“Semoga lu kena karma!”
Ucapan Siska terngiang di telinga, persis seperti suara setan.
Kubuka kedua mata seraya menatap jauh ke luar jendela. Matahari tampak mengintip dari sela pepohonan di batas cakrawala. Aku harus bersiap sedia.
“Si Megalonte!” umpatku jengkel. Sial sekali hari ini. Kenapa tadi malam aku malah memimpikannya? b********h dengannya? Menggagahi dirinya?
Mimpi basah merupakan sesuatu yang langka, dan aku tak ingin membuang spermaku sia-sia. Batinku berulangkali memprotes tanpa suara.
Aaaah…, sempakku pasti basah. Maka kuperiksa saja selangkanganku, hanya untuk tersentak kaget seketika itu juga.
Napasku terhenti.
“Gak ada…,” ucapku tak percaya. Kuraba dengan seksama di bagian bawah sana. Kudapati Si Jhonny menghilang keberadaannya. Hanya ada tulang selangka beserta belahan daging vertikal penuh kelembapan memanjang.
“b*****t…., apa yang….-”
Mataku terbelalak. Aku menolak untuk percaya. Kala ku menunduk ke bawah, pandanganku agak terhalangi oleh dua buah benjolan di d**a.
Dadaku tadinya berbentuk bidang, kenapa sekarang jadi bulat kenyal? Terlebih begitu ukurannya besar, melonjak keluar dengan puncak kecil seukuran ujung kelingking.
Diameter lenganku terlihat menyusut kecil. Aku bahkan tak ingat pernah memiliki kulit putih nan halus seperti ini.
“Mustahil.”
Suaraku bahkan terdengar tinggi. Ciri khas perempuan, begitu kontras dengan suara laki-laki.
Kulit punggungku terasa geli, diraba oleh rambut memanjang hingga sebatas pinggul, kusut tak terawat. Kutatap cermin besar yang tersemat di pintu lemari. Kusadari keberadaan gadis cantik berparas cantik, tengah terkesiap menatap balik dari dalam cermin.
“Siapa?” ucapku bingung.
Aku pingsan seketika itu juga.
…..
“Emaaaak!” jeritku tak percaya. Aku bangkit seketika, terperanjat dengan napas teregah-engah. Jantungku berdesir keras. Rasanya sedetik tadi aku bermimpi buruk.
Ah iya, aku mimpi berubah kelamin menjadi perempuan.
Mulutku tersungging, mengukir senyum tak simetris. Aku terkekeh, berlanjut dengan ledakan emosi seraya tertawa terpingkal-pingkal.
“Anjaaay, serem pisan. Mana ada gue jadi perempuan. Bisa kacau dunia persilatan,” ucapku menenangkan diri. Dadaku entah kenapa terasa berat kala aku terbahak-bahak.
Pandanganku kembali terarah pada cermin di jendela, menatap kehadiran sosok berwajah cantik dengan rambut panjang berkelok-kelok.
Dia terperangah, menatapku heran seraya memegangi wajahnya. Aneh sekali, tindakannya sama dengan apa yang kulakukan saat ini. Dia memeriksa dua bongkahan p******a miliknya. Sementara jemariku sibuk meraba lembut sepasang tonjolan bulat di bagian d**a.
Mataku terbuka lebar, mengangkat wajah menatap sosok di cermin sana.
Aku kembali pingsan detik itu juga.
******
“ANJIIIING!!!” jeritku meluapkan kekesalan, berusaha untuk tidak pingsan untuk ketiga kalinya.
Hatiku harus tabah menerima tiap perubahan. Sejam telah kulewati dalam sendiri, memeriksa tiap senti tubuh baru ini.
Ini pasti mimpi.
Ini pasti mimpi.
Ini pasti mimpi.
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Apa aku diculik alien? Apa ini permanen? Seumur hidup aku harus seperti ini?
Pikiranku kacau. Aku terduduk di pojokan seraya menerawang. Tak sadar jemariku menjambak rambut tiada henti. Kucubit pipiku berulangkali, berusaha memastikan bahwa ini hanyalah mimpi.
Kenapa rasa sakitnya terasa sungguhan? Secara konyol aku memerintahkan diri untuk membangunkan diri di alam nyata,
“Wahai diriku yang sedang tertidur, kuperintahkan kamu untuk bangun!”
…
Hening.
Tak ada perubahan.
Ini asli.
Mataku melotot kosong, lalu berjongkok berusaha mengumpulkan kewarasan. Apa ini semua sekadar halusinasi?
Oke, oke…, sekarang gimana?
Pandanganku menelisik tiap sudut ruangan. Komputer jadul dengan monitor tabung, kasur reot dengan dakimakura bergambar Haruhi di atasnya, serta poster To Love Ru di dinding ruangan. Tempat ini jelas merupakan kamarku. Itu berarti aku tidak serta merta membajak tubuh seorang perempuan di lokasi lain. Kelaminku benar-benar berubah menjadi betina.
