Familiar

1056 Words
Fiandra. Ia mengantongi nama itu. Menarik sih. Anak pejabat tinggi kuliah di sini ya hal yang lumrah. Sentimentil soal pekerjaan orangtua di sini memang sangat tinggi sih. Apalagi kalau berhadapan dengan anak-anak beasiswa. Biasnya masih sangat tinggi. Kebanyakan dari mereka yang merasa sangat kaya ya angkuh. Terlebih jika itu laki-laki. Hari-hari masa orientasi bagi Fiandra ya tak begitu berkesan. Walau tetap menyenangkan. Tak ada kejadian aneh juga kecuali selenbar kertas asing yang suka sekali berada di dalam tasnya tanpa ia tahu siapa pengirimnya. Hari ini? Ada lagi. Hari ini aku melihatmu menggunakan rok bunga-bunga. Tampak manis dan anggun, Fiandra. Sama seperti namamu. Fiandra berdecih. "Nama palamu. Tahu artinya juga enggak." Ia mengoceh sendiri. Tiap mau membuang kertas itu, ia jadi tak tega sih. Akhirnya ya tetap disimpan. Ia keluar dari toilet dan sudah ditunggu beberapa orang. Kata siapa menjadi anak pejabat itu menyenangkan? Terkadang ayahnya terlalu lebay. Pengawal di mana-mana. Selalu mengikuti dan mengawasinya dari jauh. Teman? Ada. Tapi tak banyak dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke dalam dunianya. "Mbak Fi dilarang makan di kantin sama Ayah. Nanti saya ambilkan bekal makanan yang sekarang sedang dibawa sama si Bibi ke sini." Ia menghela nafas. Baginya lebih menyenangkan masa SMA sih. Tahu kenapa? Karena pengawasan terhadapnya tak terlalu seketat ini. Para pengawal akan menunggu di luar gerbang. Kadang juga jarang diawasi. Ya sekarang sama sih. Namun akhir-akhir ini semakin diperketat. Ia tak tahu kenapa tapi pasti berkaitan dengan ayahnya. "Kak Fadiya di mana?" Ia hanya bertanya. Hanya memastikan saja kalau kakaknya bisa fokus dengan kuliahnya. Capek kalau harus terus menggalau bukan? "Mbak sedang ada praktikum." Oke. Ya sudah. Ia melirik jam tangannya kemudian kembali ke kelas yang akan ia hadiri. Ini kan masih jam istirahat. Makanannya pasti akan diambil oleh pengawal. Mereka menunggu di depan kelasnya ketika ia masuk ke dalam kelas. "Pengawalmu banyak sekali." Beberapa teman menatap ke arahnya. Hanya sagu yang berani bicara. Itu pun agak berbisik. Dari 30 orang mahasiswa di kelas bahkan diangkatan mereka, hanya empat perempuan, yaitu dirinya sendiri, Melati, Ningrum, dan Aling. Mereka juga kaya tapi tak ada yang sampai dikawal dengan begitu banyak orang. Fiandra hanya menghela nafas. Tak tahu harus mengatakan apa. "Semua orang membicarakanmu, Fi." Maksudnya gara-gara ia datang dengan mobil tentara bintang tinggi bukan? Ia sebenarnya enggan menarik perhatian semacam itu. Tapi ya itu kelakuan ayahnya yang sangat protektif. Mungkin karena ia adalah anak perempuan. Ya terhadap kakaknya juga sama. Tapi Fadiya bisa bicara tegas dengan ayah mereka kalau ia keberatan diperlakukan seperti anak lima tahun yang baru mau masuk taman kanak-kanak. Sudah bukan zamannya lagi untuk diantar begini oleh sang Ayah. Sayangnya, Ayahnya keras kepala. "Tapi....." "Nona Fiandra?" Mereka kompak menoleh. Padahal tadi ucapan Ningrum belum selesai. Ia baru mau menyebut cowok yang satu ini. Yang mendadak datang dan mengulur tangan di depan Fiandra. Hal yang justru membuat gaduh sih. Karena para pengawal Fiandra mendadak masuk dan menodongkan pistol ke arahnya. Suasana kelas menjadi tegang seketika. Mana dosen belum datang pula. "Turunkan tanganmu!" Lelaki itu menoleh dan menatap para pengawal yang tampangnya galak itu. Memangnya ia takut apa? "Masa salaman tidak boleh?" Ia malah menantang. "Anda mahasiswa mana?" "Perlu ditanya?" Ia malah balik menantang. Mau berkenalan dengan cewek saja sulit