Elian bersandar ke dinding di belakangnya. Lima menit lagi kelas Nandika selesai. Dan Elian sengaja menunggu pacarnya itu. Tak selang lama, dosen keluar dan orang-orang perlahan keluar dari ruangan. Semua cowok menatap Elian, tahu kalau Elian adalah pacar Nandika. Ketika Nandika keluar, cowok itu tersenyum lebar.
"Tumben kamu nungguin aku," kata Nandika.
"Aku nggak bawa mobil," kata Elian dengan wajah datar.
"Oke, aku anter kamu pulang." Nandika menyusul Elian yang sudah berjalan di depannya. "Atau kamu ingin pergi dulu? Ini masih sore. Lumayan kalau kita jalan sebentar," kata Nandika.
"Langsung pulang aja."
Nandika tak membalas lagi, seperti tahu kalau suasana hati Elian sedang tak baik. Mereka sampai di parkiran dan Nandika membukakan pintu mobil untuk Elian.
"Kamu marah sama aku?" tanya Nandika sambil menyalakan mobilnya.
"Emang aku keliatan marah, ya?" tanya Elian.
"Nggak, sih. Cuma kamu nggak kayak biasanya aja."
"Emang aku biasanya gimana?"
Nandika menatap Elian. "Kamu bener-bener marah ya. Ada apa, El?" tanya Nandika dengan nada lembut.
"Dua hari yang lalu kamu kemana? Malemnya, saat kamu chat aku dan bilang lagi ngerjain tugas," tanya Elian.
Nandika tak langsung menjawab, tapi cowok itu terlihat tenang. Tak seperti yang Elian duga. Kalau Nandika benar-benar selingkuh, dia pasti akan panik, kan?
"Aku beneran lagi ngerjain tugas, kok. Aku begadang sampai jam tiga pagi," katanya dengan santai.
"Tapi Keisha liat kamu jalan ke mall sama cewek malem-malem." Elian menatap Nandika dengan tajam. "Kamu berani bohongin aku, Nan?" kata Elian dengan tajam.
Nandika menurunkan kecepatan mobilnya. Cowok itu seperti berpikir, lalu tiba-tiba tersenyum lebar, seperti ada yang lucu.
"Itu aku nemenin adikku, El. Dan kamu chat aku jam sembilan malem. Itu aku udah di rumah. Makanya aku bilang ke kamu lagi belajar." Nandika tertawa pelan sambil melirik Elian. "Bisa-bisanya kamu marah gara-gara aku jalan sama Monika," katanya.
"Apa buktinya kalo cewek itu Monika?" tanya Elian masih tak percaya.
Nandika tersenyum miring. "Kamu bisa tanya Monika langsung." Nandika mengeluarkan ponselnya dan membukanya dengan satu tangan. "Atau aku kirim foto kami malam itu. Kamu bisa tanya Keisha, cewek yang dia liat itu beneran ini atau nggak," kata Nandika sambil mengirim gambar ke Elian.
Gambar itu memang Nandika dan Monika. Elian sering datang ke rumah Nandika, jadi dia sedikit mengenal Monika. Meskipun awalnya Elian susah mendekati anak SMA kelas 3 itu karena Monika yang pendiam. Elian merasa malu karena salah paham, tapi ia tetap mengirim gambar itu ke Keisha. Takut kalau Nandika membohonginya.
Dua menit kemudian, Keisha menjawab.
Iya bener. Ceweknya pake dress warna kuning. Jadi itu adiknya? Weh, gue salah kalo gitu. Lo nggak berantem sama Nandika gara-gara gue kan, El?
- Keisha.
Elian langsung menutup ponselnya. Tak mampu berkata apa-apa di depan Nandika. Sedangkan Nandika seperti tak terganggu dengan masalah itu.
"Itu bener Monika," kata Elian.
Nandika tersenyum lembut, "Aku mana pernah bohong ke lo, El. Lain kali, jangan salah paham lagi, ya. Aku nggak mungkin bohongin kamu," kata Nandika.
"Sorry, Nan. Aku cuma berpikir - kita udah 6 bulan pacaran dan kita nggak pernah berantem. Apa itu hubungan yang normal? Aku nggak pernah tahan pacaran lebih dari 3 bulan selama ini. Aku takut waktu yang kuhabiskan sama kamu sia-sia. Aku bisa memaafkan semua kesalahan pasanganku, tapi bukan sebuah kebohongan. Apapun yang terjadi, aku pengen kita jujur, meskipun itu bakal merusak hubungan kita. Karena dengan itu aku nggak bakal benci sama kamu. Karena dengan itu sebuah kepercayaan bisa terjalin - menurutku begitu dan aku harap kamu memahaminya," kata Elian panjanh lebar.
Nandika hanya tersenyum kecil, lalu berbelok ke rumah Elian. "Besok aku jemput?" tanyanya.
"Nggak usah. Aku naik mobil sendiri, besok mau bareng Keisha juga," kata Elian.
"Oke."
Elian turun dari mobil. Perasaannya menjadi kosong. Elian tahu dirinya tidak mencintai Nandika. Elian hanya merasa nyaman dengan cowok itu. Secara penampilan, Nandika adalah tipe Elian. Dari rambut kasarnya yang baru tumbuh dan terlihat tak rapi, warna kuĺitnya yang lebih putih dari Elian, alis tebalnya, dan suaranya. Nandika adalah cowok ideal yang hanya ada di pikiran Elian dulu, tapi sekarang cowok itu benar-benar ada. Dan Elian tak akan melewatkannya. Itulah yang sekarang Elian lakukan.
Tentu saja ia menyukai Nandika. Dan kadang ia suka mendapat perhatian dari cowok itu. Tapi Elian lebih banyak merasa kosong bersama Nandika. Elian tak pernah merasakan jantungnya berdebar karena godaan Nandika atau tiba-tiba rindu dan ingin mendengarkan suaranya - Elian tak pernah merasakannya.
Seperti sekarang, saat Elian akan berpisah dengan cowok itu. Elian tak merasa sedih sama sekali. Elian juga tak pernah ingin menahan Nandika lebih lama bersamanya. Dan Elian pikir Nandika juta begitu. Nandika bahkan tak pernah menyentuhnya sedikit pun dalam enam bulan ini.
"Besok makan siang, tunggu aku ya, Sayang," kata Nandika dengan senyum kecil tampannya.
Bahkan saat memanggilnya sayang pun, Elian tak merasakan apapun. Apa hubungan ini pantas ia pertahankan? Karena Elian sedikit merasa bosan. Seperti dirinya yang biasanya - cepat bosan.
Nandika menutup jendela mobilnya lalu pergi dari rumah Elian. Elian masuk ke rumah dan Maminya langsung menghampirinya.
"Kamu masih pacaran sama anak mesin itu, El?" tanya Suran, ibu Elian.
"Iya. Kenapa emangnya?" tanya Elian.
"Nggak pa-pa. Mami kira kalian hanya bertahan paling lama dua bulan. Kali ini lebih lama dari mantan-mantanmu. Apa kamu sangat mencintainya?" tanya Suran lagi.
"Nggak. Aku nggak cinta sama Nandika," jawab Elian.
Mata Suran membulat, tak percaya dengan perkataan orang tuanya. "Kalo kamu nggak cinta, kenapa kamu pacaran sama dia? Kamu nggak mungkin pacaran cuma buat aneh-aneh kan, El?"
Elian mengambil air dingin di kulkas. "Aneh-aneh apa sih yang Mami maksud? Lagian, emangnya kalo pacaran sama orang yang nggak kita cintai itu salah? Nggak ada aturan kayak gitu, Mi. Aku sama Nandika cuma pacaran, bukan mau nikah," kata Elian.
"Tapi tetap aja, Elian. Daripada kamu menghabiskan waktu buat pacaran sama orang yang nggak kamu suka, kenapa nggak cari cowok yang kamu cintai aja?" tanya Suran.
"Sayangnya, nggak ada cowok yang aku cintai, Mami," kata Elian.
Suran mengambis tas belanja yang tergeletak di sofa, lalu memberikannya pada Elian. "Nanti malem kita makan malam bareng sama Om Mino. Kamu tau Om Mino, kan? Pokoknya nanti kita sekeluarga harus dateng. Dan kamu harus dandan yang cantik biar nggak malu-maluin," kata Suran.
Sebenarnya Elian tidak tahu siapa itu Om Reno. Tapi ketika ia ingin bertanya, Suran sudah meninggalkannya. Elian hanya memegang tas berisi gaun bermerek itu dengan kesal. Padahal nanti malam dia ingin menghabiskan waktu buat nonton BTS. Demi Tuhan, besok sabtu dan seharusnya Elian bisa rebahan dengan tenang malam ini.
Elian masuk ke kamarnya. Membuka gaunnya dan tersenyum kecil. Ternyata gaun pilihan Maminya tidak jelek-jelek amat. Meskipun Maminya cenderung kuno dan konservatif, tapi soal fashion, sepertinya Maminya lebih baik dari Elian. Gaun berwarna hitam dengan lengan balon warna putih. Gaun itu cantik, tapi tak begitu feminim. Sesuai dengan kesukaan Elian. Elian dapat membayangkan dirinya memakai gaun itu dan sepatu boot-nya nanti.
Elian menggantung gaunnya dan melihat jam dindingnya menunjukkan pukul lima sore. Masih ada waktu dua jam. Elian pun memutuskan untuk memakai sheet mask-nya. Sudah lama ia tidak merawat wajahnya. Elian berbaring di ranjangnya hingga tanpa sadar cewek itu pun tertidur. Padahal ia harus segera bersiap-siap atau Maminya akan membunuhnya di tempat.
****
"Awas, kamu harus jaga cara bicaramu. Jangan sampai kata-kata kotor keluar dari mulutmu, Elian. Mami akan ngawasin kamu tiap detik," kata Suran ketika mereka turun dari mobil.
Elian mendesah pelan, "Katanya semua harus dateng, kenapa Kak Virgo nggak ikut? Dia juga di rumah, kenapa hanya aku yang harus ikut?" tanya Elian dengan kesal.
"Virgo kan banyak kerjaan, Elian. Dia harus balik ke kantornya nanti malam." Suran merapikan rambut Elian ketika mereka menaiki lift hotel itu. "Jangan banyak komen. Kamu udah cantik banget malam ini. Anak cewek kita cantik banget ya, Pah?" kata Suran pada Jamie - suaminya.
"Elian, kamu harus sering pakai gaun kayak gini, Nak. Buang aja semua jeans sobek-sobekmu itu. Papi lebih suka kamu berdandan seperti sekarang," kata Jamie.
Elian memutar matanya. "Make up-ku kayaknya ketebalan, deh. Iya kan, Mi? Kenapa aku harus pakai Make Up juga, sih? Aku lebih suka tampil natural. Apa aku ke toilet dulu buat hapus make up-ku, ya?" tanya Elian lebih pada dirinya sendiri.
Suran menarik Elian keluar dari lift. "Jangan sembarangan. Mami ngerias kamu sepenuh tenaga dan kamu sangat cantik sekarang. Percaya diri aja, Elian. Jangan masang wajah cemberut kayak sekarang," kata Suran.
Elian terbengong, bukan karena perkataan Maminya. Namun, karena megahnya restoran yang ia masukin. Sejak ayahnya menekan lantai tertinggi hotel ini, Elian sudah menduga mereka akan makan di restoran mewah. Tapi Elian tak menyangka mereka masuk ke Eater La Restaurant - restoran Prancis bintang lima di Canaya Hotel.
"Mino..." panggil Jamie sambil mengangkat tangannya pendek ke pria di meja 6.
Pria yang dipanggil Mino itu berdiri dan tersenyum lebar ketika melihat Jamie. Mereka berpelukan sangat erat, seperti seorang sahabat yang lama tak bertemu. Seorang wanita paruh baya cantik di sebelah Mino pun memeluk Suran. Mereka saling berpelukan dan Elian hanya berdiri kaku. Apa ini acara reuni orang tua? Sebenarnya apa tujuan Mami mengajaknya ke sini? Mereka tentu saja bukan saudara keluarga Elian. Elian tak pernah melihat dua orang itu sebelumnya.
"Aku nggak nyangka akhirnya kita ketemu lagi setelah sepuluh tahun. Gimana kabarmu?" tanya Mino.
Jamie tersenyum, "Kita duduk dulu," katanya sambil tertawa.
"Oiya, aku sampai lupa duduk karena senang banget ketemu kamu, Jam," kata Mino.
Ayah Elian duduk di depan pria bernama Mino itu dan Elian menarik di kursi paling ujung. Elian meihat tas kecil di kursi depannya, menandakan bahwa ada satu orang lagi di antara mereka. Apa dua orang di depannya itu juga membawa anaknya? Apa ini? Kalau anak mereka seorang laki-laki, Elian yakin orang tuanya pasti merencanakan sesuatu yang mengerikan.
"Bahasa Indonesiamu tetap bagus kayak dulu. Kamu nggak ada korea-koreanya sama sekali, Min," kata ayah Elian.
Mino tertawa, "Iya, kah? Soalnya di rumah sama di restoran pun, aku tetep pake bahasa Indonesia. Aku tinggal di Korea, tapi tetep banyak ketemu orang Indonesia," kata Mino.
"Kamu sih bukanya restoran Indonesia - ya pasti yang datang orang Indonesia, lah. Tapi emang banyak ya, orang Indonesia di Gangnam?" tanya Jamie.
Mino menjawab dengan malu, "Lumayan lah," katanya.
Elian hanya diam, berusaha tak menarik perhatian siapapun, tapi wanita paruh baya di depannya, seperti sedang memperhatikannya. Elian dapat merasakannya, sejak Elian duduk, wanita itu menatapnya terus menerus, saat Elian minum, tertawa, bahkan gerakan kecil yang tak ia sadari. Kenapa wanita paruh baya itu melihatnya terus-terusan?
"Ini pasti anak keduamu, ya. Namanya siapa -" Wanita di depan Elian itu tampak berpikir. "Aku tahu - jangan di sela dulu. Dia Elian, kan? Wah, liatlah betapa cewek kecil itu tumbuh menjadi sangat cantik," kata wanita paruh baya itu dengan wajah berbinar.
Melihat Elian kebingungan, wanita itu berkata lagi, "Kamu pasti nggak ingat sama Tante, ya? Padahal waktu kamu kecil dulu, Tante sering ke rumahmu. Apa kamu masih suka gambar, Elian? Dulu kamu seneng banget waktu Tante beliin kuas sama kanvas kecil."
Kening Elian semakin berkerut. Elian sama sekali tak mengingat siapa orang di depannya itu. Dan ia merasa sangat bersalah, padahal mereka sepertinya menghabiskan waktu yang menyenangkan.
"Maaf -"
"Nggak apa-apa, Elian. Waktu itu kamu masih kecil banget. Mungkin kamu belum bisa ingat," kata Gabi, wanita paruh baya di depan Elian itu.
"Oiya, dimana anakmu? Katanya kalian bakal dateng sama anak kebanggaan kalian satu-satunya itu. Tapi dari tadi aku nggak liat," kata Jamie.
Dua orang itu berbarengan melihat ke arah belakang Elian. Elian merasa seseorang pasti datang dari belakang dan laki-laki itu berusaha melihatnya. Tapi, Elian begitu terkejut ketika melihat seseorang yang ia kenal memasuki restoran dan jantungnya semakin berdebar ketika orang itu mendekati meja mereka.
"Itu dia. Haidar tadi ke toilet sebentar," kata Mino dengan santai.
Elian tak sadar tengah membuka mulutnya lebih dari 15 menit. Dan itu sesuatu yang memalukan. Kenapa Pak Haidar - dosen kalkulus Elian menatapnya seperti itu? Bahkan soalnya tak bisa di selesaikan memakai koreografer professional, lalu kenapa dia mau sampai di sini?
Pria itu menyapa orang tuanya dengan hangat, tanpa melihat Elian sama sekali. "Perkenalkan, aku Haidar. Maaf karena nggak ikut menyambut Tante dan Paman dari awal, karena ada urusan yang tidak bisa ditahan. "
"Elian sudah kenal dengan Haidar, kan? Dia adalah anak kami. Dan kami sebenarnya berniat untuk -"
"Tidak mau!" kata Elian memotong perkataan Gabi.
Semua orang menatap Elian dengan terkejut. Elian tak tahu lagi apa yang ia katakan. Elian hanya takut, Gabi benar-benar mengatakan hal yang ia takuti. Bahwa sebenarnya, mereka sudah menjodohkan Elian dan Pak Haidar. Elian lebih baik tak pernah mendengarnya.