Kutatap lekat bayanganku sendiri. Sosok gadis di cermin itu terlihat manis. Tubuhnya begitu langsing, terlihat dari diameter lingkaran perut yang mengecil di bagian tengahnya. Pinggul gadis itu melebar seperti lekuk gitar. Sepasang b****g di sana terasa begitu kenyal. Kakinya juga jenjang seperti sosok Barbie.
“Diii, udah jam setengah delapan. Kamu belum berangkat sekolah?”
Telingaku menangkap suara Ayah sayup di balik pintu kamar. Ia mengetuk berulang kali tanda tak sabar.
“Eeeeuh, tunggu dulu, Pah, aku lagi…-”
Ucapanku terhenti, secara refleks dibekap jemariku sendiri. Aku tersadar akan suara perempuan yang keluar sesaat tadi. Pintu kamarku sontak saja didobrak keras. Kulihat ayahku memasang wajah berang.
“Diii, kamu udah berani bawa perempuan nginap di kamar ya!?”
“Te—tenang, Pah. Ini aku Dian,” ucapku mengangkat kedua tangan, tanda menyerah.
Kutangkap jelas ekspresi ayah yang menolak untuk percaya. Seakan kedua alisnya berusaha keras mengkerut hingga nyaris menyatu. “Maaf, saya kasar. Dian sembunyi di mana?” Dia bahkan memilih untuk tak menggubris penjelasanku tadi.
“Ini aku, Pah, anak laki-lakimu. Gak tau kenapa, mungkin aku kena kutukan sampe berubah wujud jadi anak perempuan.”
Kembali aku dijawab dengan keheningan. Sumpah, ekspesi ayahku itu terlihat menyebalkan sekali.
“Jangan ngawur, anak saya itu laki-laki. Saya tahu dia memang playboy, tapi gak sampai kayak gini.” Matanya menatapku lekat, memeriksa tiap sudut wajahku. Mungkin secantik-cantiknya sosok ini, bentuk dasar wajahku masihlah sama dengan diriku yang dulu.
“Aku Diaaaaan!” ucapku jengkel. “Inget gak waktu aku kelas enam SD, Bapak pernah mergokin aku nonton bokep sambil c**i di kamar? Terus besoknya aku balik mergokin Bapak lagi nunggangin Mama di ruang tamu jam dua malam?”
Ayahku terkejut luar biasa. Ingatan tadi tentu tak akan diketahui oleh siapa pun kecuali kami berdua.
“Dian, cerita itu sama kamu?”
“Hadeeeeh. Ini aku, Dian, anak sebatang kara. Aku gak pernah cerita aneh-aneh ke siapa pun, terutama tentang keluarga sendiri.”
Alisnya semakin mengerut, seolah menuntut bukti lebih jauh dariku.
“Bapak Dadang—” ucapku sarkastik, “Anda pernah menyogok saya lima ratus ribu ketika memergoki bapak yang baru keluar dari hotel melati sama temen kantor Bapak.”
“Apa yang…” Ayahku hilang kata-kata.
“Inget gak dulu Bapak pernah bawa cewek cantik ke rumah terus aku pergok? Bapak minta tolong dirahasiain, tapi aku gak mau. Sebagai gantinya kita bertiga malah indehoy bersama. Saya ikut n***e, gantian sama Bapak.”
“Iya, iya iyaaa! Hentikaaaan! Itu kamu, gak mungkin Dian cerita itu sama pacarnya sendiri.”
“Terus waktu aku kecil Bapak pernah ngajakin aku ke panti pijat, awalnya ia dipijat, tapi ternyata resleting celana Bapak dibuka, terus p***s bapak dihisap.”
“Nanti mamamu dengar,” ucap ayahku menyerah. “Itu kamu Dian, iya itu kamu.” Dia berubah panik seraya gelagapan menoleh ke segala penjuru rumah.
“Ada keributan apa, Pah?” ucap mamaku, datang di saat yang tepat. Ia membawa sepiring makanan. Pandangannya sontak saja tertuju padaku. “Siapa dia, Pah?”
Ayahku berusaha berdiri tegap, mengesankan pose tenang. Padahal aku tahu tadi dia terkejut bukan kepalang. “Mah… dia Dian. Eeeuh… anakmu… mungkin,” ucapnya tak yakin.
Ibuku tentu saja tak percaya, “Haaa!?”
“Hai Mah, ini aku Dian. Perlu aku ceritakan kebiasaan mamah ngegoda om-om tukang rujak waktu aku kecil dulu? Sampe masuk ke ruang tengah segala?”
Ayahku tentu saja berubah kaget, sementara ibuku terlihat gelagapan, “Dian? Itu beneran kamu, Nak?” Mudah sekali ia menyerah pada satu penjelasan saja. Padahal masih ada segudang kartu AS lainnya.
“I—iya mah, sekarang aku jadi perempuan. Entah kenapa…,” ucapku penuh penyesalan.
Ibuku pingsan seketika itu juga.
…