sekali. "Biarkan aja, Pak." Fiandra yang menyelamatkannya. Pengawal itu dititahkan untuk keluar. Mereka ya keluar. Walau tak lama ada yang masuk lagi untuk memberikan bekalnya. Teman-temannya tampak menahan senyum. Kaget karena anak tentara ini diperlakukan benar-benar seperti anak kecil. "Woooow. Anak Mami ternyata!" Ada yang mengoloknya. Lelaki yang tadi hendak berkenalan pun menoleh. Merasa ikut tersinggung dengan kata-kata itu. Padahal Fiandra tak ambil pusing. Ia sudah biasa dihina seperti itu kok. Dan yang mengoloknya itu memang terlihat sangat membenci Fiandra sejak awal. Fiandra nasih ingat ketika dihari pertama masuk kelas saat masa orientasi, cowok itu tak berhenti mencaci mobil ayahnya. Kalau benci dengan pemerintah, kenapa mau ambil beasiswanya? Ia paling benci dengan orang-orang semacam ini. Meski itu uang pajak rakyat ya tetap saja harusnya berpikir lah. Sementara itu, di sudut ruang kelas dan masih pulas, merasa tidak terganggu sama sekali dengan apa yang terjadi. Padahal ada yang hampir saling tonjok. Walau ia mendengar apa yang terjadi. Tapi ia lebih memilih untuk menutup mata. Ia lelah sekali. Sangat-sangat lelah. Ada banyak hal yang ia lakukan di luar sana. Kuliah? Mungkin ia satu-satunya mahasiswa di sini yang tak menganggap serius perkuliahan. Padahal perkuliahan di sini sangat lah ketat. Tidak hadir terlalu banyak akan identik dengan drop out. Pahitnya sih memang begitu. Tapi ia juga tak benar-benar perduli. Ia datang ke sini dengan setengah hati dan sedang mencari jati dirinya sendiri. "Adhiyaksa!" Itu bukan suara temannya melainkan dosen yang sedang mengabsen. Dengan santainya, ia melambaikan tangan padahal tubuhnya masih berbaring di atas kursi. Kawan-kawan lain menoleh dan kompak tertawa. Si mahasiswa tersantai. Fiandra juga menoleh. Ia tak begitu merasa terganggu dengan cowok itu. Hanya heum bagaimana ya mengatakannya? "Tidur kamu?" "Baru kok, Pak." "Kamu harusnya sadar kalau ini kampus bukan rumahmu." Ia nyengir. Kali ini memang dimaafkan karena baru minggu pertama perkuliahan. Kemudian malah menguap. Si dosen malas menegurnya lagi jadi dibiarkan saja. Selagi tak menganggu jalannya kuliah ya tak masalah. Fiandra? Hanya merasa familiar. Ia seolah pernah melihat wajah itu di mana. Namun kan namanya tampak asing baginya. Jadi ia menoleh lagi ke depan dan kini giliran namanya yang dipanggil. Ia segera mengangkat tangannya. Tepuk tangan riuh. Karena dibandingkan yang lain, ia yang paling cantik, makanya orang-orang selalu heboh tentangnya. "Begitu lah anak-anak pejabat kaya," gumam seorang lelaki di pojokan. Fiandra menoleh karena ia mendengar ucapan itu. Kata-kata yang keluar dari mulut Adhiyaksa. Lelaki yang ia baru tahu namanya. Hanya satu kata pula. Ya bukan hal aneh sih ditahun ini. "Dia mendengar," tegur teman di sebelahnya. Tangannya juga disenggol. Ia tertawa tanpa suara. Ya tak sengaja juga mengagakan itu sih. Ia sensi? Senewen sengan anak-anak yang terlahir dalam keluarga mampu? Ia juga mampu kok. Ayahnya sebenarnya orang Indonesia asli yang sudah belasan tahun tinggal di Malaysia untuk bisnis. Lantas memutuskan untuk pindah kewarganegaraan demi kelancaran bisnisnya. Sementara ibunya? Ya ada turunan Arab namun aslinya Melayu yang memang orang Malaysia. Jadi wajahnya bisa sebening ini berkat perpaduan yang sangat hebat. Lantas apa hubungannya dengan Fiandra? Ya tak ada sih. Justru keberadaannya di sini yang sangat menarik. Ia bukan orang yang tertarik dengan dunia medis. Ia di sini justru hendak melakukan sesuatu. Melakukan apa? Sebuah investigasi. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD