9

1546 Words
Lila menaiki mobil mewahnya dengan malas. Berangkat kuliah sepagi ini hanya akan membuatnya mengantuk. Terlebih, matahari belum benar-benar keluar dari peradaban dan pak sopir belum datang. Pukul lima pagi. Lila harus bersiap-siap dengan make up dan setelan pakaian mahalnya. Ia duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin. Beruntung, Lila telah mendapatkan SIM dalam sekali tes, jadi ia tak perlu repot-repot takut ditilang atau menunggu sopir jika tiada seperti ini. Ia melajukan mobil merahnya perlahan keluar dari pekarangan rumahnya yang besar. Jam menunjukkan pukul lima lebih enam menit, sementara kelasnya akan dimulai pukul setengah enam pagi. Namun, Lila tak perlu khawatir. Untung rumahnya berada tak jauh dari kawasan kampus, sehingga hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai ke sana. Dengan cekatan, Lila langsung membelokkan mobilnya ke arah timur; melewati rambu lalu lintas yang telah bewarna hijau. Jalanan cukup lenggang, kabut tebal masih menyelimuti kota, dan Lila harus berhati-hati pada embun yang menempel di kaca mobilnya. Gadis itu menyalakan pembersih kaca otomatis pada mobilnya. Membiarkan sepasang benda lurus itu bergerak-gerak menyapu embun. Ketika Lila berkedip sekali, tiba-tiba sebuah wajah menyeramkan muncul; menempel di kaca mobilnya sambil menyeringai lebar. Lila berteriak keras. Ia berusaha mengendalikan mobilnya, namun wajah itu tak kunjung hilang. Lalu beberapa detik setelahnya, Lila akhirnya bernapas lega. Wajah itu telah enyah dari pandangannya dan ia masih berpikir positif dengan membatin jika dirinya berhalusinasi. Mengabaikan jantungnya yang berdegup kencang, Lila kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dinyalakan radio pagi yang biasanya memutar musik romantis favoritnya, sambil bersenandung pelan. 'Mati kau...' Lila langsung bergidik ngeri dan mematikan radionya. Ia menggosok tengkuknya yang meremang, melirik ke arah spion dan membayangkan adegan-adegan horor yang pernah ditontonnya di film-film. Gadis itu tertawa kecil, miris. Ini masih pagi dan dirinya jelas mengantuk. Semua yang tadi dia lihat dan didengarnya pasti halusinasi. Ada hantu sepagi ini? Hantu yang bodoh. Saat Lila hendak mengambil tasnya dengan meraba-raba kursi belakang, mendadak gadis itu merasakan sebuah tangan mencengkram lengannya. Bulu-bulu halus menyapu permukaan kulitnya hingga ia bergidik ngeri. Gadis itu memberanikan diri untuk menoleh ke belakang dengan gerakan patah-patah. Adrenalinnya berpacu cepat. keringat dingin mengalir dari pelipisnya, dan matanya membelalak kaget begitu bersibobok dengan sepasang mata merah menyala di sana. Sesosok bayangan hitam berbulu duduk di atas tasnya, menyeringai licik seolah siap menerkam kepala Lila saat itu juga. Lila menjerit tertahan. Tangan kanannya yang memegang kemudi sontak bergerak sembarangan hingga mobil merah itu melaju tak beraturan. Tawa keras menggelegar dalam mobil itu. Lila tahu hidupnya akan segera berakhir, oleh karena itu ia memejamkan mata, bersiap-siap pada kemungkinan terburuk. Mobil merah itu menjadi pusat perhatian para warga. Banyak warga yang berteriak memperingatkan, namun si pengendara sama sekali tak mendengarkan. Barulah mobil merah itu menabrak sebuah tiang listrik raksasa di pinggir jalan hingga roboh. Bagian depannya remuk dan tak hanya itu saja, tiang listrik tersebut menimpa mobil merah sampai terbelah menjadi dua. Lila langsung tewas di tempat. 'Reiko sayang, aku telah menyingkirkan satu orang yang menyakitimu. Tunggu pembalasannya..' ---- Kabar kecelakaan Lila beredar dengan cepat. Kelas Sastra Inggris langsung heboh mendengar Hanum yang berseru histeris di tengah-tengah pelajaran. Reiko yang duduk di pojok belakang menoleh ke arah Hanum sekilas, sebelum kembali memperhatikan Pak Suseno yang berdehem keras di depan. "Hanum! Ada apa? Kamu pikir saya angin di sini? Apa kamu mau keluar?" "M-maaf, Pak," Hanum terisak dan semua orang langsung menatapnya bingung. "T-tapi.. Lila kecelakaan dan meninggal, Pak." Kelas sontak menjadi ricuh. Pak Suseno yang awalnya marah mendadak terdiam. Sementara Hanum langsung menangis. Reiko menutup mulutnya tak percaya. Tidak, ia bukannya senang atau apa. Namun, ia ikut bersedih atas meninggalnya Lila. Kelas yang baru berjalan setengah jam pun terpaksa dibubarkan. Pak Suseno hanya menambah tugas dan berkata akan memberitahu dosen jurusan tentang berita duka tersebut. Semua mahasiswa keluar dari kelas. Kecuali Hanum dan Reiko. Hari ini Sekar memang tidak masuk karena sakit, kabarnya gadis itu mengalami insomnia berat sehingga jatuh sakit. Reiko mengambil tas punggungnya dan berjalan perlahan menuju pintu. Namun, Hanum melihatnya. Ia pun mempercepat langkah dan sayangnya, lagi-lagi rambut panjang itu menjadi sasaran empuk jambakan Hanum. "Sini, lo ikut gue!"  Hanum menarik rambut Reiko dan mendorong gadis itu keluar kelas. Seluruh mahasiswa yang belum berada di koridor langsung menatap keduanya. Drama apa lagi ini? "DASAR LO PEMBAWA SIAL! GEGARA LO TEMEN-TEMEN GUE APES TAU GAK, JALANG?" PLAKKK Hanum melayangkan tamparan keras ke pipi Reiko secara membabi buta. Reiko langsung tersungkur. Gadis itu memang sendirian, tetapi karena banyaknya orang di koridor yang menatap Reiko benci, ia benar-benar tak bisa berkutik. Bisik-bisik pun makin menjadi. Mengharapkan pertolongan Abi pun rasanya ia menjadi manusia tak tahu diri, Abi hanya kasian padanya; jelas itu. Gadis sebatang kara yang dibully. Reiko hendak pergi dari sana. Percuma toh jika dia melawan atau berdiam diri, hasilnya sama saja; ia akan tetap dibenci. Saat Reiko mendongak, iris hitam gadis itu melebar. Tidak, ini bukan halusinasi 'kan? Abi ada di kejauhan, tepatnya di parkiran tengah memandangi Reiko dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Reiko menggeleng, menyuruh Abi untuk tak ikut campur kali ini. Sayangnya, lelaki itu benar-benar tak ikut campur. Ia mengalihkan pandang dengan cuek, berlari kecil seolah baru saja melihat sesuatu yang menyeramkan di belakang Reiko. Abi sudah tak peduli lagi padanya. ---- Keesokan harinya, Abi berangkat ke kampus lebih awal. Ia tahu akan berpapasan dengan Reiko di hari Jumat, maka dari itu, Abi pun dengan tergesa-gesa melangkahkan kakinya melewati gedung Sastra Inggris dengan takut-takut. Namun ada yang aneh ketika Abi melangkah di sana. Ada beberapa mahasiswa yang menggelitiknya dan berkata tentang kedekatannya dengan gadis pembawa sial. Awalnya, Abi tak peduli. Namun, lama-kelamaan suara mereka makin kencang. Dan seseorang meneriakkan nama lengkapnya dengan mengacungkan jari telunjuk. "Woi, lu Abhimanyu Sebastien dari jurusan sebelah kan? Weh, lakinya si pembawa sial kok gak deket-deket ceweknya lagi sih?" ucap seorang lelaki kemudian tertawa bersama geng mainnya. Alis Abi berkedut marah, namun ia tahan dan mendengarkan gonggongan anak-anak nakal itu lebih jauh. "Lo, tau gak? Gara-gara cewek lo, si Lila meninggal karena kecelakaan kemaren! Awas aja, Bi! Ntar lo lagi yang kena ups-eh, ada orangnya HAHAHAHA!" Abi sontak menoleh ke belakang. Reiko ada di sana. Menunduk dalam-dalam dan menyembunyikan wajahnya dengan rambut hitamnya yang tergerai seperti biasa. Gadis itu mengeratkan genggamannya pada rok cokelat yang dipakainya, sebelum mendongak, dan menatap Abi sayu. "Rei, kamu... " Belum sempat Abi menyelesaikan kalimatnya, Reiko sudah berlari kencang meninggalkan gedung jurusan. Abi hendak mengejarnya, namun bayangan tentang sosok menyeramkan yang ditemuinya di kontrakan Reiko membuatnya takut. 'Mental lo lemah Bi, gara-gara gituan, masa lo takut. Emang lo gak kasian Reiko? Lo udah terlibat sama masalah dia dan harusnya lo nemenin dia di saat-saat kayak gini,' pikir Abi. Dikejarnya Reiko yang berlari ke arah toilet perempuan dan meraih lengan gadis itu untuk masuk ke dalam dekapannya. Reiko terkejut. Ia berusaha lepas dari pelukan Abi, sementara Abi semakin mengeratkan pelukannya. "Maaf," bisik Abi, tak mempedulikan tatapan aneh orang-orang fakultas. Reiko menyerah, ia mencengkram pakaian Abi kuat dan menangis di sana. "Maaf Rei, harusnya aku tidak melakukan hal ini padamu. Sebenarnya kemarin aku melihatmu, tapi..." Reiko melepas pelukannya. Ia menunduk untuk mengusap air matanya kasar sebelum mengangkat wajah dan menatap Abi. Gadis itu menggeleng cepat. "Emang harusnya gitu kan? Aku udah terbiasa sendiri dan akhirnya kamu juga jadi sasaran mereka. Bi, kali ini aja, untuk terakhir kalinya, tolong jangan menolongku lagi ya?" Abi kembali memeluk Reiko, menenggelamkan wajah tampannya di leher gadis blasteran tersebut. "Kamu bodoh. Bagaimana mungkin aku melakukan itu?" ---- Abi berlari-lari di sepanjang koridor rumah sakit jiwa dengan napas terengah. Beberapa kali dirinya terjatuh tersandung kakinya sendiri, namun akhirnya ia bangkit dan kembali lagi seperti orang ketakutan. Saat melintasi sebuah cermin besar, kaki Abi terhenti. Ia terkejut lantaran memakai pakaian rumah sakit jiwa dengan bercak-bercak darah menghiasi sekujur tubuhnya. Lelaki itu mengucek matanya beberapa kali. Lalu cermin tersebut tiba-tiba berubah menjadi sebuah penjara dengan seorang wanita di dalamnya. Sekilas wanita itu mirip seperti Reiko. Kulit putih pucat, rambut hitam panjang yang tergerai menyentuh permukaan lantai, serta kuku-kuku jari yang menghitam. Abi bernapas lega. Didekatinya penjara besi tersebut dan berjongkok. Ia harus menyelamatkan Reiko. "Rei..." ucap Abi lembut. Tangannya memasuki sela-sela sel besi tersebut hendak menyentuh rambit Reiko. Namun, wanita itu mencengkram pergelangan tangannya erat, meremasnya hingga Abi merasa bahwa tulang-tulangnya remuk. "Re-rei, apa yang kamu...." Wanita tersebut menatapnya tajam. Abi terkejut dengan kerutan-kerutan di wajah wanita itu. Tidak, dia bukan Reiko. Sepasang matanya jauh lebih sipit dari Reiko. Abi memang pernah mendengar tentang ibu Reiko yang ditahan di rumah sakit jiwa. Jangan-jangan.. Wanita itu tertawa keras.  Abi menarik tangannya paksa kemudian mundur beberapa langkah. Sial, kejadian apa ini? Samar-samar terdengar suara derap langkah. Ketika Abi menoleh ke asal suara, ia terkejut begitu sesosok bayangan hitam menyergap dan mencekik lehernya. Tatapan marah terpancar jelas dari kedua mata bayangan itu. Abi terbatuk berkali-kali, napasnya nyaris hilang, dan saat Bayangan itu mendekati telinganya ia berujar; 'Jauhi milikku atau kau akan mati...' Lalu semuanya menggelap. __ Abi terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin dan napas memburu. Ia menyalakan lampu, menyibak selimutnya ke sembarang tempat, dan mengacak-acak rambutnya yang agak gondrong itu frustasi. Lelaki itu berusaha mengingat putaran memori yang ada dalam mimpinya tadi. Wanita mirip Reiko, bayangan sama yang dilihatnya di kontrakan Reiko.. Semuanya terasa seperti keping puzzle yang susah untuk disusun. Lalu apakah mimpi tadi ingin memberitahunya sesuatu? 'Abi, setelah mimpi itu, apa kau masih ingin berada di di dekat Reiko?' To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD