orang terpilih dan terbaik yang akan mengikuti ujian ini, jangan pikirkan resiko yang akan kalian rasakan saat ujian, tapi pikirkan hasilnya jika kalian lulus!" Mendengar ucapan laki-laki itu, banyak anak yang hanya bisa meneguk air liurnya, tak terkecuali Andreas, karena ia tahu resiko terburuk dari ujian ini adalah mati. "Sebelum pengumpulan data kalian, bagi siapa saja yang tak ingin ikut ujian silahkan mengundurkan diri dengan mengangkat tangan," sambungnya. Tak pelak para siswa mulai saling menatap satu sama lain, memeriksa jika ada yang mengundurkan diri dari ujian itu. Beberapa detik kemudian, ada beberapa anak yang mengangkat tangannya, salah satunya anak nomor 25 yang duduk tepat disamping Andreas. Anak-anak yang mengundurkan diri di suruh berdiri dari tempat duduknya dan mengambil tempat lain berbeda dari tempat peserta ujian. Andreas memperhatikan sekitar sepuluh yang berdiri disebelah kiri, ada beberapa yang menggunakan seragam sekolahnya dan yang lain tak ia kenal. "Jika ada yang mengundurkan diri lagi silahkan berdiri di barisan mereka." Setelah itu tak ada lagi anak-anak lain yang meninggalkan tempatnya. "Tersisa 60 siswa yang siap mengikuti ujian. Selama dua minggu kalian akan di karantina untuk pembekalan bertahan hidup. Nanti akan ada instruktur yang membantu kalian, juga memisahkan kalian secara berkelompok." Kemudian laki-laki itu banyak membahas tentang ujian, hal-hal yang boleh dan tidak dilakukan selama karantina dan ujian berlangsung. Setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki itu selalu menimbulkan ketakutan berlebih bagi para siswa, air liur serasa habis mereka teguk saat rasanya tembok di belakang mereka menampilkan gambaran ujian yang akan datang. Satu jam kemudian acara pembukaan karantina dan ujian selesai, laki-laki itu berpindah tempat, para siswa di minta mengumpulkan data pada panitia ujian yang ada. Andreas mengumpulkan datanya saat matanya tertuju pada kepala sekolahnya, perempuan tua yang begitu ramah. "Andreas," panggil Marta, kepala sekolah Briana High School. "Iya, Bu," jawab Andreas pelan. "Berjanjilah pada Ibu, kamu harus lulus dari ujian ini, karena kamu siswa kebanggan Briana," pesan Marta pada Andreas. Andreas hanya bisa mengangguk, lalu mengulas senyum dan meninggalkan Marta serta gurunya. Kemudian Andreas bergabung pada anak-anak lain meskipun sedikit menepi. Andreas dan lainnya menunggu pembagian kamar dan ruangan mereka. "Hai," sapa seseorang dengan suara ringannya. Andreas mengangkat wajahnya. Mendapati seorang siswa seusianya. Andreas belum bergeming untuk menjawab, hingga datang seorang gadis lagi. "Luis, kau meninggalkanku lagi," ujar gadis itu. "Lisa, aku sudah memanggilmu tadi, kau saja yang tak mendengar," kata siswa yang di panggil Luis tadi. "Aku hampir lupa, aku Luis dan ini sahabatku Alisa." Luis mengulurkan tangannya pada Andreas, Andreas menyambut dengan baik. "Peter Andreas, kalian bisa memanggil Andreas." Baru kali ini Andreas bisa begitu ramah berkenalan dengan seorang teman baru. "Kau dari sekolah mana, Ndre?" tanya Alisa lalu duduk di samping Andreas. "Kau tak melihat seragamnya, dia pasti dari Briana, orang kaya sepertinya," ujar Luis tanpa memberi waktu Andreas menjawab. "Bener juga," pungkas Alisa. "Tidak, aku hanya anak biasa, bukan dari orang kaya ataupun orang terhormat." Alisa dan Luis hanya mengangguk-angguk sambil memandang. "Kalian sendiri dari mana?" "Aku dan Alisa dari Atom High School, kota Vdrinv. Kami bersahabat," ujar Luis. "Vdrinv, kota pelayaran yang indah," kata Andreas mulai bisa bersahabat. "Memang indah sekali, bisa melihat warna jingga sunset dan sunrise tiap hari. Aku berharap setelah ujian ini juga begitu," ucap Alisa, matanya mulai nanar. "Sudah lupakan itu, kita akan mendapatkan kamar setelah ini." Luis mengajak Alisa dan Andreas teman barunya untuk memperhatikan layar di depan mereka, karena akan ada lima orang yang sekamar. "Kita sekamar, Andreas!" Luis nampak bahagia saat mengatakan bahwa ia akan sekamar dengan Andreas, sementara Alisa nampak cemberut karena sekamar dengan siswa yang tak ia kenal. "Aku benci pembagian kamar," ucap Alisa lalu meninggalkan Andreas dan Luis. "Kenapa dengan Alisa?" tanya Andreas melihat Alisa yang merungut sambil berlalu pergi. "Dia tak suka berpisah denganku, dan teman sekamarnya adalah Sakham," jawab Luis. Kini Andreas dan Luis menarik kopernya mengikuti seorang instruktur yang akan mengantarkan mereka kekamar, bersama ketiga teman lainnya. "Siapa Sakham?" tanya Andreas lagi. "Gadis yang menjadi saingan Alisa sejak SMP," ujar Luis, Andreas hanya mengangguk-angguk. Sejak awal sekolah Andreas tak pernah merasa punya saingan, entah jika para siswa lain merasa ia adalah saingannya. Tak berapa lama mereka sampai di kamar yang sudah khusus di bagi untuk peserta ujian. Dengan lima ranjang tersusun menyamping. Andreas tak nampak bahagia meskipun tempat itu lebih besar dari kamar yang pernah ia huni selama 18 tahun, tapi ini bukan hanya sebuah kamar lebih tepatnya tempat terakhir menuju kematian, Andreas yakin bukan hanya ia saja yang merasakan hal itu, pasti termasuk empat kawannya, termasuk Luis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD