Dijodohkan Dengannya?

1155 Words
Dion’s POV Dion Pangestu Aditama, itu namaku. Aku kembali ke Indonesia setelah melalang buana di negeri orang. Setelah menyelesaikan gelar S2-ku di London, aku mendapat kesempatan bekerja di negara yang sama sebagai manager keuangan dan pindah ke Washington, D.C., di tahun ketiga pada perusahaan yang berbeda dan negara yang berbeda juga, tentunya. Aku menjabat sebagai senior manager di salah satu perusahaan keuangan yang terkemuka di sana. Kepulanganku atas desakan keluarga, terutama, Mas Nadeo, memintaku untuk bergabung di perusahaan yang Papa dirikan puluhan tahun. Dia bilang ini waktunya aku mengabdi pada perusahaan. Dia juga tidak mau kelimpungan mencari pengganti CFO yang mengundurkan diri karena sakit berat. Dengan berat hati, aku menerima permintaan Mas Nadeo. Kenapa berat untuk kembali ke Indonesia? Padahal ada keluarga yang selalu men-support dan mencintaiku tanpa kurang. Jawabannya adalah karena masa lalu yang selalu ingin aku hindari. Berita kepulanganku sampai ke telinga sahabat lamaku, mereka terus mendesak untuk bertemu. Aku, yang tidak suka keramaian, memilih mengundang mereka ke apartemenku saja. Banyak hal yang kami ceritakan, salah satunya pengalaman masing-masing, kemudian dilanjutkan dengan makan malam bersama. Aku sudah meminta Mama untuk mengantar satu asisten yang akan menyiapkan makan malam untuk tamuku. *** Pagi ini, ada acara penyambutan untukku. Sebenarnya aku sudah bilang tak perlu, tapi Mama tetap saja bersikeras. Ya sudah, aku terima saja. Mana berani aku melawan ibu negara di keluarga kami. Aku berangkat lebih pagi karena ingin sarapan bubur ayam langgananku yang letaknya tak jauh dari kantor. Namun, sangat disayangkan, setiba di lokasi, ternyata warungnya tutup. Mungkin sedang libur atau mungkin sudah pindah, aku tak tahu. Akhirnya aku hanya membeli kopi dan roti di salah satu mini market terdekat. Aku pikir lebih baik langsung menuju kantor saja dan menikmati sarapanku di sana. Aku duduk di lobi kantor menghabiskan menu sederhanaku pagi ini. Aku melihat seorang wanita berlari terbirit-b***t, sepertinya dia menuju toilet. Yang membuat aku heran bukan kedatangannya di pagi hari begini ke kantor, melainkan pakaian yang dia kenakan. Dia memakai gaun tidur dilapisi jaket oversize dan membawa banyak barang di tangannya. Aku yakin tak salah lihat, dia benar-benar memakai gaun tidur. Sudahlah, aku tak berminat mencampuri urusan orang lain. Aku memilih untuk mengabaikannya dan membaca koran yang tergeletak di atas meja. Aku mendapat telepon dari Mama. Beliau bilang acara penyambutan berada di lantai dua. Jika aku datang lebih dulu, beliau memintaku untuk menunggu di ruangan Mas Abi di lantai empat. Aku memilih untuk langsung saja naik ke lantai dua, sebelum itu aku singgah ke toilet, jangan tanya mau apa, tak akan aku jawab. Saat membuka pintu, aku melihat seorang wanita tengah memakai rok. Aku mematung tanpa suara. Sekarang, dia tengah memoles wajahnya dan mengukir alisnya. Aku menelisik wajahnya dari pantulan cermin dinding, tanpa sadar, terbit seutas senyum di wajahku. Detik kemudian pandangan kami bertemu di cermin. “Ah …!” Dia berteriak dan mengambil tas lalu memukuliku. “Keluar! Punya mata itu dipakai,” amuknya. Aku mundur perlahan saat dia masih memukulku, membuka pintu selebar-lebarnya, dan menunjukkan tulisan di pintu toilet. Dia terkejut dan berlari mengemasi barang bawaannya. Saat tepat di depanku, aku menahannya. Aku mengambil jaket yang ada di tangannya dan menutupi bagian depan tubuhnya dengan jaket itu. “Kemejanya belum terkancing sempurna,” bisikku. Aku meninggalkannya yang seketika mematung. Gegas aku masuk ke dalam lift menuju lantai dua. Jantungku berdetak lebih cepat setelah melihat bongkahan di dadanya saat kami berhadapan tadi. “Ah, pikiran semacam apa ini,” gerutuku. Selama bertahun-tahun tinggal di negara orang, pemandangan seperti tadi sebenarnya sudah biasa kulihat tapi … ah, sudahlah, lupakan. Aku sudah berada di lantai dua. Ternyata, acara yang disiapkan untukku semeriah ini. Deretan meja dan kursi tersusun rapi. Ada pula meja prasmanan yang aku yakini sebentar lagi akan diisi dengan beberapa jenis makanan dan minuman. Sambil menunggu waktu, aku berselancar di sosial media melihat postingan ini dan itu hingga seseorang mendekat dan menyapaku. “Permisi, Mas,” sapanya. “Maaf, Mas, sepertinya Mas salah ruangan, untuk interview ruangannya di lantai tiga,” sambungnya. Aku menoleh dan menatapnya, ternyata dia adalah wanita tadi. Bicara apa dia? Huh, cobaan apa lagi ini. Dia terlihat lebih rapi, tetapi ada apa dengan wajahnya, kenapa memerah? Aku memilih untuk mengabaikannya. “Aya, di sini rupanya.” Itu suara Mas Abi, mereka terlibat dalam suatu percakapan entah apa, aku tak menghiraukannya. Detik kemudian dia menarik tanganku. “Ayo, Mas, saya tunjukin ruangannya,” ujarnya. Begitu melewati Mas Abi, dia tampak heran dan bertanya padaku. “Loh, mau ke mana?” Aku hanya mengedikkan bahu. Belum sempat aku menjawab wanita ini sudah bersuara lebih dulu. “Ke ruangan, Bapak, permisi,” jawabnya. “Ayo, Mas, buruan,” serunya. Begitu memasuki lift dia menekan angka tiga dan empat. Herannya, aku mau-mau saja mengikuti arahannya. Saat pintu terbuka dia menuntunku keluar seraya berkata. “Nah, Mas, ini ruangannya, semoga lancar, ya, interview-nya, semangat.” WHAT? Aku kembali ke ruangan di lantai dua. Mas Nadeo memanggilku dan mengenalkanku pada beberapa staf kantor yang duduk di meja yang sama. Aku melihat Mas Abi melambaikan tangan, dan aku ikut menoleh ke arah yang sama dengannya, ternyata Mama dan Papa. “Dion, jam berapa kamu sampai kantor?” tanya Mama. Aku berdiri menyalaminya dan mencium punggung tangan beliau. “Sebelum jam tujuh, Ma,” jawabku. “Kenalin ini Ayasha, sekretaris Abi,” ujar Mama. Oh, ternyata wanita bar-bar ini sekretaris Mas Abi. Aku menatapnya sejenak, lalu mengulurkan tanganku padanya. “Dion Pangestu Aditama,” ujarku. “Sa-saya Ayasha, Pak, Ayasha Humaira,” lirihnya, tapi bisa aku mendengarnya dengan jelas. Sekarang dia tampak salah tingkah. “Salam kenal, Aya-sha Hu-mai-ra,” ujarku penuh penekanan dengan sengaja. *** Acara penyambutan berjalan dengan lancar. Saat ini, para tamu yang hadir tengah menyantap hidangan yang disediakan. Aku lihat Mama tampak nyaman bersama Ayasha. Perlakuan Ayasha pada Mama pun sangat lembut dan sopan. “Dion.” Mama memanggilku saat pandangan kami saling bertemu. Aku mendekati Mama dan duduk di sampingnya. Sementara, Ayasha pamit meninggalkan kami. Mataku masih mengikuti langkahnya. Ternyata, dia memilih pindah ke meja lain yang aku yakini sebagai teman-temannya di kantor ini. “Terima kasih, ya, sudah mau pulang,” lirih Mama. Aku tersentak saat mama meraih tanganku. “Lihatin siapa, sih?” tanya mama mengikuti arah pandanganku tadi. Aku menggeleng, kemudian membalas genggaman tangan Mama. “Maafin Dion, ya, Ma.” Mama mengangguk seraya menepuk punggung tanganku lembut. Hanya Mama yang tahu alasanku enggan kembali ke Indonesia. “Bentar-bentar kamu barusan lihatin Aya?” Wajah Mama berubah jadi sumringah begitu mengalihkan topik. “Kamu udah kenalan ‘kan sama Aya, menurut kamu dia gimana?” tanyanya antusias. Kini Mama menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja, beliau tampak menunggu jawabanku. “Biasa saja,” jawabku. Memang tidak ada yang spesial, malah kesan pertamaku bertemu dengannya … kuberi istilah apa, ya, yang cocok, absurd-lah pokoknya. “Kok biasa aja, sih!” Mama memukul lenganku dan menggerutu tak menentu. “Mama mau jodohin Aya sama kamu mau, ya,” bisik Mama. Uhuk-uhuk! Dijodohkan dengannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD