“Masih banyak lagi nih, Ma?” tanya Andra malas saat membantu Mayang memasukkan undangan pernikahan Kiara ke amplop berwarna coklat kayu.
“Dikit lagi. Ini nanti kamu kirim lewat pos aja, Le. Kalau pakai jasa pengiriman swasta takut nggak nyampek.”
“Iya Ma, iya. Mama udah bilang sebelas kali loh dari tadi. Sampai bosan aku.”
Mayang tertawa kecil menatap wajah dongkol anak laki-lakinya itu.
“Tck, Jakarta ya. Tiap hari isinya demo terus. Belum lagi macet yang nggak teratasi,” celoteh Mayang saat menonton acara berita di salah satu stasiun televisi. “Semua stasiun tv beritanya sama, demonstrasi, korupsi, n*****a, pembunuhan, perampokan, tck...tck... Mau jadi apa negara ini?” imbuh Mayang masih membahas soal kondisi tanah air tercintanya.
“Mama kenapa jadi ngomel? Kalau nggak suka ya jangan ditonton, Ma. Gitu aja kok repot.”
“Ish ... kamu ya, Le. Mbakmu itu sebentar lagi tinggal di Jakarta. Wajar dong Mama khawatir.”
“Mbak Kiky kan ada suaminya, Ma. Nggak tinggal sendiri ini dia.”
Andra meraih remote control lalu memindahkan saluran tv yang sedang ditampilkan ke saluran tv lain. Berharap dengan cara ini Mayang berhenti mengomel dan berpikiran macam-macam.
“Eh, jangan diganti dong, Le. Mama kan lagi nonton. Abis ini ada siaran langsung penangkapan gembong n*****a loh.”
Dengan berat hati Andra mengembalikan saluran tv ke saluran tv semula. Di layar TV LED 29 inch muncul seorang reporter televisi perempuan yang sedang menyiarkan berita secara langsung dengan latar belakang sebuah rumah tidak terawat di tengah perkebunan karet. Kedua mata Andra terbuka lebar melihat siapa yang muncul di layar televisinya. Perempuan yang tak lain Silvia tersebut sedang menyampaikan di mana posisinya saat ini.
“Duh..., itu reporter cewek berani banget liputan acara beginian,” celetuk Mayang. Membenarkan posisi duduknya. Tidak lama terdengar suara tembakan di dalam acara berita yang di siarkan secara langsung tersebut.
“Astagfirullahaladzim,” ucap Mayang dan Andra bersamaan.
Kamera langsung mengarah ke arah polisi yang berlarian dan membawa senjata api. Sambil ikut berlarian, suara reporter terdengar terus menyampaikan kondisi yang sedang terjadi di lapangan. Namun kamera sudah tidak lagi menyorot ke arahnya. Fokus kamera menyoroti polisi yang sedang berlarian untuk mengepung rumah yang diduga menjadi sarang gembong n*****a.
Andra dan Mayang hanya bisa menahan napas sesaat. Adegan kejar-kejaran antara polisi dengan tersangka yang diduga gembong n*****a dan suara tembakan masih terdengar di balik layar televisi. Beberapa menit kemudian, tersangka berhasil dilumpuhkan. Kamera kembali mengarah kepada reporter yang sedang menyiarkan berita.
“Pemirsa, telah kita saksikan bersama, polisi sudah membekuk pelaku yang diduga adalah gembong n*****a yang masuk dalam daftar pencarian orang selama dua bulan terakhir. Pelaku berjumlah tiga orang. Ketiga orang tersebut diduga telah mencoba mengirim seratus kilogram sabu-sabu, 50 kilogram g***a, juga ribuan pil ekstasi. Saya, Silvia Chaniago dan tim yang bertugas, melaporkan dari lapangan. Terima kasih dan selamat pagi,” ucap reporter tersebut lalu menampilkan senyum tipis di akhir ucapannya.
Andra terkejut hingga memerosotkan tubuhnya di sofa. Mayang menatap tingkah Andra dengan penuh tanya.
“Kamu kenapa, Le?”
Andra diam hingga Mayang menyentuh pundaknya dan membuat Andra tergagap, lalu langsung meninggalkan Mayang menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, Andra menimang-nimang ponselnya. Ia memutar lalu mengetukkan ujung ponsel di keningnya. Akhirnya Andra memutuskan masuk ke akun i********: Silvia dan mengirim sebuah pesan menanyakan apa Silvia baik-baik saja.
Setelah pesan terkirim, Andra menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sambil menggerutu sendiri. Hingga lima belas menit berlalu belum ada balasan dari Silvia, Andra memutuskan untuk me-nonaktif-kan ponselnya. Karena tidak tahu harus menjawab apa, seandainya Silvia menanyakan maksudnya mendadak sok baik pada gadis itu.
“Ngapain juga aku mesti repot-repot kepengen tahu kondisi dia? Preketek lah,” gerutu Andra lalu mengganti baju dan meninggalkan kamarnya.
Mayang melihat Andra berlari kecil menuju garasi. “Andra!l? Mau ke mana? Ini undangannya gimana? Kan mau dikirim!”
“Nanti aja deh, Ma. Andra mau keluar dulu.”
“Kantor posnya keburu tutup loh!”
“Senin juga pasti buka kok, Ma. Woles aja napa?”
“Kamu ini. Emang mau ke mana? Buru-buru gitu. Belum sarapan loh!”
Andra tidak menjawab pertanyaan Mayang, langsung melajukan matic-nya setelah mengucap salam.
Mayang masuk rumah sambil menahan kesal. Kiara ikut bergabung dengan Mayang yang sedang melanjutkan pekerjaan Andra tadi, membungkus undangan untuk dikirim ke anggota keluarganya yang berada di luar kota. Kiara bertanya kenapa mamanya itu terlihat kesal. Mayang lalu menceritakan alasan kenapa mengapa dia terlihat kesal.
“Andra itu sekarang lagi deket sama siapa? Apa lagi punya pacar gitu, Ky?” Tiba-tiba Mayang mengajukan pertanyaan itu.
Kiara terlihat sedang berpikir. Dia menghela napas lalu berujar, “nggak tahu ma. Kayaknya deket lagi sama mantannya. Soalnya Kiky beberapa kali mergokin Andra jalan sama cewek itu.”
Mayang menghentikan aktivitasnya, demi menghadap pada Kiara. “Serius kamu Ky? Mantannya yang anak juragan beras itu? Bukannya cewek itu udah ninggalin Andra ya? Ish, Mama inget banget, Andra jadi aneh, pendiam dan jarang keluar kamar gara-gara cewek itu.”
“Nggak tau deh, Ma. Jangan terlalu dicampurin urusannya Andra. Tahu sendiri kan gimana anak itu kalau terlalu dicampurin urusannya. Nanti dia ngambek trus nggak mau pulang ke rumah, gimana?”
Mayang menghela napas panjang. Kiara benar, Andra tipikal manusia yang paling tidak suka jika ada orang lain sangat ingin tahu urusannya, apalagi mencampuri masalah pribadinya. Satu jam setelah kepergian Andra, Nessa datang berkunjung ke rumah Andra. Mayang yang membuka pintu terlihat agak terkejut dan bingung karena tidak familier dengan wajah di hadapannya.
“Assalamualaikum, tante,” ucap Nessa lalu menyalami Mayang.
“Walaikumsalam. Cari siapa ya?” tanya Mayang kikuk karena ada gadis asing tiba-tiba menyalaminya seperti ini.
“Saya Nessa, temannya Andra. Tante ingat saya nggak?”
Seketika itu Mayang menatap Nessa dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hari ini tubuh langsing Nessa dibalut dress A line selutut warna kuning gading, rambut panjangnya dibiarkan terurai dengan tambahan curlie di bagian ujungnya. Tubuh Nessa memang terlihat lebih berisi dari terakhir Mayang lihat. Riasan wajah Nessa juga lebih dewasa dari tiga tahun yang lalu. Karena sudah lama sekali tidak pernah berjumpa, Mayang jadi tidak bisa langsung mengenali Nessa.
“Kirain siapa. Andranya lagi nggak di rumah,” jawab Mayang canggung sampai lupa mempersilakan Nessa masuk rumahnya.
Mayang mengedikkan kedua bahunya saat Nessa bertanya kemana Andra pergi. Tak lama Kiara muncul dan melongokkan kepalanya dari belakang punggung Mayang.
“Nessa ya? Eh, kok nggak masuk?” ujar Kiara mempersilakan Nessa masuk rumah. Mayang sadar menghalangi jalan Nessa, bergegas bergeser dari pintu dan memberi jarak supaya Nessa bisa masuk rumahnya.
Di dalam Kiara yang menjamu Nessa. Sedangkan Mayang enggan bergabung dengan obrolan mereka. Wanita paruh baya itu memilih masuk ke kamarnya.
“Kamu apa kabar, Sa?” tanya Kiara.
“Baik mbak. Saya denger mbak mau nikah ya?”
Kiara mengangguk sambil tersenyum.
“Mbak Kiky dapat orang mana?”
“Orang Jakarta.”
“Jauh ya, Mbak. Kirain teman sekantor.”
“Iya jauh banget. Jodoh siapa yang tahu. Bisa datang dari orang terdekat, bisa juga datang dari orang yang tidak pernah kita duga sama sekali.”
Nessa hanya mengangguk setuju dengan ucapan Kiara.
“Kamu mau minum apa?”
“Nggak usah mbak, saya buru-buru. Ada perlunya dengan Andra.”
“Oh, gitu. Coba kamu cari Andra di showroom. Kalau nggak ada coba cari di kafenya Riky. Tahu kan tempatnya?”
Nessa terlihat berpikir. Dia memang tidak pernah tahu di mana tempat yang dimaksud oleh Kiara. Nessa akhirnya menggeleng canggung. Kiara memberikan alamat lokasi kafe milik teman dekat Andra tadi. Sebelum Nessa pergi, Kiara meminta Nessa hadir di acara pernikahannya nanti, bukan sebagai tamu undangan, tetapi sebagai bagian dari pihak keluarga Kiara.
Di showroom-nya, Andra sibuk mengecek kondisi mobil yang akan dibawa oleh pemilik barunya beberapa saat lagi. Dia memastikan mobil yang dijual harus benar-benar dalam kondisi baik. Andra tidak ingin ada komplain setelah pembeli meninggalkan showroom. Nessa muncul di samping Andra ketika laki-laki jangkung itu menunduk di bawah kap mobil yang tengah terbuka.
“Andra?”
Padahal Nessa menyebut nama Andra cukup pelan, tapi mampu membuat Andra terkejut dan secara reflek mengangkat kepalanya. Andra mengaduh sakit ketika kepalanya terbentur kap mobil.
Nessa yang melihat langsung mengusap kepala Andra. Tanpa diduga Andra memegang tangan Nessa yang sedang menyentuh kepalanya. Saat tangan keduanya saling bersentuhan yang terjadi, keduanya langsung sama-sama tersenyum kikuk. Ini adalah sentuhan fisik pertama selama beberapa bulan terakhir sejak mereka bertemu kembali setelah tiga tahun berpisah. Selama ini Andra tidak pernah mencoba mengambil kesempatan untuk menyentuh Nessa sedikit pun. Meskipun sejujurnya Nessa juga tidak akan menolak seandainya Andra ingin menyentuhnya, seperti sentuhan berupa menggandeng tangan atau mengusap puncak kepalanya. Hal yang kerap Andra lakukan dulu sebagai salah satu cara untuk menyampaikan rasa sayangnya pada Nessa.
“Merhatiin apa sih? Sampek kaget banget gitu,” ujar Nessa menghentikan suasana awkward yang terjadi selama beberapa detik.
“Oh..., ini, Ngecekin mesin. Sebentar lagi mau diambil pembelinya.”
Nessa mengangguk dan tersenyum lalu mengikuti langkah Andra menuju ruangan lain di showroom.
“Handphone kamu kok nggak bisa dihubungi daritadi. Chat-ku cuma centang satu doang.”
Andra lantas memeriksa ponselnya. Memastikan penyebab Nessa tidak bisa menghubunginya. Dia lupa mengaktifkan kembali ponselnya setelah mengirim pesan di akun i********: Silvia.
“Tadi abis di charge,” kilah Andra. “Ada apa? Penting banget sampai nyariin aku ke sini?”
“Aku tadi ke rumah kamu, Dra.”
Andra terlihat tidak suka dengan pernyataan Nessa. “Ngapain sampai ke rumah?” tanyanya dengan nada bicara agak ketus, seakan-akan Nessa telah melakukan kesalahan yang cukup fatal.
“Ya abis, ditelponin nggak bisa, di-chat juga nggak balas.”
Andra hanya merespon dengan kata “oh” saja alasan Nessa. Dia merasa bersalah karena telah bersikap berlebihan menanggapi perbuatan Nessa mengunjungi rumahnya.
“Mama kamu berubah ya, Dra,” ujar Nessa selanjutnya.
“Berubah gimana? Makin tua maksudnya?” Andra tertawa ringan di akhir ucapannya.
“Nggak gitu. Beda aja lah. Mama kamu berubah pokoknya.”
“Berubah gimana? Ngomong mamaku berubah terus daritadi. Berubah jadi power rangers pink gitu kah?”
Kali ini Andra tak sanggup menahan tawanya. Nessa hanya menggeleng kesal dengan tanggapan cuek Andra.
“Bisa nggak sih sesekali kita bicara lebih serius, Dra?”
Nada bicara Nessa terdengar lebih tegas kali ini membuat tawa Andra reda seketika. Ada keheningan sejenak sebelum Andra menjawab, “eh, soal apa ya?” tanyanya tidak mengerti. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba Nessa muncul dan mengajaknya bicara serius. Jelas Andra bingung. Dia tidak mempunyai persiapan apa pun menghadapi momen seperti ini.
Nessa menarik napas terdalam lalu berkata, “aku..., aku mau ngomongin tentang kita.” Kepala Nessa tertunduk setelah berhasil mengucapkan kalimatnya yang terdengar meragu.
“Tentang? Kita?” tanya Andra mengucap pelan kata tentang dan kita. Nessa mengangguk sebagai jawaban. Andra malah tertawa hambar menanggapi pertanyaan Nessa.
“Oke. Apa yang mau kamu tahu?” tanya Andra dengan mimik wajah serius kali ini. Menuruti mau Nessa. Sekuat apa pun dia menghindar, momen ini akan tiba pada waktunya.
“Aku ingin tanya, hubungan kita ini namanya apa ya, Dra? Kamu tuh kayak ngasih harapan pada seseorang, tapi kamu nggak bisa mempertanggung jawabkan harapan itu.”
Andra cukup terkejut hingga terbatuk mendengar pertanyaan Nessa. Hati Andra terasa tergelitik untuk membalik pernyataan Nessa menjadi sebuah pertanyaan. “Maksud kamu? Aku pemberi harapan palsu gitu?”
Nessa mengangkat kepalanya, matanya beradu dengan mata Andra yang sedang menatap tajam menunggu jawaban dari Nessa. Tak lama, Nessa melempar pandangannya ke segala arah, menghidari tatapan intens dari Andra.
“Gini deh, sebelum aku jawab pertanyaan kamu, lebih baik jawab dulu pertanyaan aku,” ujar Andra menengahi.
“Pertanyaan apa?” Nessa kembali memberanikan diri menatap kedua mata Andra. Adrenalinnya berpacu, saat mendapat tatapan lekat dari Andra yang menusuk tepat di jantung hati Nessa.
Andra menarik napas terdalam saat membalas tatapan Nessa. “Kenapa dulu kamu mutusin aku dan nggak ngasih aku kesempatan untuk tahu di mana letak kesalahanku sampai aku diputusin? Kasih aku penjelasan juga kenapa setelah putus, kamu jadi kayak Air Asia, lost contact lalu menghilang gitu aja.” Ada senyum getir terulas di wajah Andra. Dia sedang menertawakan dirinya sendiri yang sedang berusaha keras melawan perasaannya dengan omong kosong.
Tatapan Andra yang tadi tajam berubah syahdu. Hatinya kembali merasa sedih dan tersakiti saat mengajukan pertanyaan itu. Harga dirinya ia buang ke dasar bumi demi mendapat jawaban atas pertanyaan yang sering mengusik tidur nyenyaknya sepanjang tiga tahun.
Nessa tidak lantas menjawab. Dia terdiam sejenak dan tertunduk dalam menatap lantai keramik tempat kakinya berpijak. Dia bingung harus menjawab apa karena belum-belum dia sendiri sudah merasakan kesedihan yang mendalam dan ingin menangis detik itu juga. Bukan hanya Andra yang tersakiti, Nessa juga merasakan sakit dan menyimpan penyesalan yang teramat dalam hingga saat ini.
“Kenapa diam? Aku butuh jawaban, tapi bukan jawaban klise seperti yang dulu kamu ucapkan.”
“Aku merasanya, waktu itu aku yang berjuang sendirian dan kamu hanya diam melihat nggak merespon perjuanganku.”
Andra semakin tidak mengerti maksud Nessa. Keningnya berkerut berusaha mengerti maksud ucapan Nessa.
“Berjuang sendirian? Di sisi mananya bilang kamu berjuang sendirian? Dari sudut mana kamu bilang kalau aku cuma diam nggak merespon?”
“Kamu sibuk dengan dunia kamu sendiri, masa muda kamu, idealisme kamu, band kamu dan teman-teman kamu, Dra. Aku sendirian memperjuangkan hubungan kita. Aku mati-matian nyuruh kamu nyelesein skripsi kamu, aku selalu ngingetin kamu untuk kuliah, aku selalu ngingetin kamu untuk nggak kumpul sama teman-teman band kamu. Aku tuh capek. Aku merasa perasaan kamu ke aku udah berubah, dan kamu sudah nggak mau bertahan karena mungkin kamu udah kasih hati kamu ke orang lain, bukan untuk aku lagi.”
Suara Nessa melemah di akhir ucapannya. Cairan bening mulai membasahi pipi Nessa. Dia tidak sanggup lagi membendung aliran air matanya. Andra hanya menatap kosong sekitarnya, tanpa sanggup menatap Nessa yang wajahnya kini sudah bersimbah air mata.
“Pernah nggak sekali aja kamu tanya waktu itu mau aku apa? Mau hubungan yang seperti apa? Apa yang diharapkan dari hubungan kita yang sudah terjalin cukup lama?” tanya Andra dingin.
Hening, tak ada satu jawaban meluncur dari bibir mungil Nessa. Dia memang tidak pernah membicarakan soal itu dulu, saat mereka masih bersama. Pikirannya terlalu picik kala itu. Dia sayang Nessa, begitupun sebaliknya. Itu saja sudah cukup.
“Seharusnya kamu bisa ngerti kalau aku juga berjuang untuk kita. Nggak semua hal harus sesuai dengan apa yang kamu mau. Yang terbaik bagi kamu belum tentu yang tepat buat aku. Kalaupun aku mempertahankan itu semua yang kamu anggap buruk buat aku, bukan berarti aku nggak sayang sama kamu. Seharusnya kamu ngerti itu, Cha.”
Nessa semakin terisak mendengar kalimat panjang Andra yang penuh makna dan menggores hati Nessa.
“Satu lagi, tolong bedain, yang kamu bicarakan itu hati, bukan i********:. Ngasih hati ke orang tuh nggak semudah ngasih tap dua kali di sebuah postingan foto maupun video,” ucap Andra tenang, lalu beranjak dari duduknya.
~~~
^vee^