Silvia adalah gadis yang ceria dan penuh semangat. Sore ini terlihat sedang menimang kamera Nikon D7000 pemberian Alvino, Abang semata wayangnya, yang merupakan kado ulang tahun Silvia ke-24, satu tahun lalu. Perpaduan aroma espresso dengan coklat terkuar dari secangkir mochacino panas yang baru saja disajikan oleh pelayan kafe bergaya retro, tempat dia menunggu seseorang yang biasa menjemputnya saat pulang kerja, Geraldy, laki-laki yang berstatus pacar Silvia selama satu tahun.
Sudah sekitar setengah jam Silvia berada di kafe ini, tetapi orang yang dinanti belum juga menunjukkan batang hidungnya. Silvia mulai bosan. Belum lagi hatinya diliputi rasa gelisah. Jangan sampai ketika dia pulang, abangnya yang dingin dan super kaku itu sudah lebih dulu ada di rumah lalu meng-interogasi saat memergoki Silvia diantar pulang oleh laki-laki yang sama sekali belum pernah diperkenalkan pada abangnya. Sebenarnya Alvino adalah orang yang sedikit acuh dan ia segan mencampuri urusan pribadi adiknya, tapi tetap saja Silvia merasa sungkan dan tidak enak hati.
Membunuh rasa bosannya, Silvia mengarahkan lensa kamera fokus menyorot cangkir di atas meja. Sebuah ide melintas di kepalanya. Dia lalu mematikan flash, dan mengambil lensa fix 50mm dari dalam tas ransel, memasangnya dan mengubah setelan fokus kamera menjadi manual, dengan f/2.8. Kemudian Silvia berpindah posisi agar mendapat sudut pandang terbaik. Tombol shutter[1] ia tekan beberapa kali untuk mendapatkan bidikan yang cantik.
Puas dengan hasil memotretnya, Silvia kembali duduk di posisinya semula lalu mengamati hasil bidikannya yang tampil di layar kamera. Gadis berambut kucir kuda itu tersenyum puas melihat foto makro cangkir yang menggelap dengan flare[2] berbentuk segi enam transparan. Silvia kembali membidik cangkir mochacino dengan kamera ponselnya, lalu mengunggah hasil jepretan tadi ke akun i********: pribadinya. Baru beberapa menit, foto tersebut sudah mendapat puluhan like dari pengikut akun i********:-nya. Silvia memang pengguna aktif media sosial itu. Pengikut akunnya sudah mencapai ribuan pengikut dan wajar mengingat pekerjaannya juga berkecimpung di dunia pertelevisian.
Selain bekerja sebagai reporter di sebuah stasiun televisi swasta, Silvia juga memiliki hobi memotret. Fotografi adalah napas kedua baginya setelah udara. Sayang, Abangnya yang punya tampang tampan tapi datar itu tidak terlalu mendukung cita-cita Silvia menjadi seorang fotografer. Kalau hanya sekadar untuk hobi tidak masalah, tapi jangan untuk dijadikan sebagai sarana penyambung hidup, begitu pesan Alvino saat mengetahui hobi adik perempuannya. Alvino bukan melarang tanpa alasan.
Abangnya itu pernah melihat aktivitas Silvia ketika menjadi asisten fotografer di sebuah studio foto untuk mengisi waktu luang setelah lulus kuliah. Saat itu Silvia tidak lebih dari seorang kacung. Pekerjaan yang dilakukannya selama hampir enam bulan di studio itu cuma angkat-angkat barang, memasukkan kamera, membersihkan lensa, menggulung kabel, memegang kipas angin, serta mengangkat selendang model supaya melayang-layang. Sejak itu, Alvino meminta Silvia untuk mengundurkan diri dari studio tersebut.
Ponsel di dalam tas ransel Silvia melantunkan lagu milik Little Mix yang berjudul Secret Love Song sebagai nada dering ponsel. Silvia meletakkan kamera di atas meja dan menengok ke dalam tas untuk memeriksa siapa yang meneleponnya, ternyata abangnya.
“Via, kamu di mana? Mau dijemput sekalian nggak?”
Napas Silvia tercekat mendengar suara berat khas Abangnya saat memberi tawaran untuk menjemputnya.
“Emmmh ..., emangnya Bang Vino udah pulang kantor?”
“Baru kelar kerjaan. Kamu mau dijemput nggak?” tanya Alvino sekali lagi. Sepertinya laki-laki itu sedang tergesa-gesa.
“Via belum selesai nih,” bohong Silvia dalam duduk gelisahnya.
“Ya udah. Abang langsung ke tempat Dastan aja kalau gitu. Kamu jangan kemalaman pulangnya. Kalau lembur, kabari abang.”
Belum sempat Silvia menjawab, panggilan telepon sudah lebih dulu terputus. Silvia menghela napas berat seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Beberapa saat kemudian, ada yang menekan pundaknya dari arah belakang. Geraldy sudah berdiri dengan pakaian kerjanya yang masih terlihat rapi. Laki-laki itu begitu gagah dalam balutan celana kain hitam, kemeja slim fit warna putih dengan pelipit motif batik yang melintang di sepanjang lintasan kancing kemeja dan juga pantofel hitam mengkilatnya.
“Udah lama? Sory ya, tadi masih janjian ketemu sama calon nasabah. Nggak enak aja kalau dibatalin, orangnya susah ditemui, sih,” jelas Geraldy diiringi senyum lembutnya untuk Silvia.
Laki-laki yang memiliki kontur wajah tegas, hidung mancung dan senyum menawan itu mencium puncak kepala Silvia sekilas, lalu mengambil posisi duduk di samping gadis yang saat ini tengah memberengut karena kesal.
“Lain kali kalau emang nggak bisa jemput ngomong dong. Aku kan bisa pulang sendiri.” Silvia menggerutu. Namun, laki-laki yang masih wangi dengan aroma parfum yang segar dan maskulin dari tubuhnya itu seolah tidak memedulikan gadisnya yang tengah kesal.
“Habis telepon siapa barusan? Mukanya tegang gitu?” tanya Geraldy mengalihkan protes Silvia soal keterlambatannya. Sorot mata tajamnya menyipit menatap Silvia penuh curiga.
“Abangku.”
“Abang siapa?”
“Ya Abangku lah. Siapa lagi?”
“Kirain Abang baru aja kenalan,” tandas Geraldy dengan tatapan mata penuh curiga.
“Geraldy, stop deh bersikap curigaan gitu sama aku!”
“Ya kalau emang nggak, kamu nggak perlu marah dong, sayang.”
Silvia mendengus, lalu menghabiskan isi cangkirnya yang sisa separuh cangkir. Dia segera mengemasi barang-barangnya ke dalam tas ransel dan beranjak dari kursi. Geraldy menyusul langkah cepat Silvia. Saat Silvia sedang melambaikan tangannya untuk menghentikan laju sebuah bus, kekasihnya itu menarik tangan Silvia menuju area parkir motor.
“Maafin aku, sayang. Aku sama sekali nggak bermaksud curiga sama kamu. Aku tuh cuma nanya, salah?”
“Nggak salah. Cuma cara kamu tanya itu bukan sekedar bertanya, tapi lebih ke nuduh, tau nggak.”
“Ya udah, maaf. Kita pulang sekarang ya,” bujuk Geraldy dan Silvia hanya mengangguk dengan wajah masih ditekuk.
Selama motor milik Geraldy melaju di atas aspal ibu kota, biasanya Silvia tidak berhenti mengoceh menceritakan aktivitasnya hari ini dan dengan senang hati Geraldy akan mendengarkannya. Namun malam ini, gadis itu lebih memilih diam. Hatinya masih diliputi rasa kesal mengingat sifat kekasihnya yang memang terkadang kelewat posesif.
Geraldy sengaja mengulur waktu dengan melewati jalur berbeda dari yang biasa dilewatinya untuk menuju rumah Silvia agar bisa berlama-lama bersama kekasih hatinya. Berharap cara ini ampuh untuk meluluhkan kekesalan Silvia padanya. Benar saja, cara yang dilakukan Geraldy terbukti ampuh. Setelah sampai rumah, wajah Silvia yang tadinya memberengut kesal kini telah ceria seperti biasanya. Sebelum Silvia masuk ke dalam rumah, Geraldy memanggilnya.
“Via, aku pengin ketemu Abang kamu, secepatnya.”
“Sabar. Nanti kalau sudah waktunya pasti aku kenalin.”
“Tapi kapan? Aku nggak akan berhenti bersikap posesif sama kamu sebelum-”
Silvia mengibaskan tangannya kemudian berlalu begitu saja meninggalkan kekasihnya. Geraldy mendesah panjang mendapati sikap dan jawaban yang sama dari waktu ke waktu jika dia meminta hal itu kepada Silvia. Dia tahu, Silvia mulai bosan dirongrong seperti tadi, tapi laki-laki berusia 27 tahun itu sudah sangat serius dengan hubungannya. Meski dicap “kebelet kawin” sekalipun, dia tidak peduli. Dia begitu takut kehilangan Silvia.
Seminggu setelah pertemuannya dengan Nessa, ternyata Andra tidak mempunyai nyali untuk menemui gadis yang pernah menghuni hatinya selama tujuh tahun itu. Rasa kecewa yang begitu mendalam pada Nessa selalu menghalangi niat kuat Andra untuk menemui Nessa. Hatinya terus memastikan apa tindakannya sudah benar jika pada akhirnya nanti dia memutuskan menemui mantan kekasihnya itu. Sudah siapkah hatinya menerima kenyataan jika seandainya realita tidak berpihak pada ekspektasinya.
“Kemarin teman aku ada yang lihat mobil di bursa Golden Bank, tapi kamunya nggak ada di sana, jadi dia nggak berani nego harga, Dra,” suara Riki disertai lemparan bungkus rokok ke arah wajah Andra mampu menghentikan angannya yang sedang terbang bebas tak tentu arah. Suara hati kecilnya terdengar memaki karena sudah nekat melamun di tempat umum.
Andra menghentikan aktivitas memetik gitar akustik milik sahabatnya. “Mobil yang mana? Suruh ke Showroom aja langsung,” jawab Andra dengan santai lalu mulai meng-genjreng gitar berwarna hitam tersebut dan menyanyikan sebuah lagu lawas dari Dewa 19 yang berjudul Restu Bumi.
Warung kopi tempat Andra biasa nongkrong sepulang dari showroom terlihat sepi malam ini. Hanya ada tiga sampai empat pengunjung mengisi kursi-kursi yang terbuat dari kayu. Biasanya kalau malam Sabtu begini, semakin malam semakin padat pengunjungnya. Entah saat ini kurang malam atau orang-orang memang sedang malas menghabiskan waktu di luar rumah setelah hujan lebat mengguyur hampir seluruh penjuru kota Jember tadi sore.
“Ngelamunin opo kamu, cuk[3]? Aku kayak ngomong sama meja dari tadi,” celetuk Riki kesal atas sikap Andra yang mengacuhkannya beberapa detik yang lalu.
Andra tertawa. “Ngelamunin utangmu kapan mau dibayar, bang Toyib sampek sudah pulang kampung setelah tiga kali lebaran nggak pulang-pulang,” jawabnya dengan santai kemudian melanjutkan permainan gitarnya.
Riki mengumpat penuh kekesalan pada Andra. “Sengaja nggak aku bayar. Perjanjiannya kan aku bayar kalau kamu sudah punya pacar,” balas Riki. Dia terbahak setelahnya.
Andra tersenyum kecut lalu berkata, “aku ketemu Nessa,” ujar Andra setelah menyelesaikan permainan gitarnya. Dia menghela napas berat lalu menyeruput kopi yang tak lagi hangat karena sudah disajikan sejak satu jam yang lalu.
“Nessa sopo?” tanya Riki, sahabat Andra sejak masa sekolah.
“Khayla Nessa pacar kamu ya, Dra?”
Suara berat lain ikut nimbrung diantara dua sekawan ini. Feri, sahabat Andra yang lain datang dengan masih mengenakan seragam cokelat tuanya, hanya saja bagian atasnya di tutupi oleh jaket kulit warna hitam.
“Mantan, cuk!” jawab Andra tak lupa mengumpat di akhir ucapannya.
“Halah, titelnya doang mantan, tapi fotonya masih tersimpan rapi di dalam dompet,” jawab Feri tak mau kalah setelah mendapatkan u*****n dari Andra. Riki hanya ikut tertawa tapi tidak ikutan menambahi.
Andra tidak menghiraukan. Dia hanya mengangkat p****t dan bergegas menuju motornya di area parkir depan warung kopi yang terletak di pinggir jalan raya besar.
“Mau ke mana, Dra? Aku baru datang kamu malah pergi,” seru Feri saat melihat sahabatnya itu beranjak dari tempat duduknya.
“Mau pulang, tidur. Besok mau ngantar mbak Kiky ke Surabaya, jemput calonnya yang datang dari Jakarta.”
“Alaaah..., Alasan! Palingan kamu mau nelepon Nessa kan, ngajakin dia ketemuan malming besok?” Kali ini Riky menyahuti. Ia sungguh tidak tahan lagi ingin menggoda Andra. Kebetulan dia punya pendukung yang kuat jadi tidak perlu takut jika Andra membalasnya.
“Congormu[4], Rik!” Maki Andra tanpa memedulikan lagi kedua sahabatnya yang masih tertawa karena puas meledeknya.
Setelah berada di rumahnya, Andra langsung menuju kamarnya. Namun, Andra tidak bisa memejamkan mata sesuai harapannya bisa tidur cepat malam ini. Karena menurut alarm tubuhnya yang biasa begadang, pukul sebelas malam masih terlalu sore baginya untuk tidur. Iseng-iseng Andra membuka akun i********:-nya. Pada saat membuka menu explore, Andra menemukan sebuah postingan foto dari sebuah akun asing yang tidak pernah ia tahu siapa pemiliknya. Potret seorang perempuan sedang tertawa lepas sambil mendayung kano yang bergerak di atas lalut. Karena rasa penasaran terus menggodanya, Andra membuka saja foto tersebut.
Svia_Chaniago Meskipun dimarahin habis2an sepulang dari sini, nggak masalah. Pesona Raja Ampat sudah membayar lunas kemarahan abangku tersayang. #pesonaindonesia #rajaampat #travellercantik
View 4 comments
FandiAlam makanya Via, perginya sama bang Fandi. Yakin deh abang kamu yg galak itu langsung jinak.
Svia_Chaniago yakin? @FandiAlam
TanDastan adik lo digoda don juan! @AlChak
AlChak emang minta ditenggelamkan!
Andra belum sempat melihat siapa pemilik akun tersebut, karena pandangannya terlalu fokus pada pemandangan yang ada di foto itu. Terlalu indah untuk diabaikan begitu saja. Saat Andra sedang mengagumi pesona alam laut di Raja Ampat, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk cukup keras beberapa kali. Karena terkejut, Andra menekan layar ponselnya sebanyak dua kali, yang otomatis memberikan tanda suka di foto i********: tadi. Setelah menyahuti ketukan yang ternyata Kiara, ia mendesah. Kiara hanya sekadar mengingatkan adiknya itu supaya tidur cepat, khawatir besok Andra telat bangun pagi.
Sekembalinya dari menemui kakaknya di ambang pintu kamar, Andra melihat ponselnya untuk melihat siapa pemilik akun foto tadi. Andra tiba-tiba seperti merasa mengenal wajah di dalam foto tadi. Saking penasarannya, Andra membuka akun yang tidak di private tersebut. Muncul lah ratusan foto yang telah diunggah oleh pemilik akun dan salah satunya sebuah swafoto yang diambil pemiliknya beberapa hari yang lalu. Andra mendesiskan nama Silvia saat mengingat siapa gadis tersebut.
“Jancuuuk ...!!!”
Andra mengumpat dengan suara tertahan saat tahu foto siapa yang tadi dia bubuhi tanda suka. Andra kemudian menghapus tanda suka-nya di foto tadi, serta mematikan ponsel dan segera memaksakan tidur meski masih belum mengantuk. Saat mencoba memejamkan kedua matanya, Andra malah terkenang kejadian yang meninggalkan kenangan buruk beberapa bulan yang lalu antara dirinya dengan gadis pemilik akun i********: Svia_Chaniago tersebut.
~~~
[1] shutter=tombol untuk membidik gambar pada sebuah kamera
[2] flare=efek warna sebuah foto
[3] j****k=semacam u*****n dalam bahasa jawa kasar dan biasa digunakan sebagai panggilan kepada kawan akrab.
[4] congormu=mulutmu (u*****n)
~~~
^vee^