Bab 2. Lepaskanlah Ayah

1545 Words
Sesampai di Hotel, Anggi langsung masuk menuju ballroom yang menjadi ruang seminar hari ini. Tugas nya membuat materi presentasi hasil penelitian pak Harun membuat Hanin mengerti setiap edetil materi yang akan disampaikan dan penelitian ini sebenarnya sejalan dengan isi skripsinya dimana ia juga ikut membantu mengolah data nya. "Anggi, " terdengar seseorang memanggilnya, Anggi menoleh dan dilihatnya seorang pria berpostur tinggi yang sudah lama tidak dijumpai nya berjalan ke arah nya. " Kak Ardi, ada disini juga, bagaimana kabarnya" kata Hanin melihat kembali kakak tingkat dua tahun di atasnya yang dulu cukup banyak membantunya baik untuk perkuliahan maupun sebagai Mahasiswa baru yang penuh kesedihan karena baru kehilangan Ibu kandungnya. "Baik Anggi, kakak baik baik saja, ini kakak di ajak pak Harun mendampingi sedikit memberi penjelasan materi mengenai studi banding kebijakan desain pembangunan kota di negara tetangga. Alhamdulillah kakak sekarang sudah lulus program magister di Singapura untuk konsentrasi yang sama", jelas Ardi, membuat Hanin takjub, ia pikir Ardi mengikuti tes PNS dan lulus di luar kota begitu isu yang beredar. "Wah keren dong kak, aku berarti salah info, selama ini info yang beredar kakak lulus tes PNS dan ditempatkan di luar kota", Anggi semangat sekali ingin mendengar pengalaman Ardi mengambil S2 ke Singapura dengan program beasiswa. " Kak nanti ceritain dong gimana biar bisa dapat beasiswa dan berkuliah di Singapura, Negara maju tapi tidak jauh jadi masih bisa sering pulang dan tidak terlalu meminta adaptasi yang rumit". " Pasti, nanti kita atur waktu bersama ya agar leluasa saling tukar pikiran", Ardi, memberikan jempolnya ke Anggi. Dari dulu memang dia selalu berharap dapat selalu dekat dengan Anggi tapi kondisi dan situasi menjadikannya sebagai angan angan dulu jika jodoh pasti tidak kemana. Acara seminar berlangsung dengan lancar, seperti yang sudah diduga diskusi panjang pun mewarnai acara tersebut, beberapa kontraktor angkatan muda banyak juga yang mengikuti seminar untuk menambah wawasan mereka ke depannya. Sebenarnya Anggi ingin mengajak ayahnya tapi kondisi ayah yang terlihat lelah, membuat Anggi memilih membiarkan Ayahnya menikmati hari liburnya di Sabtu dan Minggu. Kadang Sabtu pun Ayah masih harus meninjau proyek, namanya rezeki, ya harus dikejar. Ketika akan bubar Ardi meminta nomor ponsel Anggi yang katanya sempat hilang bersama ponselnya ketika sibuk mengurus awal perkuliahan di Singapura. Mulanya Ardi ingin mengantarnya pulang tetapi karena Anggi membawa motor maka hal itu tidak terlaksana. " Nanti sesekali ke kampus ku jemput ya.." kata Ardi seakan mengatakan jangan dulu ada yang lain menjemput Anggi. Anggi tertawa mengangguk, dan menjalankan motornya menembus hari yang menjelang Magrib. ** Karena kecapekan Hanin tertidur sehabis Maghrib. Ia terbangun setelah didengarnya ketukan pintu memanggil namanya, Anggi berusaha mengembalikan kesadarannya. Didengarnya suara ayahnya masih saja memanggilnya. "Ya, ayah sebentar", Anggi bangun dan membuka pintu. Ayah nya melihat Anggi yang masih menggunakan kain sholat dan wajah sembab masih mengantuk. " Capek kali ya sayang, Ayah ingin makan malam bersamamu tapi setengah jam ayah gedor-gedor kamu nggak bangun juga". " Ayah Anggi mengantuk sekali, apa ayah tidak ada teman makan malam? ", Anggi benar benar mengantuk tadi ia sangat berkonsentrasi mengikuti diskusi sehingga sekarang capek rasanya dan hanya pengen tidur, tetapi jika ayahnya tidak ada teman makan ia juga tidak sampai hati. " Iya, ayah tidak ada teman, Mama Nia pergi mengantar kakak mu kerumah temannya yang berulang tahun yang Ibu nya juga teman Mama Nia. Ayah tak begitu suka acara seperti itu apalagi tidak mengenal mereka", Kata Ayah yang sudah duduk disisi tempat tidur Anggi. "Ok yah, tunggulah dulu, Anggi cuci muka dulu. Atau kita keluar makan bakso yah..? Anggi yang traktir deh. Biar sedikit, ada juga amplop selipan atas usaha Anggi mempersiapkan semua kebutuhan bahan presentasi seminarnya Yah. Dan Anggi juga ikut mengolah data penelitian yang diseminarkan ini. " Tapi kasihan Mbok Inah sendiri ya yah, gimana kalau diajak aja yah. Kak Karen naik apa tadi?" " Naik taksi online saja, jauh malas ayah mengantarnya, kamu siap siap dan ajak Mbok Inah, Ayah juga mau tukar baju", kata Ayah turun ke kamarnya di bawah Anggi mengganti bajunya sedikit berhias dan turun ke bawah menghampiri dapur. " Mbok , Mbok.." panggil Anggi sambil mengetuk kamar Mbok Inah. Wanita hampir enam puluh tahun itu ternyata ada di toilet belakang. " Ada apa Non, mau makan? Tuan juga belum makan. Apa Mbok panasin dulu ya sayur nya biar hanget makannya", ujar Mbok Inah yang selalu perhatian ke Anggi. " Nggak Mbok, Anggi mau traktir Bakso, ayo siap siap, kita pergi bertiga. Mbok Nah juga gak pernah keluar lihat malam minggu sebentar saja", Anggi mendorong pelan Mbok Inah ke kamar. " Mbok e, jaga rumah saja, malu pergi sama Tuan", kata Mbok nah lagi. " Udah sebentar saja Mbok, ayo ke Mall dekat ini ada bakso lesehan enak disana Mbok", kata Anggi lagi. Mbok Inah jarang pulang ke kampung. Suaminya sudah meninggal dan anak anak juga sudah menikah. Satu ada yang satu kota dengan mereka. " Ayo, ayah tunggu di luar", kata Ayah. ** Anggi sengaja mengajak ayah nya dan Mbok Nah ke Mall terdekat. Di samping restoran Bakso lesehan disini, ia juga bermaksud membeli baju untuk Mbok Inah dan sandal. Sudah lama ia tidak memberikannya, di lihat nya baju Si Mbok sudah banyak yang robek dan dijahit sendiri, karena memang kerja Mbok yang cukup banyak jadi mudah kotor cepat robek. Sesampai di Mall mereka singgah di toko pakaian dulu membeli daster batik yang cukup bagus dan tidak mudah robek dan membeli sandal. Walau ke warungkan sendal lama juga cepat rusak dipakai tiap hari. Ayah juga mencari stok boxernya. Anggi kesal Tante Nia hanya memikirkan keperluannya saja tidak peka terhadap keperluan ayahnya padahal uang yang diberi ayahnya cukup besar itu kebutuhan bulanan. Setelah mengeluarkan energi mutar mutar mereka singgah ke tempat tujuan awal makan Bakso. Baru saja hendak duduk di meja pojok, terdengar suara yang sangat dikenal. " Mam gak jadi beli sepatu N*ke nya", rengek Karenina beberapa meja dari mereka. Ayah memberi kode untuk diam saja. Mereka kelihatannya sudah makan dan akan beranjak keluar. karena di pojokan dan mereka membelakangi pintu masuk sehingga tidak menyadari mereka masuk. "Iya, harga nya lumayan nggak cukup uang mama, nanti kita minta dulu dari Papa", ujar Tante Nia berulang kali menaik kan tangan membenarkan letak gelangnya. " Mama