Sore sehari sebelumnya
Abi kembali ke ruang kesehatan setelah dua puluh menit teman sejurusannya mengajak berbincang perihal tugas kelompok mereka. Dibukanya pintu perlahan, mendorong papan kayu tersebut dengan senyum yang merekah di bibir, sebelum memudar karena tak mendapati Reiko di sana.
Abi langsung berlari ke dalam. Ia menyibak kelambu-kelambu pembatas dan mencari Reiko di setiap sudut ruangan. Sialnya, petugas kesehatan tidak ada ke sana.
Jantung Abi berdetak tak karuan. Ia khawatir, para pembully itu datang dan menyiksa Reiko lagi. Terlebih ketika mendapati kasur yang semula ditempati Reiko tampak berantakan. Selimut dan bantalnya jatuh ke bawah dan Abi menemukan beberapa jejak langkah di dekat selimut serta bantal tersebut.
Perasaan Abi makin tak nyaman. Ia berjalan ke arah gedung Sastra Inggris dan bertanya pada salah satu teman Reiko yang kebetulan ada di kelas. Nama orang itu adalah Serli, gadis yang selalu diam dan tak pernah terlibat dalam kasus pembullyan Reiko.
Sebenarnya Serli adalah tetangga depan rumah Abi. Gadis itu pernah bercerita tentang pembullyan seorang anak blasteran di jurusannya yang tiada seorangpun mau membela anak itu. Dari sanalah Abi mulai memperhatikan kejanggalan tersebut, dan mengetahui jika korban bullying tersebut bernama Reiko Danuarta.
Abi mengetuk pintu kelas dan menghampiri Serli. Sudah lama mereka tak berjumpa. "Ser!" seru Abi yang spontan membuat Serli menoleh ke arahnya.
"Ada apa? Kok kamu kayak dikejar setan gitu?"
"Ini bukan waktunya buat becanda," ucap Abi dengan napas memburu. "Reiko ada kelas lagi nggak? Di ruang kesehatan dia gak ada."
"Mungkin dia pulang."
"Pulang?" ulang Abi, merasa tak yakin. "Gak mungkin! Dia babak belur gitu, mana bisa dia pulang?"
Serli berpikir sesaat untuk mengingat jadwal Reiko hari ini. Ia menjentikkan dahi lantas mengangguk yakin. "Ia mungkin dia pulang. Soalnya kan sekarang emang gak penuh jadwal dia. Ini kelas tetakhirnya."
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Ya 'kan dia selalu langsung pulang di hari Selasa. Kamu pikir aku bohong?" Serli tampak kesal, namun di sisi lain, ia juga ikut cemas melihat reaksi Abi yang seperti itu. Baru kali pertama ini Abi sampai berbuat sejauh ini demi seorang gadis.
"Tahu alamat rumahnya nggak?"
"Seingetku dia ngontrak, Bi."
"Oke, di mana?" tanya Abi sambil mengguncang-guncang tubuh Serli kuat. "Aku mau memastikan dengan mata kepalaku sendiri kalau dia emang ada di ada di kontrakannya. Cepet kasih tahu aku!"
"Santai, santai, Bi!" Serli menepis tangan Abi yang mengeluarkan tenaga besar itu. Diraihnya sebuah buku dari tas, menuliskan beberapa kata di atas sana, kemudian menyobek kertas berisi alamat rumah Reiko.
"Kayaknya ini deh. Gatau lagi kalau pindah. Dia 'kan gak deket sama anak-anak, jadi aku sengaja buntutin dia pas ospek dulu karena kasihan-"
"-oke, aku pergi dulu! Makasih ya!"
Abi bergegas pergi sambil melambaikan tangan meninggalkan Serli dalam kebingungan. Diayunkan kakinya menuju parkiran, memakai helm, dan melaju kencang membelah jalanan kampus menuju alamat yang dituliskan Serli.
---
Sepuluh menit kemudian, Abi sampai di tempat yang dituju. Kontrakan itu bersih, namun sangat tua dan terlihat suram. Abi bertanya-tanya mengapa Reiko harus menghuni kontrakan seperti ini alih-alih mencari tempat yang lebih bagus.
Gerbangnya menjulang tinggi, warna putih mendominasi bagian depan rumah itu, dan Abi teringat pada rumah-rumah peninggalan zaman Belanda yang ada di sekitar kompleks Abi.
Abi ragu-ragu memencet bel yang ada di dekat pintu gerbang. Ditengoknya suasana ruang tamu yang samar-samar terbias dari jendela depan. Oh, tiada tanda-tanda Reiko di sana.
Lelaki itu sudah menduga, Reiko tak kan bisa pulang karena untuk bangun saja, gadis itu masih membutuhkan bantuannya. Abi kemudian bertanya pada tetangga yang kebetulan baru keluar dari rumah yang berhadapan dengan kontrakan Reiko.
Ibu-ibu berumur sekitar lima puluh tahun itu berkata jika Reiko memang jarang keluar dari kontrakan selain untuk berangkat ke kampus dan membeli makanan. Beliau juga berkata dia sebenarnya gadis yang baik dan ramah, namun karena suatu alasan, orang-orang membencinya dan anak-anak jadi takut mendekatinya.
Abi berterima kasih pada Ibu itu setelah beliau mengatakan tidak melihat Reiko pulang dari kampus. Lelaki itu segera membalikkan badan dan kembali menghadap rumah itu.
Memastikan jalanan sepi dan ibu tadi kembali masuk ke dalam rumah, Abi akhirnya bertekad untuk memanjat tembok seperti maling. Diketuknya permukaan pintu bercat cokelat itu agak keras, menyebut nama Reiko beberapa kali, namun nihil, tiada sahutan dari dalam.
Abi mengecek jam di pergelangan tangannya, pukul setengah empat sore. Pada hari Selasa, jam kuliah paling tidak akan berakhir pada pukul tiga bagi semua jurusan. Tiada jadwal kelas malam ataupun pergantian kelas hari ini; mengingat tidak ada notifikasi yang ia terima dari aplikasi perkuliahan.
Merengut kecewa, Abi merasa payah. Saat hendak meletakkan tangan ke pagar tembok untuk memanjat keluar, tiba-tiba sehembus angin dingin meremangkan tengkuknya. Abi berbalik karena merinding. Sebuah sosok menyeramkan terpantul dari kaca jendela yang sontak membuat lelaki itu bergidik ketakutan. Ia mengucek matanya beberapa kali dan sosok itu menghilang tiba-tiba.
Abi yakin ia melihat sesuatu di sana tadi. Namun, ia berusaha mengabaikannya. Yang terpenting saat ini ialah menemukan Reiko
'Gudang...'
Terperanjat kaget, Abi menajamkan kedua rungunya. Apa dia berhalusinasi? Seperti ada yang membisikinya dengan kata gudang.
'Reiko... gudang... kampus..'
"Siapa woi!"
Abi berusaha mengusir ketakutannya dan menghadap ke belakang. Siapa yang akan iseng menggodanya sementara tidak ada seorang pun di sekitarnya. Lalu dia tersadar suatu hal. 'Reiko, gudang, kampus!'
Benar dugaannya, Abi merutuki dirinya sendiri sambil memanjat pagar tembok. Reiko tidak akan pergi ke mana-mana dengan kondisinya yang seperti itu. Seharusnya ia mencari dahulu keberadaan gadis itu di kampus alih-alih terbawa emosi karena panggilan tak penting tadi.
---
Ada tiga gudang di kampus. Abi harus mencari Reiko di dalam satu persatu gudang. Gudang pertama adalah gudang yang ada di dekat kantin yang berisi alat-alat penyimpanan para UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), gudang kedua adalah tempat Reiko yang sebelumnya dibully dan gudang yang terakhir adalah yang terletak di gedung bertingkat dari jurusan sebelah yang jarang digunakan.
Abi mencari Reiko di gudang pertama dan kedua. Namun ia tak menemukan gadis itu di sana. Barulah ketika ia sampai di depan pintu gudang terakhir, Abi membeku. Pintu gudang itu digembok, mana mungkin Reiko ada di dalam sana sementara untuk mendapatkan kunci tersebut harus memanggil tukang kebersihan yang rumahnya jauh.
Tak kehilangan akal, Abi mengetuk pintu itu perlahan. "Rei..? Kamu ada di dalam? Kalau ya, tolong jawab.." ucap Abi lembut, namun dengan suara keras.
Adrenalinnya berpacu cepat. Suasana hening di sekitar mempermainkan jantung malang Abi yang sudah menantikan jawaban Reiko.
Dua menit berlalu, tiada sahutan dari dalam.
Abi menyerah dan berniat meninggalkan tempat itu jika suara benda terjatuh dari dalam sana tidak menghentikan langkahnya. Buru-buru ia menggedor-gedor pintu keras, mengambil batu untuk menghancurkan gembok tersebut dengan berbagai pikiran negatif di sana.
"REIKO!" teriak Abi sambil menahan rasa sakit di tangannya karena berkali-kali batu tersebut menggores permukaan kulitnya. Begitu gembok itu hancur, Abi langsung menendang pintu rapuh tersebut dengan gerakan cepat.
Pandangannya menelusuri tiap jengkal gudang dengan liar, napasnya, memburu, dan Abi tak kuasa untuk menahan aroma tak sedap yang menguar dari sana.
Napas Abi tercekat. Hal pertama yang tertangkap oleh indra pengelihatannya adalah sepotong pakaian yang tampaknya digunting sembarangan. Jantung Abi serasa akan meledak. Ia menaikkan atensinya dan mendapati Reiko yang menunduk dan menangis ketakutan. Bahkan gadis itu sama sekali tak sadar akan kehadiran Abi.
Menyadari tubuh Reiko yang hanya terbalut bra dan celana dalam hitam, Abi sontak memejamkan mata. 'Astaga.. apa-apaan ini? b******n apa yang tega menelanjangi Reiko yang tak bersalah?'
Abi memandang ke atas, melepas jaketnya yang mungkin akan kebesaran di tubuh Reiko. Ia berjongkok dan menyampirkan jaket ke pundak Reiko.
"Rei..."
Reiko sontak mendongak kaget. Tatapannya bertemu dengan wajah tampan Abi yang sama sekali tak ingin melihatnya. Reiko merasa dirinya sudah kotor dan menjijikkan.
Dengan tubuh gemetar, Reiko menarik resleting jaket Abi ke atas. Ia bergeser ke kanan untuk menjauhkan diri dari Abi, karena merasa tak pantas berada di dekat lelaki itu.
"Kamu mau ke mana?" Abi telah menjatuhkan pandangannya pada Reiko. Sebelah tangan lelaki itu menahan lengan Reiko dengan erat. "Kamu membuatku khawatir saja, katakan padaku, siapa yang melakukan ini padamu?"
Diam. Reiko tak bisa berkata apapun. Setetes air mata kembali membahasahi kedua pipi gadis itu. Ia tak tahu sudah berapa kali ia menangis seharian ini. Rasanya air matanya terkuras habis dan wajahnya membengkak karena memerah.
Abi menggigit bibir bawahnya. Reiko sudah pasti trauma. Siapapun yang telah melecehkan gadis itu, yang jelas mereka telah berbuat hal tak senonoh dan tentu mengancam Reiko untuk tidak memberitahu orang lain.
Menarik potongan pakaian Reiko yang bewarna pastel, Abi menutupi paha mulus gadis itu dengan gerakan cepat. "Pakai ini untuk menutupi kakimu. Aku akan tunggu di luar dan akan mengantarmu pul-"
"Maaf," Reiko berbisik di sela-sela tangisnya. Abi makin tak tega dan akhirnya membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Maafin aku Bi, aku ga sepantasnya dapetin pertolongan dari kamu. Aku udah terlihat menjijikkan di depan kamu dan kenapa kamu masih peduli padaku?"
"Kamu itu bodoh sekali ya Rei.." Abi melepas pelukannya dan tersenyum sedih. "Sudah kubilang aku menolongnu karena kamu temanku. Bukan karena kasihan."
"Seumur hidup aku bahkan gak punya teman.."
"Tapi, sekarang kamu punya kan?" Abi meraih tangan Reiko dan membantu gadis itu berdiri. Ketika kain di paha Reiko jatuh ke bawah, Abi langsung membuang muka dan berkata; "A-aku akan ke luar ya! Kamu nyusul aja kalau udah rapihin rambut sama penampilan kamu."
Reiko tersenyum, hatinya perlahan menghangat "Terima kasih."
Persis ketika Abi keluar, Reiko mengikat kain bewarna pastel cerah itu ke pinggangnya untuk menutupi celana dalam dan menggunakannya seperti rok. Begitu ia hendak melangkah keluar, tiba-tiba sesuatu seperti mencengkram kakinya dengan kuat.
Reiko menatap ke bawah, mendapati sebuah jemari penuh bulu dengan kuku bewarna hitam. Suaranya hilang, ia tak bisa berteriak karena ketakutan. Barulah saat Abi melongokkan kepalanya ke dalam, tangan itu menghilang. Reiko kontak berlari ke arah Abi dan melampirkan sebuah senyum palsu.
"A-ayo pulang."
To be Continued...