"Gue bisa balas dendam sendiri."
Mata Galih memicing, "Dengan apa? Dengan ngerusak tubuh lo gitu? Dengan mabuk – mabukkan setiap hari gitu? Sayang Lun. Lo bisa manfaatin gue buat jadi kekasih gelap lo di depan suami lo."
"Permasalahan rumah tangga gue, bukan urusan lo."
Luna melipat kedua tangannya, memandang Galih tidak suka. "Terserah lo deh. Tapi kalau lo butuh bantuan gue. Gue siap bantu. Temui aja gue di sini, karena gue selalu ada di sini."
"Lo kerja di sini?"
Galih menyeringai. "Menurut lo?"
Luna menatap baju yang dikenakan Galih yang tidak sama dengan baju yang di kenakan pegawai di sini. "Lo tukang cuci piring?"
Senyum Galih meredup memandang Luna datar. "Gue tampan gini tukang cuci? Yang benar aja lo." Sewot lelaki itu.
Galih beranjak, menatap Luna sebentar dan berkata, "Kali ini minuman lo gue gratisin."
Setelah mengucapkan itu, Galih beranjak pergi dan tidak lagi memandang Luna.
**
Tiga Bulan Kemudian
Menjadi istri Arga membuat Luna memilih bertingkah sebagai p*****r. Dia kini tidak lagi perlu menyiapkan keperluan Arga, sekalipun asupan yang di makan suaminya. Toh yang Arga butuhkan hanya selangkangannya, bukan perannya sebagai istri.
Seperti pagi itu. Arga sudah memakai kembali setelan kerjanya dan Luna masih bergelung di dalam selimut setelah melayani Arga semalaman. "Aku berangkat dulu."
"Hmm.."
Luna hanya berguman, karena dia terlalu malas menanggapi, lagi pula Arga akan ke Bandung menemui selingkuhannya, kenapa Luna harus repot mengurusinya? "Cepat bangun nanti kamu ada jam mengajar."
"Hmm.."
Luna lagi-lagi berguman. Matanya masih terpejam ketika merasakan Arga mengecup puncak kepalanya. "Jangan cium-cium," Guman Luna mengganti posisi kepalanya.
Arga menghela napas melihat sikap Luna dan berlalu dari sana. Sepeninggal Arga, Luna membuka matanya dan setetes air mata jatuh di pelupuk matanya.
Dia nyaris gila sekarang. Tubuhnya terasa remuk akibat perlakuan Arga semalaman dan beberapa bulan ini yang memperlakukannya seperti p*****r namun pagi ini suaminya itu malah menciumnya di dahi. Apa maksudnya? Luna terisak keras nyaris putus asa.
Cukup lama dia menangis. Ketukan di pintu dan suara Bik Kus membuatnya buru-buru menghapus air matanya. "Non, di bawah ada Ibu."
Luna mendesah. Kenapa ibunya harus datang di saat-saat seperti ini? "Iya Bi, sebentar."
Luna memilih beranjak turun dari ranjangnya perlahan. Kakinya menyentuh lantai marmer yang dingin di bawahnya, lalu perlahan berdiri. "Bilang Mama tunggu sebentar, Bi. Luna mandi dulu." Ujar Luna dari dalam.
Wanita itu mulai melangkahkan kakinya dan sedikit meringis ketika ada rasa sakit di daerah selangkangannya. "Damn. Sakit, Arga!" Desis Luna tertahan dan tetap melangkah ke kamar mandi, dan dia yakin daerah kewanitaannya kini lecet akibat Arga memaksa menerobos kewanitaannya semalam.
**
Luna menuruni satu persatu tangga dengan sebuah daster tanpa lengan, rambutnya terlihat masih basah dan jalannya sedikit kikuk karena selangkangannya terasa nyeri. Dia langsung ke dapur dan benar saja Dahlia berada di sana. Wanita 44 tahun itu masih terlihat cantik dengan gamis panjang yang ia pakai.
"Aduhh duh duh, anak gadisku yang sudah nggak gadis lagi. Jam berapa ini, Nduk? Kok baru bangun?"
Bibir Luna mengerucut mendengar ejekan Dahlia. "Mama yang kesini terlalu pagi."
Luna mendekati Dahlia dan mencium punggung tangannya. "Habis keramas kamu? Semalam di apain aja sama suamimu?"
"Mau tau aja apa mau tau banget?"
Dahlia terkekeh dan mengecup pipi dan bibir Luna. "Ma, aku bukan anak kecil lagi!"
"Kamu itu masih gadis cilikku, meski sudah nggak gadis lagi."
"Mama!"
Dahlia menarik kursi dan mendudukkan Luna di sana. "Duduk dulu deh, Mama tadi bawa opor kesukaan kamu. Mama pikir suamimu masih di rumah, kan sudah lama tuh Mama nggak makan bareng menantu Mama."
"Biar aku bantu."
"Nggak perlu. Mama tau capeknya kamu abis perang di ranjang. Mama kan pernah kayak kamu."
Dahlia mengerling jahil dan meninggalkan Luna untuk membantu Bibi. Luna terdiam cukup lama di meja makan dan merasa iri dengan kisah cinta Papa dan Mamanya yang terlihat awet-awet saja selama ini. Kenapa ya dia tidak seberuntung Mamanya?
"Papa di mana, Ma?"
"Di Bandung, ada meeting sama koleganya. Nanti malam mungkin pulang."
"Yah, tidur sendiri dong Mama? Kasihan."
Dahlia mendelik dan menggerutu. Dia membawa semangkuk berukuran besar berisi opor ayam dan meletakkannya di atas meja, di susul nasi yang di bawa Bik Kus. Ternyata Dahlia tidak hanya membawa opor melainkan ada perkedel kentang, tumis pindang tongkol dan bacem tahu tempe. "Bik, tolong panggil satpam rumah sama Pak Muin juga. Kita makan bersama." Ujar Dahlia.
"Aduh Bu, ndak perlu. Kita sudah makan tadi."
"Halah nggak apa-apa Bi. Lagian Mama masak banyak ini. Mending makan rame-rame kan, Ma?"
"Iya, Bi. Sok atuh panggil yang lain."
Bik Kus mengangguk agak sedikit canggung. Wanita bertubuh gempal itu berlalu meninggalkan dapur dan menyisakan Ibu dan anak itu duduk berdua di meja makan saling berhadapan. "Kapan rencana kamu hamil, Nduk? Sudah mau satu tahun lho kamu nikah."
Luna terdiam cukup lama. Dia sudah lepas kontrasepsi sudah agak lama. Tapi belum ada tanda-tanda dia hamil, apa jangan-jangan kandungannya sejak awal sudah bermasalah? "Hemm, doain aja Ma. Lagi usaha."
"Iya sudah terserah kamu. Lagi pula kamu masih muda. Jangan buru-buru, nikmati aja prosesnya. Bercinta itu bikin nagih kan, Nduk?"
Wajah Luna bersemu memerah, ia pun menunduk. "Mama ih."
Dahlia tertawa memandang wajah putrinya yang sudah semerah tomat. "Coba program hamil, Nduk. Tanya ke Hesti mungkin dia punya kenalan dokter kandungan. Hesti kan dokter, pasti ada kenalan Nduk."
"Iya, Ma."
**
Kontrol kandungan secara rutin di lakukan Sarah, dan Arga selalu setia di sampingnya dan menemaninya. Kandungan Sarah sudah menginjak 16 weeks, kata dokter bayinya sehat dan detak jantungnya normal. Sarah bersyukur setidaknya anaknya baik-baik saja di dalam perut, tumbuh dan berkembang baik di rahimnya.
Selama 16 minggu ini, kandungannya juga tidak rewel sama sekali. Dia tidak muntah-muntah atau cepat lelah, ngidam pun dia tidak. Setidaknya, dengan dia tidak mengidam, dia tidak akan menyusahkan banyak orang termasuk Arga. Kenapa? Karena Sarah tau bagaimana lelahnya Arga harus bolak-balik Jakarta – Bandung setiap minggu di tambah pekerjaannya yang menumpuk.
Sebenarnya Sarah tidak tega melihat Arga. Dia bisa saja meminta berpisah kalau tidak ada janin dalam perutnya, di tambah kedua mertuanya yang menginginkan mereka tetap mempertahankan pernikahan mereka meski harus sembunyi-sembunyi membuat perasaan bersalah pada Luna semakin bercongkol di hatinya.
Dan kini Sarah tengah menunggu Arga di taman rumah sakit. Arga tengah menebus vitamin yang biasanya Sarah konsumsi. Cukup lama dia menunggu di pendopo yang ada di taman itu seraya mengelus perutnya yang sedikit buncit ketika calon bayinya menendang perutnya.
Ah.. apa ada rasa paling membahagiakan ketika bayimu menendang dengan semangat?
Sarah menundukkan kepalanya dan tersenyum sembari mengusap perutnya, lalu kepalanya mendongak dan matanya terbelalak memandang sosok yang berdiri di hadapannya berjarak sekitar 5 meter dari tempatnya duduk. Dan dari samping kirinya, Arga mendekat membawa bungkus plastik berisi obat. "Sayang, ayo pulang. Ini obat—"
"KURANG AJAR!" Sahut sosok itu mendekat ke arah Arga dan memberi satu buah bogem mentah di rahang Arga.
BUGH!
Arga jatuh terhuyung dengan Sarah yang tergagap dengan tubuh gemetar.