Dirgantara

1343 Words
Aku duduk di sisi pembaringan Bella dengan kedua tangan yang menangkup mulut. Adik perempuanku itu terlihat tidur setelah menjalani operasi keduanya hari ini. Tulangnya patah dan ada organ dalam yang rusak. Kalau saja si penabrak tidak melarikan diri, mungkin aku tidak akan terlalu berat memikirkan biaya medis. Masih ada sisa pembayaran juga beberapa obat yang tidak ditanggung asurasi pemerintah. Di sisi lain, uangku sudah semakin menipis. Gajiku sudah diberikan di muka dan tentu saja habis dipergunakan untuk hal-hal lain. Seperti untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar jasa penunggu Bella. Sekarang aku hanya bisa mengandalkan gaji harianku di pabrik kain. "Maaf mengganggu, aku hanya ingin memastikan tentang keputusanmu kemarin," kata Sisil lewat sambungan telepon yang aku angkat di parkiran rumah sakit. Saat itu aku tengah berniat pulang untuk mengambil beberapa pakaian bersih milik Bella. "Bisakah kita bicarakan lagi? kali ini dengan serius." Sisil terdiam sebentar lalu samar-samar terdengar suara pria di sebelahnya yang entah berbisik apa padanya. "Bagaimana kalau kita langsung bertemu di apartemen calon suamiku saja? Tapi kalau kamu menolak, aku tidak akan memaksa." Tut. Lagi-lagi Sisil memutuskan panggilannya begitu saja. Temperamen gadis itu ternyata cukup buruk. Belum bekerja saja aku sudah diperlakukan semena-mena. Sayangnya, dia adalah satu-satunya harapanku untuk mendapat penghasilan besar. Tidak mungkin kalau aku menolak sebelum mencoba. Akhirnya berbekal tautan di google map, aku langsung memutar arah motorku. Pakaian Bella bisa aku antarkan sebelum berangkat kerja besok. Untuk saat ini yang terpenting adalah melakukan negosiasi. Menginap selama seminggu bukan bagian dari penyembuhan, tapi permintaan tidak masuk akal. Sekalipun Sisil ada di sana, aku menolak terlibat terlalu jauh dalam kehidupan pribadi klien. Semasa menangani pasien-pasien terdahulu, aku banyak belajar tentang menjalin hubungan profesional. Setiap terapi berlangsung, aku tidak pernah melakukan kontak fisik. Aku hanya akan membacakan banyak cerita positif lalu mensugesti mereka lewat hipnoterapi. Tapi sebelum semua itu dilakukan, tentu saja aku harus tahu alasan kenapa mereka menderita insomnia. Penting untuk mengetahui itu bawaan atau karena trauma. Satu jam kemudian, aku sampai di depan pintu keamanan. Seorang satpam lantas keluar dari posnya lalu bertanya tentang keperluanku. Penjagaannya cukup ketat, maklum lingkungan di sekitar sana memang elit. Setelan lama juga skuter yang kubeli beberapa tahun lalu sangat kontras dengan pagar teralis mewah di depanku. Belum aku sempat menjawab, Sisil lebih dulu datang menghampiri. Gadis bertubuh semampai itu keluar dari dalam mobil warna abu tua yang berhenti tepat di belakang skuterku. Kupikir tadi dia sudah menungguku di sana bersama calon suaminya, ternyata tidak. Jadi siapa yang berbisik padanya di sambungan telepon tadi? "Biarkan dia masuk, ini tamu saya," katanya memberi isyarat pada satpam agar lekas membuka pintu pagar. Satpam itu langsung menurut, ia lalu membiarkan skuterku mengikuti mobil Sisil masuk. Dilihat dari situasinya, aku tahu kalau Sisil sudah terbiasa berkunjung. Selang lima menit kemudian, kami tiba di sebuah rumah paling minimalis. Gaya arsitekturnya jauh lebih sederhana dibanding hunian lain. Bisa dibilang, tipe pria yang memiliki rumah ini, bertolak belakang dengan kepribadian glamour Sisil. Ya, karakter seseorang selalu tercermin dari benda-benda yang dimiliki, terutama hunian. "Dia belum pulang, jadi kita masih punya waktu untuk bicara. Tapi maaf, aku tidak terbiasa mengambilkan air untuk tamu." Sisil melempar tasnya begitu saja ke pojokan sofa. Sedang dia sendiri duduk dengan kaki menyilang sembari menatapku. "Tidak masalah, aku tidak haus. Ngomong-ngomong kenapa kamu menyuruh aku menginap? Aku bisa memberi terapi setiap hari, tanpa harus tinggal di sini." "Calon suamiku itu cukup perfecksionis. Dia benci telat dan kalau itu terjadi, moodnya akan hancur berantakan. Terapimu juga akan terancam gagal bukan? Dan lagi, selama dua minggu di sini, kamu bisa bantu bersih-bersih. Pembantu kepercayaannya sedang cuti selama tiga minggu. Jadi pekerjaanmu ada dua. Membuatnya tidur dengan terapimu dan membereskan pekerjaan rumah." Sisil mengatakannya dengan begitu mudah, tanpa minta pendapatku. "Apa?" ucapku tak percaya. "Uang yang aku tawarkan tidak sedikit. Bahkan kalau pekerjaanmu memuaskan, aku akan memberi bonus tambahan di luar perjanjian." Sisil membalas tatapanku penuh percaya diri. Bahkan, seulas senyum sinis membayang di sudut ranum bibirnya. Hatiku boleh sakit, tapi tidak ada jalan untuk mempertahankan harga diri. Setidaknya ini semua aku lakukan demi Bella. "Aku setuju. Apa ada hal lain lagi?" tanyaku menelan getir. Suaraku terdengar bergetar karena menahan kesal. Sisil tersenyum tipis lalu mengambil sesuatu dari dalam tas yang sempat ia lempar tadi. Tak lama, sebuah kertas ia ulurkan padaku. "Anggap saja, ini surat perjanjian kerja. Tanda tangani sekarang, setelah itu aku akan langsung transfer setengah dari bayaranmu ke rekening." Sisil meletakkan pena ke atas meja, menunggu sembari memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Aku butuh waktu untuk membacanya. Besok bagaimana?" tanyaku menolaknya dengan lembut. Dia pikir aku bodoh? Bisa saja ada pasal yang merugikanku nanti. "Baiklah, terserah. Tapi uangnya besok juga," kata Sisil menghembuskan napas sebal. Aku mengangguk setuju. Toh hidupku akan lebih berantakan kalau sampai terjebak dalam perjanjian tidak jelas. Beberapa menit berselang, terdengar suara mobil memasuki halaman depan. Sisil langsung berdiri, memeriksa keadaan di luar dari celah jendela. Sedang aku sendiri langsung bersiap dengan memakai face mask. "Nad, jangan katakan apapun. Kalau dia bertanya, biar aku yang jawab," ucap Sisil memberi isyarat padaku agar ikut menyambut di pintu masuk. Dari nada suara, Sisil terkesan gugup. Aku langsung tahu, pria itu adalah pemegang kendali dalam hubungan mereka. Sisil bukan tipe yang gampang tunduk, jadi bisa dipastikan kalau calon klienku punya sifat yang jauh lebih buruk. "Bukankah aku sudah bilang padamu? Jangan sembarangan masuk rumahku. Apa peringatanku kurang jelas?" Suara bass dari pria tinggi yang baru saja masuk itu tidak terlalu mengejutkanku. Ia punya nada bicara berat dan menusuk. Karakternya langsung terbaca begitu pria itu melepas sepatu lalu memasukkannya di laci dengan begitu rapi. Seperti kata Sisil, calon suaminya tipe perfecksionis. Penataan sudut benda di dalam rumah mengatakan kalau semuanya disusun teratur dan sejajar. Kalau saja tidak sedang butuh uang, aku akan menolak. "Siapa dia?" tanyanya mengarahkan matanya padaku. Ia punya paras yang setara dengan Sisil. Tampan juga karismatik. Sayang, penampilan menariknya tidak berarti di mataku. Sifatnya memberi kesan buruk dan menjengkelkan. "Aku sudah cerita soal dia padamu." Sisil menyela dengan sedikit gugup. "Terapis tidur alternatif?" tebaknya dingin. Sisil mengangguk cepat,"kamu bilang akan mencobanya. Dosis obat tidur yang kamu minum sudah terlalu tinggi bukan?" Ia menunduk sebentar lalu kembali menatapku. "Baiklah, tapi untuk hari ini suruh dia pulang saja. Kita harus bicara berdua," katanya melewati kami dengan helaan napas panjang. Aku tebak, ia sudah lama tidak tidur nyenyak. Selain wajahnya yang kusut, emosinya pun tidak stabil. "Ini ambillah. Aku tidak perlu mengenalmu, tapi kamu harus tahu siapa aku." Pria itu mengulurkan sebuah kartu nama padaku. Ia dan Sisil mengantar hingga pintu depan. Tentu saja, dengan wajah tidak menyenangkan. "Terima kasih, sampai jumpa besok." Aku mengambilnya dengan sopan. "Aku tidak bilang akan menerimamu. Kesempatanmu hanya tiga hari. Kalau aku merasa terapimu tidak berhasil, jangan ke sini lagi." Tatapan pria itu sungguh mengangguku. Ini adalah kali pertama aku menemui klien yang begitu lugas dan dingin. Pasti sebuah PR berat untuk memahami pribadinya yang membatu. Kalau biasanya aku hanya akan duduk lalu mendengarkan keluh kesah, kali ini pasti jauh lebih berat. Jangankan membaca dongeng, suatu keajaiban jika ia mau mengikuti aturan terapi. Sesaat setelah aku keluar dari lingkungan elit itu, aku memutuskan untuk menepi. Rasa penasaran membuat kesabaranku habis. Dengan gerakan cepat, aku mengeluarkan kartu nama itu dari saku. "Budiman Dirgantara, presdir perusahaan konveksi SASTRA?" ucapku dengan mata membola penuh. Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang barusan aku baca. Konveksi Sastra adalah tempat di mana aku bekerja jadi buruh saat siang. Omong kosong, bagaimana bisa takdir membawaku ke kandang singa? Sudah lama beredar gosip kalau presdir perusahaan adalah mantan kriminal dengan kasus pembunuhan. Apa ini alasan Sisil gugup dan ketakutan? Di tengah kekalutan itu, aku lantas mengambil surat perjanjian kerja dari dalam tas. Di lembar halaman pertama, Sisil menyebut kalau aku harus melakukan terapi di kamar, tanpa pendampingan wali. Ia hanya akan melakukan pengawasan lewat cctv, itupun tidak setiap hari. Sedang pekerjaan lainnya menuntutku untuk bersih-bersih, memasak dan membereskan cucian kotor. Ya, seperti pekerjaan rumah tangga pada umumnya. Tidak ada yang aneh atau memberatkan. Namun sebuah kesalahan besar kalau menempatkan seorang wanita dan pria lajang dalam satu rumah. Aku yakin, Sisil terlalu meremehkanku. Perasaan tidak mudah berubah, tapi gampang menerima hal baru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD