Saat pertemuan peserta ujian beberapa waktu lalu, ada sekitar 10 orang yang mengundurkan diri dari ujian. Kemungkinan mereka takut akan kematian, semuanya memang takut, tak terkecuali Andreas, namun tak ada pilihan lain bagi Andreas untuk mengikuti ujian itu.
10 orang tak akan mengikuti ujian itu, nantinya akan di kirim pada sebuah pulau di ujung barat Linkton, bernama Tosla. Pulau yang juga di sebut neraka dunia itu memiliki iklim paling ekstrim yang bisa berganti dengan cepat. Ada ratusan hewan buas yang setiap saat bisa membunuh, tanaman beracun, hingga tanah yang tak bersahabat.
Tosla adalah dampak buruk dari perang nuklir beberapa puluh tahun lalu, bahkan dampak itu tak akan hilang selama mungkin. Peserta ujian akan di kiirm kesana bagi mereka yang memilih, selain hukuman mati sebagai pilihan kedua.
Ketika berada di pulau Tosla, mantan peserta ujian di paksa bertahan hidup sendiri tanpa bekal makanan ataupun bekal hidup. Kematian mereka di tutupi dari keluarga dan peserta lainnya, sampai ujian itu benar-benar berakhir dan salah satu menjadi pemenangnya.
Sementara itu di asrama yang di tempati para peserta ujian, Andreas tengah susah untuk memejamkan matanya. Ia terus berguling kesana-kemari untuk memposisikan tubuhnya dengan nyaman, rasanya begitu tidak begitu enak, entah itu juga tentang pikirannya.
“Aku bisa memperhatikanmu dari sini,” ujar Luis saat ia melihat Andreas yang tak tenang sejak tadi.
“Aku tidak tidur,” kata Andreas menjawab ucapan Luis setengah berbisik, ia tak mau mengganggu teman-temannya yang terlihat sudah tertidur pulas.
“Kau benar, aku juga tak bisa tidur,” ucap Luis lagi, kini dirinya memposisikan untuk bangun dan duduk dari tempat tidurnya.
Meskipun itu asmara terakhir, tapi tidak begitu di jaga dengan ketat, mungkin para panitia ujian tahu tak ada gunanya para peserta ujian kabur dari sana. Cepat atau lambat mereka juga akan mati.
“Bagaimana kalau kita berkeliling sebentar, siapa tahu angin malam bisa membuat kita tidur,” sambung Luis pada Andreas.
Andreas yang mendengar ucapan Luis, langsung ikut terbangun dan juga duduk.
“Apa boleh?” tanya Andreas.
“Entah, tapi aku tidak dengar ada larangan bahwa peserta tidak boleh keluar saat malam hari.”
Mendengar ucapan Luis yang cukup masuk akal, Andreas hanya bisa menganggguk-angguk. memang sejak tadi ia tak mendengar bahwa peserta tak di perbolehkan untuk keluar malam hari ataupun berjalan-jalan di sekitar asrama.
Tapi, saat itu sudah cukup malam. Mungkin bukan hanya teman sekamar mereka saja yang tertidur, tapi juga peserta lainnya.
Tanpa berpikir lama lagi, Andreas langusng mengangguk dan mengikuti Luis yang sudah berjalan menuju pintu untuk keluar kamar. Sesampainya di luar, loorng nampak sepi, meskipun lampu masih terang menyala, terlihat bahwa tak banyak penjaga, hanya beberapa yang berkeliling.
Andreas dan Luis berjalan santai, sambil sesekali mengorbrol tak jelas, seperti perbincangan dua remaja yang hanya ingin berkenalan satu sama lain. Andreas yang baru merasakan berkenalan dengan seorang teman merasa nyaman. Sejak dulu tidak banyak yang mau berkumpul dengannya, selain alasan ia tak begitu bersosialisasi Andreas jugas seorang anak yatim piatu dari distrik kumuh yang mengganggu pemandangan ibukota.
“Kemana kalian?” tanya salah seorang penjaga yang berpakaian mirip dengan para panitia yang ada.
“Kami hanya berkeliling, mencari udara segar agar bisa tidur,” ujar Luis menanggapi pertanyaan penjaga tadi, sementara Andreas hanya bisa diam tak menjawab, seperti yang sering ia lakukan biasanya.
“Jangan lama-lama, kalian harus tidur, selain besok hari pertama kalian di karantina di luar udara tidak sedang baik jam segini.” Setelah mengucapkan hal itu si penjaga pergi, Andreas dan Luis hanya bisa mengangguk mendengarnya.
Andreas dan teman barunya Luis kembali berkeliling, setelah lorong selesai, lalu mereka menuruti gedung dan sampai di sebuah taman yang terlihat indah dan terang. Jarang sekali di Linkton terlihat ada tumbuhan tumbuh subur sejak perang beberapa pulih tahun lalu.
Luis lebih dulu duduk di hamparan rumput, lalu Andreas menyusul. Kedunya duduk sambil menengadah wajah ke langit, menyaksikan bintang yang bertabur sedikit sana, karena cuaca tidak sedang baik.
“Apa alasanmu ikut ujian ini, Andreas?” tanya Luis kemudian.
Mendengar hal itu Andreas menatap Luis sekilas, lalu berucap “Apa kita memiliki alasan untuk menolak?”
“Kau benar juga ... ini ujian wajib, semua orang murid harus mengikutinya. Tapi, setidaknya kau pasti punya alasan jika nanti menang, kan?”
“Alasan ...” Andreas mengulang ucapan Luis yang menurutnya penting untuk ia garis bawahi, “Aku ingin membantu Mama dan adik-adikku di panti, aku ingin membangun panti asuhan menjadi lebih baik.”
“Panti?” kini Luis yang menggaris bawahi kata yang menurutnya penting.
“Sejak kecil aku di beri beasiswa pemerintah untuk sekolah di tempat mahal, aku tak tahu maksudnya apa, padahal ujung-ujungnya aku pasti mati. Selain itu aku juga ingin bekerja di pemerintahan,” ujar Andreas. “Kalau kamu?”
“Aku ... aku ingin kehidupan keluargaku lebih baik, aku ingin Ayah dan Ibuku bisa bekerja dengan tenang, melunasi hutang mereka, dengan aku bekerja sebagai insinyur. selain itu aku ingin bersama dengan Alisa terus,” papar Luis. Luis yang sejka tadi terlihat humoris pun bisa berkata seperti itu.
“Kau menyukai Alisa?” selidik Andreas.
“Apa? Tidak, aku tidak menyukainya.” Luis menyangkal ucapan Andreas.
“Kalau kau tidak menyukainya, kenapa kau ingin terus bersama Alisa?”
“Itu ... karena, orangtuanya berpesan padaku untuk menjaga Alisa dan jangan sampai meninggalkannya, meskipun begitu Alisa lebih sering membantuku,” Setelah mengucapkan hal itu Luis mengulas senyumnya yang nampak sedikit tertawa.
Alisa memang tipikal gadis kuat yang kadang memang menjengkelkan, terlihat seperti lelaki, sementara Luis malah begitu kekanakan. “Alisa ingin menjadi dokter, cita-citanya itu ia pikirkan sejak kakaknya meninggal karena penyakit dan tak ada biaya untuk mengobati. Kau tau sendirikan biaya berobat di Linkton begitu mahal. Nampaknya slogan ‘Orang miskin di larang sakit itu benar’.”
Andreas hanya mengangguk mendengar ucapan Luis, remaja itu sekali ingin berbicara terus saja berbicara yang membuat Andreas hanya bisa mengangguk sambil sesekali berkata-iya. Saking bingungnya menjawab.
Mereka terus berbicara, hingga tak terasa jam sudah menunjukkan begitu malam. Mereka tak ingin mendapat teguran dari para penjaga, karena itu mereka bergegas untuk kembali naik keatas gedung mereka dan menuju kamar.
Andreas menarik napasnya pelan, sangat pelan sekali. Besok hari yang mulai berat baginya, harapan antara hidup dan mati sudah menantinya. Bagaimana ia bisa bertahan dengan semuanya? Apa ia bisa menang dari puluhan peserta yang mengikuti ujian itu? Jika itu terjadi berarti ia harus mengalahakn Luis dan Alisa.
Sementara Luis terus berpikir positif bahwa ia harus menang dan mendapatkan hadiah utama, sebab bagaimana pun ia harus menepati janjinya pada orangtua dan juga keluarga Alisa. Ia juga akan bawa Alisa pada kemenangan itu, meyakinkan bahwa dua pemenang tak ada yang salah. Andai saja hal itu bisa. Jika tidak, ia akan memilih mati bersama Alisa, dari pada harus pergi meninggalkannya.