Raka Jiwa Perwira

1693 Words
Aku adalah Raka Jiwa Perwira, biasa dipanggil Raka, pemuda yang tak pernah banyak berbicara. Bagiku berbicara adalah mengisi ruang kosong dalam kenyataan, tetapi jika apa yang ada pada diriku adalah partikel tanpa sekat kosong, lalu untuk apa aku berbicara. Aku lebih suka berbicara dengan diri sendiri, dengan begitu aku semakin memahami kesejatian diri. Tetapi belakangan kebiasaanku ini menjadi letupan pertanyaan, bukan dari siapa-siapa tetapi lagi-lagi oleh diriku sendiri. Aku pun kembali berdialog, membicarakan mengenai diriku dengan aku yang lain. Usia ku kini telah beranjak 30 tahun, sebuah usia yang sudah terlewat matang untuk mendapatkan seorang tambatan hati, tempat berbagi hingga raga dan jiwa ini mati. Tapi itu tak menjadi persoalan bagiku. Di dunia modern, pernikahan bukanlah sebuah hal yang penting dilakukan. Karier dalam hidup atau minimal kedigdayaan dan banyak berkarya menjadikan manusia buah peradaban modern tidak lagi menyempatkan diri dalam hiruk pikuk pencarian pasangan. Itu setidaknya alibi yang selalu aku sampaikan di kala sahabat dan keluargaku menanyakan kapan aku akan menikah. Tetapi aku lupa, aku berbicara di depan orang yang lekat dengan adab ketimuran. Bagaimanapun aku menjelaskan soal kemajuan peradaban di dunia belahan barat sana, tetap saja stigma peradaban timur berlaku. Bukan berarti pemikiran orang timur mundur beberapa langkah dari apa yang dimiliki orang barat, hanya saja untuk sesuatu hal termasuk peradaban dan falsafah kehidupan, aku lebih menyukai cara orang barat berfikir. Lagipula kiblat peradaban tak pernah bisa ditentukan, barangkali kita yang menghamba pada peradaban barat selama ini justru tidak menyadari, jika banyak orang barat menginginkan kebahagiaan serta kehidupan seperti orang timur, pun begitu sebaliknya. Dunia terkadang memang memilukan. Tentang lima tahun lalu saat alur kehidupan membawaku dalam penderitaan. Aku saat itu masih menjadi mahasiswa di salah satu kampus ternama di Jakarta, tempatku menemukan rasa cinta yang benar-benar utuh bersamanya. Entahlah, barangkali itu adalah gejolak seorang muda yang sedang bertumbuh kedewasaannya. Tapi tidak, justru aku yakin itu adalah buah dari kesadaran seorang dewasa. Aku memang jatuh cinta padanya, yang telah kuberikan hati untuk dicaci dan perlahan mati. Sebagai seorang mahasiswa, kehidupan akademisku terbilang cukup baik. Aku tidak pernah mengulang mata kuliah, bahkan pada pelajaran yang paling menyulitkan, matematika dan segala hal yang berhubungan dengan angka. Tetapi, untung tak dapat diraih, jurusan yang aku tempuh saban hari memberikan persoalan yang penuh dengan angka. Bagaimana tidak? Aku kuliah di jurusan Ekonomi, sebuah bidang yang menuntut perhitungan secara matematis terhadap kebutuhan analisis. Meskipun menyulitkan, perlahan segalanya dapat aku selesaikan. Pada awalnya, aku memiliki mimpi jika bangku perkuliahan merupakan jalan menghadirkan cita-cita, tentang tatanan kehidupan ideal nantinya. Semua berangkat dari kesadaran jika perubahan bisa jadi ditentukan di titik ini. Saat kita mengenyam tingginya pendidikan. Bangku perkuliahan pun nyatanya tidak pernah memuaskan dan menuntaskan keinginanku dalam pencarian. Segalanya berbanding terbalik dengan apa yang kubayangkan. Aku yang lahir di awal tahun 90-an, sempat merasakan semangat pembaharuan dan perubahan di tengah perjalanan kehidupan dari masa kanak-kanak menuju remaja, orang-orang mengistilahkan dengan kata ‘Reformasi’. Saat itu di Indonesia, terjadi gejolak politik yang merubah arus kekuasaan, tepatnya pada medio tahun 1997. Lantas aku merasa, mahasiswa memiliki peran sentral terhadap perubahan kondisi negara ini. Mereka dengan gagahnya, berani menentang kekuasaan dan mengoreksi berbagai kebijakan yang dianggap salah serta merugikan rakyat. Aku membayangkan jika berada di tengah-tengah mereka, betapa ksatrianya diri ini, menjadi salah satu orang yang memiliki andil terhadap perubahan. Memang tidak ada hal yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. Budaya mahasiswa dan dunia kampus pasca reformasi seperti mati suri. Aku tidak melihat lagi adanya protes dan aksi demonstrasi atas nama gerakan moral menuntut perbaikan kondisi dari penguasa. Padahal kekuasaan pasca reformasi tak berbeda jauh dengan pola yang diterapkan era Orde Baru dahulu. Perbedaannya, kita sedikit menjadi lebih bebas berekspresi, hanya itu. Tetapi kembali, hanya segelintir orang yang memahami arti dari kebebasan, apalagi makna ekspresi. Semuanya seolah menonjolkan diri, menjadi manusia-manusia paling ekspresif di muka bumi ini.  Mengenai mahasiswa, meskipun sudah lama aku tidak melihat mereka turun ke jalan membawa amanat penderitaan rakyat, tetapi hal itu tidak melunturkan paradigma jika dunia kampus dan menjadi mahasiswa akan memberikanku kepuasan tersendiri. Tidak pada pelajaran di ruang kelas tentunya, tetapi dalam dinamika pergolakan gerakan mahasiswa di luar kampusnya. Aku hanya ingin menjadi benar, di kala yang lain tidur lelap dalam kenyamanan dan kepalsuan. Di bangku kuliah, lagi-lagi atas ketidakpuasanku terhadap berbagai pelajaran yang diberikan dosen pengajar, aku lebih banyak melarikan diri dan mencari hal lain di dunia luar sana yang barangkali akan dapat memuaskan hasrat serta imajinasiku. Dunia organisasi adalah pelarianku dan ini adalah tempat yang barangkali aku cari. Terlebih ketika aku merasa bahwa intelektualitas sebagai mahasiswa tidak lengkap jika kita tidak menjadi anak kandung organisasi. Sedikit aku menemukan adanya harapan kehidupan di organisasi kampus. Kami mahasiswa-mahasiswa yang berhimpun dalam satu organisasi seringkali menjadikan waktu senggang di sela jam perkuliahan sebagai media berdiskusi, membicarakan kondisi bangsa dan negara. Sesekali juga kami membicarakan perkuliahan. Untuk urusan satu ini aku lebih memilih untuk melihat ke bawah pohon di depan perpustakaan. Di situ biasanya berkumpul beberapa gadis, bercanda dengan teman sebayanya sambil menyunggingkan senyum yang begitu merekah tanpa celah kemunafikan. Lalu, melalui dunia organisasi aku bertemu dengannya yang pernah bersama dalam bahagia. Dan masa merubah segalanya, jalan hidup menentukan betapa nestapa itu nyata. Takdir mempertemukan kami dalam sebuah kisah yang cukup rumit, hingga kami tersadar. Tidak, barangkali hanya aku yang tersadar jika rasa cinta mulai hadir dalam setiap pertemuan.          Sekejap aku terkesiap dari lamunan tentang masa lalu. Kali ini kembali seorang perempuan membuyarkan kenangan. Tetapi tidak dengan rasa sakit, ia yang kutunggu datang dengan agak tergesa tampaknya. Berjalan dengan rambut yang masih digerai hingga sebahu, buliran peluh menetes di dahi pun tak bisa tertutupi meski kemudian dibasuhnya dengan punggung tangan. Dalam rona lelah di tabir wajahnya, kulihat rupa anggun tidak dapat menghalangi segala pesona yang ada padanya. Sore ini ia menggunakan stelan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, seolah ingin menunjukkan pada dunia, di tengah keseriusannya menjalani kehidupan, ia tetaplah pribadi yang bersahaja, bebas, dan tak lekat dalam ikatan. Perempuan ini lantas bergegas mengambil tempat duduk di depanku sambil menjatuhkan tumpukkan kertas dalam bundel berkas tebal di meja, dekat cangkir latte milikku. Gadis manis yang membuatku hadir di tempat ini bernama Senja Utari, sekretaris pimpinan LSM tempatku berkegiatan. Untuk ukuran seorang perempuan, Senja bisa dikatakan sangat jelita, ayahnya adalah Jawa totok asal Solo, sementara ibunya asli priangan, Garut. Sedikit banyak, manis dan cantiknya suku Jawa juga Sunda ada dalam perpaduan wajah Senja. Kulitnya kuning langsat, persis seperti peranakan Cina. Jangan tanyakan bentuk wajahnya, Ia memiliki wajah yang hampir bulat sempurna seperti Neptunus. Hidungnya melancip ke luar menambah pesona yang dimilikinya. Alisnya pun meruncing ke samping hampir menyentuh pelipis, ketebalannya bukan hasil dari guratan pensil, Ia tumbuh secara alami, menghiasi kecantikan wajah ini. Banyak pria memuji kesempurnaan perempuan ini melalui matanya, aku pun turut mengamini. Mata Senja layaknya lingkaran biru telaga warna di Dieng, cantik, sangat cantik. Tatapannya pun tak kalah dingin dari kabut di atas Rinjani kala fajar tiba mengusap segala kepekatan malam. Betapa Senja adalah mahakarya Tuhan untuk diagungkan keindahannya.  Siapapun pria yang melihat pasti akan langsung terbawa simpati dari keanggunannya, tak terkecuali teman-teman sekantor kami di LSM. Senja seringkali menjadi objek buasnya mata-mata lelaki. Tapi aku suka pada prinsipnya sebagai seorang perempuan yang enggan membuka ruang pada jalangnya kelakuan kami para lelaki. Pada akhirnya, beberapa teman yang suka menggodanya pun menjadi segan. Sejak merampungkan pendidikan strata satu di perkuliahan, aku memang lebih banyak berkegiatan di LSM yang diberi nama Rangka Karya. Rasanya kurang lebih sudah sekitar 4 atau 5 tahun aku keluar masuk kawasan pedesaan bersama dengan kawan-kawan yang tergabung dalam LSM Rangka Karya, guna mengembangkan taraf sosial ekonomi masyarakat di sana. LSM ini bergerak pada bidang sosial ekonomi, sekali-kali kami juga masuk dalam ranah advokasi. Namun itu tak terlalu sering jika dibandingkan dengan berbagai program terobosan pengembangan masyarakat yang kami lakukan.   Keaktifan di organisasi kemahasiswaan dahulu sedikit banyak berpengaruh pada hidupku saat ini. Pengalaman mengorganisir kelompok massa, melakukan komunikasi lobi dan pendekatan personal hingga sampai segala macam hal yang menjadi gerak sendi organisasi aku pelajari. Dari situ pergaulanku meluas, tidak hanya pada teman sebaya, beberapa orang yang merupakan alumni dari organisasi ini juga aku kenal secara baik. Mereka menganggapku sebagai adik sendiri yang tak perlu sungkan jika meminta bantuan. Hal itu tak terlepas dari cukup seringnya komunikasi yang terbangun. Awalnya komunikasi dilakukan demi berjalannya roda organisasi, segala hal terkait kondisi dan langkah organisasi ke depan pasti aku serta teman-teman sehimpunan diskusikan bersama dengan alumni. Sebagai junior di organisasi, kami tidak ingin dianggap melangkahi mekanisme dan budaya organisasi. Lagipula, komunikasi dengan senior yang secara peraturan organisasi telah menjadi alumni, terkadang menguntungkan. Banyak dari mereka yang telah bekerja di berbagai perusahaan swasta, tak sedikit pula dari mereka berkegiatan di sektor pemerintahan dan ruang lingkup sosial politik. Seperti salah seorang senior yang dekat secara pribadi denganku, Hendra Atmaja. Aku mengenalnya ketika organisasi kampus yang kuikuti ingin mengadakan pelatihan untuk anggota baru. Pada rapat organisasi, kami memutuskan untuk mengundang Hendra Atmaja sebagai pembicara dalam materi yang akan disampaikan kepada calon anggota organisasi. Nama Hendra Atmaja cukup terkenal di kancah perpolitikan nasional, untuk alasan itu pula kami menjadikannya sebagai pembicara, agar anggota baru tertarik hadir demi mengupas apa yang ada dalam isi kepalanya. Sudah sejak lama Hendra Atmaja dinisbahkan status sebagai seseorang yang cukup berpengaruh pada kebijakan publik nasional di negara ini. Ketika kami memintanya sebagai pembicara, dirinya masih cukup sibuk berkeliling dari satu media ke media lainnya untuk mensosialisasikan berbagai gerakan sikap serta gerakan politik dari partai yang diikutinya, Partai Harapan Semesta (PHS). Saat itu Hendra Atmaja memiliki jabatan cukup penting di PHS, dirinya didapuk untuk menjadi juru bicara partai sekaligus Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dengan koordinasi langsung dari Ketua Umum PHS, Hartedjo Winoto seorang begawan ekonomi nasional. Tak lama waktu berselang dari bergabungnya Hendra Atmaja ke dalam tubuh PHS, dirinya langsung mendapatkan kepercayaan penuh dari Hartedjo. Aku sendiri tak heran begitu cepatnya kepercayaan didapatkan, dahulu saat aku masih mengenyam pendidikan di sekolah menengah, nama Hendra Atmaja cukup populer menghiasi berbagai pandangan politik nasional di media massa sebagai pengamat politik dan ekonomi. Kadar intelektualitas dan perspektif keilmuan dalam menganalisis gejolak ekonomi politik nasional dari seorang Hendra Atmaja memang tidak perlu diragukan lagi. Pasca menyelesaikan kuliahnya di Indonesia, pria dengan perawakan kurus tinggi ini langsung mendapatkan beasiswa pasca sarjana di Inggris. Secara teori, Hendra Atmaja sangat matang.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD