POV Luna
Aku minta izin pada pak Satya, kalau aku di jemput teman temanku untuk bermain salju besok. Pak Satya menanyakan detail siapa teman teman yang ku maksud. Ku sebutkan nama mereka dan apa pekerjaan di negara Ratu Elizabeth ini.
" Mereka teman teman SMA saya pak, saya percaya mereka. Mereka tak mungkin membuat saya tersesat " jelasku saat kami makan malam. Aku melihat rasa kuatir di mata pria sudah berumur kepala empat itu.
" Maaf saya hanya kuatir, kamu dibawa orang tak bertanggung jawab Luna karena keselamatan kamu di sini tanggung jawab saya "
" Ya..pak, saya mengerti "
" Bisa saya punya nomor kontak mereka " pak Satya mengeluarkan hp. Aku tentu saja tak punya nomor kontak Winda, Rana atau Rani. Apa aku harus memberikan nomor kontak Devan.
" Ini Pak, nomor salah satu dari mereka, namanya Devan " ku tunjukan salah satu nomor kontak. Pak Satya mencatatnya, ia tak terlalu fokus dengan foto profil Devan karena setelah menyimpan nomor Devan, ada panggilan masuk.
" Hati hati ya Lun, ada banyak pekerjaan yang menunggu kita di Jakarta " ucap pak Satya ketika aku kembali ke kamar. Aku mengangguk.
Rasanya sudah tak sabar bertemu dengan geng rieweh jaman sekolah dulu. Aku, Winda dan si kembar Rana Rani adalah geng anti ketampanan Devan. Kami sepakat tak masuk klub Devans Fans. Jago, Basket, Jago Pidato tapi cetek soal menghargai perasaan wanita. Bukan sakit hati karna aku di kalahkan di pemilihan ketua OSIS tapi ada satu momen yang membuat aku tak suka dengan gaya sombongnya. Saat pertama kali aku masuk menjadi anak baru, aku melihatnya membulli dua orang cupu bersama teman temannya di lapangan basket.
Semua orang takut padanya, tak berani protes. Mereka dijadikan kacung, di suruh suruh angkat angkat barang barang yang Devan butuhkan untuk properti pementasan drama mereka. Salah seorang anak buah Devan melempar seorang cewek berkaca mata dengan tepung, bukannya membantu mereka malah tertawa tawa. Saat itu sebagai anak baru, Rani mencoba menenangkanku yang ingin membela. Kata mereka, Jangan main main sama anak buah Devan.
Saat itu kesabaranku sudah sampai di puncak. Aku melihat mereka meninjak kaca mata si cupu yang terjatuh. Hingga ia kesusahan berjalan. Aku naik ke atas panggung, merebut tepung yang ada di tangan anak buah Devan. Saat itu dia tengah sibuk berdiskusi dengan tim basketnya yang akan tanding dua minggu lagi. Aku akan membuat Drama pertunjukan di depannya.
Flash Back on
" Berhenti nggak ! " teriakku di depan Marchel. Ku rebut kantung tepung di tangannya. Suasana yang tadi riuh mendadak hening. Devan yang tadi sibuk menulis, menoleh ke arah panggung.
" Tindakan kalian sama sekali tidak beradap ! kalian memang anak orang kaya, harga kaca mata ini nggak seberapa bagi kalian. Tapi bagi dia, butuh berbulan bulan orangtuanya mengumpulkan uang untuk membelikan anaknya kaca mata "
" Siapa lu ? " tantang Marchel. aku tahu ia kaki tangan Devan.
" Ada apa ribut ribut ? " Devan mendekati kami di atas panggung, ia menatap tajam ke arahku. Tentu saja ku balas dengan tatapan lebih tajam.
" Ni, anak bagu belagu " teriak Marchel ke mukaku. Ku tunjukkan kaca mata yang retak ke depan wajah Devan. Ia mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang kertas warna merah sambil menyeringai.
" Cukupkan buat selesaian masalah " ucapnya tenang. Emosiku semakin terselut dengan sikapnya, seenaknya saja ia menyamakan harga diri manusia dengan uang.
" Lu kira, uang bisa nyelesain ini masalah, karna kalian punya banyak uang, besok besok kalian melakukan hal sama lagi " ku tepis uang yang ia tunjukan ke mukaku.
" Sesekali pake ini ! " ku tunjuk tunjuk dadanya. Ia meraih tanganku dan menciumnya, karna tindakannya, reflek tanganku menamparnya. Semua yang melihat meringis. Aku sendiri merasa itu pasti sakit.
Ia menahan anak buahnya yang ingin menyerangku.
Tindakanku menampar Devan sampai juga ke ruang BP, aku di panggil, tentu aku sebagai terdakwa yang bersalah pada Devan.
" Saya menamparnya karena saya merasa dilecehkan pak, berani beraninya dia nyium tangan saya "
" Nyium tangan doang, galaknya minta ampun apa lagi nyium ini " dia menunjuk bibirnya.
" Tu kan pak, dia punya otak harus di laundry "
Petugas konseling mencoba menengahi, tentu saja Devan akan tetap dibela karna dia anak dari salah donatur terbesar di SMA swasta tempat aku bersekolah. Tapi aku juga tak sepenuhnya di salahkan. Penderitaan anak anak yang punya latar belakang ekonomi lemah yang sering ditindas anak anak orang kaya itu sudah ku kumpulkan bukti buktinya, sejak masuk sekolah elit ini. Aku merasa ada ketimpangan, antara mereka yang berada dan mereka yang sekolah karena beasiswa.
Sejak itu aku mendapat gelar " Pengacara si Cupu "
Pertikaian antara aku dan Devan berakhir damai. Marchel meminta maaf atas tindakannya dan aku harus minta maaf pada Devan. Kami Damai setelah itu ? Big No. Ada ada saja perbuatan mereka yang membuat aku harus menerima bulian teman teman. Tapi dasar aku keras kepala. Apapun yang mereka ucapkan tak mempan menjatuhkan mentalku. Akhirnya satu persatu yang membenci Devan the geng bermunculan. Mereka membelaku ketika mereka mencoba menindasku lagi. Sampai pada akhirnya kami berdua menjadi kandidat ketua OSIS.
Saat itu begitu ambisi mengalahkannya. Aku mempersiapkan pidato terbaikku yang kutulis di sebuah kertas. Menjelang debat calon ketua OSIS kertas pidatoku hilang. Di saat bersamaan, aku mendapatkan telpon kalau ayahku masuk rumah sakit. Otomatis, aku tak siap naik panggung. Aku ingin pulang secepatnya, penampilanku yang gugup membuat aku diteriaki semua teman teman. Aku turun panggung dengan berurai air mata. Bukan teriakan mereka yang membuat aku menangis, tapi ayah..aku cemas kalau terjadi apa apa dengan ayah, aku tidak punya siapa siapa lagi.
Tinggal di keluarga ayah membuat aku tidak nyaman setelah ibu tiada. Aku berlari sekencangnya, hingga aku terjatuh di trotoar. Tak kupedulikan lututku yang berdarah, aku menyetop angkot untuk pulang. Se sampai di rumah aku terkejut karena aku lihat ayah sedang menyiram tanaman seperti biasa.
Flash Back off
Aku terbangun karena dering hp. Aku bangun kesiangan, semalam ada beberapa file yang diminta pak Satya untuk aku revisi ulang.
" Baru bangun ? kayanya nenek harus tahu kalau istriku suka telat bangun " suaranya segarnya menyapaku.
" Ish....tukang ngadu, tunggu aku siap siap dulu " ucapku sambil mengusap mata. Ku matikan panggilan dan mempersiapkan diri untuk memanfaatkan momenku di negeri bersalju. Aku merasa menjadi kanak kanak yang begitu bahagia ketika ingin bermain salju.
Ketika sampai di lobi, aku melihat si kembar Rana dan Rani saling merapikan kupluk, Winda tengah bicara dengan Devan.
Hampir saja aku menjerit melihat mereka.
" Hai...guys...gimana oke kan " ujarku sumringah sambil menunjukan outfit musim dinginku, malam tadi pak Satya mengantarkan paper bag yang ternyata isinya mantel musim dingin, sepertinya harganya cukup mahal.
" Kereeeen ! " puji mereka kecuali Devan, dia mana pernah mau muji aku. Kalau bisa aku ini terpuruk dalam palung terdalam di lautan.