sih yang dipikir emas emas jadi mana cukup untuk sepatu ku. Tadikan janji nya mau beli sepatu ku". " Ya, nanti minta saja lagi, dulu mama kira masih ada peninggalan perhiasan bagus bagus nya perhiasan Reina, taunya gak ada satupun lagi yang kelihatan sepertinya sudah di umpetin si Anggi. Maklumlah suda setahun lebih tu orang matinya. Nanti kalau dia pergi kita suruh juga si mbok keluar kita geledah kamar anak senewen itu. Mama yakin emas dan berlian Raisa masih ada", katanya sambil berjalan menuju kasir", Ayah terdiam, Anggi cepat memesan makanan untuk mereka. " Mbok ini rahasia kita ya , untung semua perhiasan Mama dan sertifikat rumah sudah Anggi selamatkan dan simpan ditempat aman, heran itu orang kok gak malu ya, banyak orang yang denger pembicaraan dianya cuex aja ". " Jadi kerja mereka hanya shopping bukan pergi pesta ulang tahun. Kalau mau beli emas terus ya tidak pernah cukup uang bulanan yang diberikan",Kata Ayah yang mulai gerah dengan hal ini. Tak Anggi sadari Ayahnya sering bertengkar dengan Tante Nia karena masalah uang. Hidup gaya Hedon nya menjadikan ayah sebagai ATM berjalan untuk mereka. Anggi sudah menyadari hal ini sejak awal maka nya ia heran menghadapi keputusan Ayahnya Ketika menikah. Tapi iya juga tidak ingin mengekang Ayah dengan egois, toh Ia sudah dewasa dan cukup bersyukur dengan kehidupanku yang tidak kekurangan. " Rasanya tidak ada yang bisa ditabung setiap bulan, rasa nya ayah capek semua tas, sepatu entah mau dipakai ke mana, ayah rindu Ibu mu. Ayah bertahan karena ini pilihan Ayah awalnya, Ayah malu", kata Ayah tertunduk. "Sudah lah Ayah, nanti Ayah sakit. Maaf Anggi yang lama tidak membersamai Ayah, Anggi kira Ayah bahagia. Kalau Ayah sudah sampai batas lelah lepaskanlah, toh ayah tidak punya keturunan dari dia dan ikhlas saja apa yang sudah ayah berikan agar kita bisa hidup tenang ", Anggi sedih melihat Ayahnya yang terlihat jarang terawat beda ketika Ibu masih ada. "Anggi berkata begini karena Kak Karen pun tidak pernah bisa tenang dengan apa yang Anggi punya. Padahal Anggi mendapatkannya dengan uang Anggi sendiri dan sering Anggi membeli barang yang bermerek itu bekas pakai. Anggi juga memang punya toko online untuk barang bermerek dan preloved. Waktu Anggi ke Jogja tiga hari pulang lemari Anggi ada yang mengobrak abrik dan sengaja tidak dirapikan lagi. Tas Branded peninggalan ibu di otak atik sampai talinya dipotong, jahat sekali. Sepatu ibu yang selalu Anggi simpan sehabis di pakai ada lumpurnya, dipakai tapi dikembalikan ke kotak tanpa dibersihkan, itu lah Anggi gak suka sama mereka, Anggi nggak mengusik mereka tapi mereka jahatin Anggi, maaf Ayah jika Anggi punya niat untuk keluar dari rumah dan hidup sendiri saja", Anggi mengusap air matanya. " Maaf Tuan bukan Mbok ikut campur, kemarin jam sepuluhan, nyonya masuk kamar non Anggi membongkar lemari Non Anggi entah cari apa. Semua berhamburan. Mbok yang beresin tapi Mbok kan gak tahu apa ada yang hilang atau tidak Non", Mbok Inah ikut bicara juga, ia merasa bersalah pada tuannya jika tidak menyampaikannya. " Bener Mbok?, Hah Anggi belum periksa lemari soalnya tadi capek sekali", kata Anggi mengingat ingat kira kira apa yang akan jadi incaran mereka. Ayah hanya terdiam lalu meremas rambutnya kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD