Mobil yang di kendarai Hesti berhenti di depan sebuah rumah zaman dulu dengan halaman yang luas. Dari depan, rumah itu tampak tak berpenghuni karena teras depan rumah terlihat kotor. Hesti yang pertama kali turun dari mobil, di susul Luna dan terakhir Firda. "Kok sepi ya rumahnya," Guman Firda yang masih bisa di dengar dua temannya.
Hesti lebih dulu mendekat, mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tidak ada suara yang menyahut dari dalam meski sudah beberapa kali di ketuk. "Coba deh hubungi Sarah."
Firda menunjuk layar ponselnya. "Nggak di angkat."
"Aneh banget. Dimana ya dia? Kalau dia tinggal di sini pasti rumah ini bersih," Ujar Luna.
"Coba deh gue hubungi laki gue, minggu lalu katanya dia kesini."
Luna merogoh ponselnya di tas, dan segera menghubungi suaminya, namun panggilannya juga sama. Tidak di angkat. "Mungkin dia lagi kerja."
"Kita ke pabrik aja kali ya?"
"Jauh nggak?" Tanya Hesti.
"Enggak kok deket. Dulu kan awal – awal nikah gue mainnya di villa deket Pabrik. Jadi lumayan hafal jalan."
“Ya sudah. Ayo jalan, keburu siang.”
Sesampainya di pabrik yang juga merangkap kantor, suaminya tidak ada di sana. Kata pekerjanya Arga belum datang ke kantor pagi ini dan tentu, hal itu membuat Luna mengenyit bingung. Dua jam lalu, ketika dia tengah perjalanan suaminya mengiriminya pesan bahwa dia sudah sampai pabrik. Kenapa sekarang kok tidak ada?
"Kalau mess tempat tinggal suami saya di mana ya Pak?" Tanya Luna pada Satpam itu.
"Pak Arga nggak tinggal di mess sini, Bu. Saya tidak tau beliau tinggal di mana."
"Loh kok?"
Hesti dan Firda saling berpandangan. "Beneran Pak? Coba Bapak tanyakan ke karyawan di sini. Mungkin tau di mana suami saya tinggal.”
“Baik Bu, tunggu sebentar.” Satpam itu berlalu dan memasuki pos satpam. Luna masih berpikiran positif tentang suaminya, walau dalam hatinya sudah ada denyutan ngilu kalua ternyata selama ini suaminya itu membohonginya. Hesti dan Firda yang menemani Luna mencoba menyemangati sahabat mereka.
Tak lama, Satpam itu keluar menghampiri mereka. “Pak Arga memang kesini Jumat kemarin. Tapi nggak ada desas-desus Bapak tinggal di mess."
"Jumat - Sabtu bukannya kesini Pak?"
"Enggak Bu, Jumat saja. Sabtu saya jaga, tapi nggak ada Pak Arga."
Bapak sudah tanya suami saya tinggal di mana?”
“Tidak ada yang tahu, Bu.”
Luna terdiam cukup lama. Jadi kemana Arga? Dia bohong?
Menerima kenyataan itu membuat Luna seolah tertampar. Arga membohoginya. Kepala Luna rasanya mau pecah, dia mulai mengait-ngaitkan keanehan yang terjadi pada sikap suaminya. Beberapa minggu lalu, Arga tidak bisa di hubungi sama sekali, dan sikap Arga menjadi pendiam dan terakhir, di pindah tugaskan disini secara mendadak. Kilasan memori itu membuat Luna memijat kepalanya yang berdenyut sakit.
"Ya sudah, Pak. Terima kasih informasinya," Itu suara Hesti.
Hesti dan Firda memapah Luna yang terlihat linglung menuju mobil terparkir. Ketika mereka sudah berada di depan mobil, Luna segera memeluk Firda dan terisak.
"D—ia bohong." Ujar Luna dengan suara tercekat.
Iris matanya meredup. Pelupuk matanya sudah penuh oleh bendungan air. "Apa ini ada hubungannya sama Sarah?" Tanya Firda retorik namun berhati-hati karena takut menyakiti Luna.
"Lo jangan ngomong gitu dong."
"Nggak gitu Hes, kalau di pikir pikir mungkin iya. Masalahnya rumah Sarah kosong, Sarah di hubungi susah. Suami Luna juga, lalu waktu kita kemari Arga nggak ada. Menurut lo?"
"Kita nggak ada bukti. Iya kalau benar. Kalau nggak?"
Luna menarik napas dalam-dalam melepas pelukannya dan menghapus airmatanya, ia menatap kedua sahabatnya dan berkata, "Kita pulang aja ke Jakarta."
"Tapi, Lun?"
Luna tersenyum tipis dan menggeleng, seoalah mengatakan 'gue baik-baik aja, Fir'
**
Luna tengah menyeduh teh ketika ada sebuah tangan membelit perutnya, di tambah sebuah kecupan bersarang di lehernya. Luna melepas sendoknya begitu saja, tangannya terkepal ketika ciuman itu turun di bahunya dan dia merasakan ada tangan yang meremas payudaranya dari balik baju tidur yang ia kenakan.
"Mas.."
Arga menarik tubuhnya, membalikkan tubuh Luna dan mencumbu bibir istrinya itu. Tubuh Luna terasa kaku ketika dengan sedikit memaksa, Arga merobek baju tidurnya, lalu mengangkat tubuh luna hingga duduk di atas meja makan. Sikap Arga yang tidak sabaran membuat Luna bingung. Tubuhnya terasa sulit menerima Arga bahkan ketika suaminya itu bermain dengan tidak sabar.
Arga melepaskan diri dari tubuhnya setelah percintaan mereka, lalu memakaikan kemejanya untuk di pakai Luna. "Maaf, aku terlalu rindu."
Luna tidak menjawab dan memilih turun, dia mengambil lagi tehnya dan meninggalkan Arga untuk ke kamarnya di lantai atas. Buru-buru dia meletakkan cangkirnya di atas meja, lalu Luna berlari ke kamar mandi dan menguncinya.
Luna menangis di sana.
**
"Luna, Sayangku."
Itu suara Papanya, terlahir sebagai anak tunggal menjadikannya sangat di manja di keluarganya. Mamanya penuh perhatian juga Papanya yang sangat mencintainya. Luna berhambur, memeluk tubuh Papanya sangat erat. "Tumben minggu datang? Suamimu kemana?"
"Di rumah."
Raihan tak menjawab dan memilih mengeratkan pelukannya di tubuh putrinya. "Mama dimana, Pa?"
"Kamar mungkin."
"Loh padahal ini sudah siang, Pa."
"Biasalah, semalam habis main kuda-kudaan."
Luna tertawa begitu juga Raihan. "Papa nih. Sudah Luna bilang, buatkan adik buat Luna."
"No, Sayang. Waktu Mama lahirin kamu. Papa sampai kencing di celana. Tidak untuk kedua kali."
Luna tertawa ketika lagi-lagi Raihan mengingatkan hal itu. Memang dulu Raihan dan Dahlia, Mamanya menikah muda. Mereka menikah ketika keduanya baru lulus SMA dan satu tahun kemudian Luna lahir. Menurut cerita Dahlia, dulu sewaktu Dahlia melahirkan secara normal, Raihan yang paling parno. Bahkan Luna masih ingat ekspresi Mamanya ketika bercerita, Reihan menangis amat sangat keras karena takut kehilangan Dahlia ketika Dahlia mengejan dan Luna tidak keluar-keluar, ketika Luna lahir dan terdengar suara tangis Luna. Reihan hanya melongo melihat putrinya yang memerah, dan saat itu tangis Raihan menjadi tangis haru dan yah. Dan Papanya tidak sadar telah kencing di celana selama menemani Dahlia mengejan. Baru ketahuan kalau papanya kencing saat Bidan yang membantu persalinan Luna mendapati cairan berwarna kuning berceceran di lantai.
Mungkin karena itulah, sampai 25 tahun Luna hidup, Raihan dan Dahlia tidak berencana menambah momongan lagi. Beberapa tahun lalu saat kuliah, Luna pernah menyinggung tentang adik, tapi karena umur Dahlia sudah memasuki 40 tahun, dan akan beresiko jika dia hamil, maka Luna tidak lagi bertanya dan paham.
"Lagi pula, umur Mamamu sudah 44 tahun, mana bisa."
Luna terkekeh dan mengecup pipi Raihan. "Daripada kamu ingin punya adik, kenapa kamu nggak bikin adik aja sama suamimu. Dia nggak belok kan?"
Bibir Irna mengerucut dan ia memukul lengan Reihan, "Papa ngawur!"
"Ya habis sampai sekarang kamu belum tekdung. Seharusnya Arga berguru ke Papa Kiat – Kiat Sekali Tempur Langsung Jadi."
Tawa Luna tidak bisa dia tahan. "Papa ada-ada aja! Buktinya setelah Luna lahir, adik Luna nggak jadi – jadi."
"Yang pentingkan coblosan pertama Papa ke Mama kamu langsung jadi kamu."
"Papa Ih!"
Raihan terkekeh dan merangkul putri semata wayangnya, tak seberapa, Mamanya yang cantik dengan balutan daster datang, "Loh putri Mama kok di sini?"
"Ma! Ya ampun baju Mama. Nanti kalau di lihat orang gimana?" Jerit Luna frustrasi, melihat Mamanya hanya memakai daster selutut.
"Nggak ada yang lihat juga. Mama kan mau pacaran di rumah Kak sama Papa. Kamu juga ngapain minggu – minggu kesini?"
Luna mendelik, ketika Mamanya duduk di samping kanan Papanya dan mulai bergelayut manja. "Jadi aku nggak boleh kesini?"
"Ya boleh. Tapi—"
"Hei! Sudah jangan berantem," Ujar Raihan menengahi. "Mama juga nih. Suka banget godain anaknya. Sudah sana ganti baju, katanya tadi mau arisan di rumah Bu RT."
Dahlia melepas tangannya dan menjauhkan tubuhnya dari Raihan. "Nggak seru! Kapan lagi bisa godain Luna."
"Ih, Mamaaaa."
**
"Baru pulang?" Tanya Arga ketika Luna meletakkan tasnya di atas meja riasnya. Wanita itu melirik suaminya yang sudah rebahan di ranjang. Awalnya, Luna mengira jika Arga sudah tidur, namun ternyata belum. "Kenapa?"
"Ini sudah hampir jam 12 malam. Dari mana saja?"
"Main ke rumah Mama."
Luna mulai menghapus make upnya dengan pembersih menggunakan kapas. "Ada yang mau aku omongin ke kamu."
"Ngomong aja."
Pikiran Luna mulai melalang buana pada kenyataan menyakitkan yang mungkin akan keluar dari bibir suaminya. "Aku ada penambahan waktu, baru bisa pulang minggu siang."
Gerakan tangan Luna berhenti seketika. Sorot matanya nanar, ada kesedihan di dalamnya.
"Hmm, oke."
Luna membuang kapasnya di tong sampah kecil di bawah meja rias, lalu tanpa memandang suaminya, Luna memasuki kamar mandi. Di depan wastafel, Luna memandang pantulan bayangannya di cermin.
Kebohongan apa yang sedang kamu sembunyikan dari aku, Mas?