Affairs

1053 Words
POV Luna " Selamat pagi Luna " ucapku pada diriku di cermin. Ini adalah hari pertama aku menghirup udara pagi kota London. Musim salju baru saja dimulai, bulir bulir putih berjatuhan di luar jendela. Aku diajak atasanku untuk menemui kliennya yang tinggal di kota London tapi punya aset di Indonesia. Satya Darmawan. Nama atasanku. Dia pria terkalem yang pernah ku temui, Saat wawancara ia yang terakhir yang mengambil keputusan kalau aku diterima bekerja di firma hukumnya. " Cukup Cerdas " tanggapnya saat itu, hatiku begitu berbunga mendengar itu. Cukup mengobati rasa patah hatiku setelah, ya..seseorang yang sekarang harus kuenyahkan dalam pikiranku. Laki laki yang pernah ku berikan seluruh waktuku untuk menemaninya menjejali karirnya sebagai pengusaha setelah sukses ia malah menikahi gadis lain, alasan klise, dijodohkan keluarga. Aku sempat naksir pak Satya tapi setelah aku tahu dia sudah punya istri, aku singkirkan rasa itu. Aku profesional, tidak mencampur adukkan perasaan dan pekerjaan. Tapi kenapa saat mengajakku ikut perjalanan dinas ini ada sesuatu yang berbeda. Ia seperti menjadikan aku teman curhat. Saat di pesawat ia bercerita kalau sekarang hubungan dengan istrinya bermasalah. Aku hanya jadi pendengar yang baik atas keluh kesahnya terhadap sang istri. Untuk saat ini aku masih merahasiakan status pernikahanku karna bersama mantan rivalku itu entah sampai kapan hubungan ini akan bertahan. Denting notifikasi menjeda acaraku menonton salju turun. [ Dimana ? ] itu saja pesan yang dikirim oleh pria berstatus suami itu. Ku balas juga dengan singkat. [ London ] [ Stalking ? ] [ Siapa ? kamu ? Ha...ha...ha kurang kerjaan ] Selesai tanda centang biru, panggilan masuk membuatku terkejut. Ia ingin konfirmasi langsung keberadaanku. Ku angkat dengan sapaan terhangat. " Selamat pagi sayaaang " " Kamu dimana ? " todongnya serius. " Bukannya kita sepakat kalau kita punya privasi yang nggak boleh saling mengusik " " Kamu ada affairs sama atasan kamu ? kenapa foto kalian ada di hp nenek ? " sentaknya, terdengar suaranya agak kesal, terkesan cemburu. " Kok bisa ? " tanggapku santai. " Malah nanya ? foto kalian pegangan tangan di bandara itu dikirim seseorang ke hp nenek. Dia nanya aku, kita ada masalah ? " Tak lama ia mengirimkan sebuah foto, aku ingat saat itu aku memberikan pena pak Satya yang terjatuh. Dari jauh kelihatan seperti orang pegangan tangan. " Hoax itu, bilang sama nenek. Itu hanya ketidak sengajaan. Aku profesional " ucapku sambil menggigit apel. " Pokonya kamu harus jelaskan sama nenek kalau kamu cintanya sama aku, cucunya paling tampan sedunia " Ku cebikkan bibir mendengar pendapat absurdnya terhadap dirinya sendiri. Dari jaman sekolah, narsisnya nggak abis abis. " Rasanya aku mau muntah " tanggapku sambil membuat suara orang hendak muntah. " Kamu hamil ? kita belum ngapa ngapain.." " Enak aja, aku masih Vir..." kututup mulutku sebelum informasi penting ini sampai ketelinganya, ujung ujungnya aku sudah tahu kemana arah pembicaraannya. " O..ya, aku mau buktikan " tanggapnya cepat, tu kan otaknya encer banget soal yang satu itu. " Kembali ke topik ! " sergahku, tapi sepertinya ia ogah. " Let's do it, Luna. We are husband and wife " " Devan ! kita bukan sepasang remaja lagi, tujuan pernikahan bukan itu saja. Jujur aku merasa bersalah sama nenek " Tak ada tanggapan, hanya sebuah helaan nafas panjang. Entah apa maksudnya. Tak lama berselang, aku mendengar suara perempuan dengan nama lembut memanggil namanya, aneh kenapa hatiku terasa sakit mendengar itu. Langsung ku matikan panggilan. Menetralkan perasaan yang entah apa namanya singgah di hati. Nggak nggak mungkin aku jatuh cinta sama Devan, rasa yang pernah kupunya waktu SMA dulu, itu hanya cinta monyet. Dia pun mungkin tak menganggap pernikahan ini serius. Gara gara aku sering menghabiskan dengan ibu teman mama, yang ternyata adalah neneknya. Wanita sepuh itu terus memohon agar aku mau menikah dengan cucunya. Katanya, hanya aku yang bisa menghentikan sikap playboy sang cucu. Hpku kembali berdering, tak ku angkat. Hatiku belum netral. Kenapa sendu itu kembali muncul di hatiku, perasaan aku hanyalah wanita yang dimanfaatkan pria membuat mataku menghangat. Jason, mantan yang pernah memberikan janji manis, melamarku ketika aku wisuda. Dua tahun sudah pernikahan mereka. Menikah dengan sahabatku sendiri. Merasa sedikit trauma, aku belum membuka hatiku untuk siapapun. Siapa sangka, ketika aku pulang ke rumah, papa tiba tiba jatuh sakit, merasa umurnya tidak lama dan ia ingin melihat anak perempuan satu satunya menikah dengan dia. Dia, laki-laki yang selalu meremehkan kemampuanku. Laki-laki yang bilang kemampuan terbaikku adalah menangis. Laki-laki yang pernah ku tampar karena telah membulli seorang teman yang berpenampilan cupu. Panggilan itu terus bergulir tanpa henti, aku terpaksa mengangkatnya. " Kok dimatikan, aku suamimu Luna, hargai aku ! " marahnya. " Iya maaf, hp low ni baru di cas " " Bohong ! " Aku tertawa mendengar tebakannya. " Kamu kalau lagi sama cewek jangan hubungi aku, nanti dia kira kamu selingkuh " Diam tak ada tanggapan. Aku pun tak ingin bicara, karna ada perasaan tidak enak singgah saat menyebut kehadiran wanita lain. Ku tunggu dia mau bicara apa. " Tadi kamu dengar suara yang memanggilku, kamu takut aku selingkuh ? " Giliran aku yang diam. Aku sama sekali tak ingin membahas ini. aku ingat bagaimana sakitnya dikhianati Jason. aku tak ingin menaruh hati pada siapapun sampai luka itu benar benar sembuh. " Kamu minta aku tidak boleh mengecewakan keluarga, trus kamu sendiri punya affairs, harga diriku pasti jatuh di mata keluargaku sendiri Devan, Ternyata aku dinikahi hanya untuk sebuah status " Dia kembali mengela nafas. " Maaf, kamu harus terlibat sejauh ini. suatu saat kamu bakal mengerti apa yang aku lakukan " urainya dengan suara berat. Aku memijit pelipis, sebenarnya aku tak menyalahkan tindakannya karena sebelum menikah, ia minta aku tak mempermasalahkan ada sesuatu yang ia rahasiakan. Demi kesehatan papa, aku mengiyakan saja. Tak ku sangka lambat laun, rahasia yang disebutnya membuatku merasa tidak nyaman. " Sudah sudah...sore ini, aku mau menonton salju sama pak boss " Ku matikan panggilan, tak ada kesepakatan yang kami buat. Tak lama muncul notifikasi pesan yang ia kirim. ia mengirimkan sebuah alamat. Jika aku masih di London. Ia minta aku mengunjunginya. [ Nggak janji ] balasku, ia membalas dengan emot sedih. Ku balas dengan emot mencebik. Entah kenapa bayangan bayangan momen pertengkaranku dengannya semasa sekolah dulu kembali berputar di pikiranku. Saat melihat salju turun, aku teringat bagaimana ia menghujani kepalaku dengan kapuk, saat aku tertidur di bangku taman. Teman teriseng yang pernah ku kenal. "
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD