5. Tugas Oh Tugas

1671 Words
Senin pagi menyambut hari Silvia dengan seabrek aktivitas seperti Senin-Senin sebelumnya. Silvia mengawali hari sibuknya dengan liputan menyiarkan kondisi jalanan pagi ibu kota. Alvino yang masih setengah mengantuk hanya bisa mengikuti ritme kerja adik semata wayangnya itu. Silvia bisa saja berangkat sendiri, tapi Alvino tidak tega membiarkan adiknya itu subuh-subuh harus berangkat kerja supaya tidak berebut angkutan dengan pelajar dan pekerja kantoran lainnya. Sebenarnya Silvia juga memiliki Geraldy yang selalu bersedia mengantar dan menjemputnya bekerja. Silvia tinggal bilang saja. Namun, dia tidak ingin Alvino menaruh pikiran macam-macam jika Geraldy terlalu sering mengantar dan menjemputnya. Silvia juga tidak ingin dianggap cewek manja oleh pacarnya. Di hadapan siapa pun dia selalu ingin tampil sebagai sosok perempuan yang kuat dan mandiri. Setelah menyelesaikan liputan paginya, Silvia beserta kru liputan lalu lintas pagi memilih kembali ke kantor. Udara hangat dan kemacetan khas ibukota sudah selesai memberi sambutan pada pagi Silvia, tapi kopi bercampur cokelat kesukaannya belum menyentuh kerongkongannya barang setetes pun. Baru juga hendak membuat secangkir mochacino di pantry, seorang rekan kerjanya meminta Silvia ke ruangan Manajer Produksi Acara sekarang juga. Dengan mendesah lesu, Silvia meletakkan cangkir yang sudah berisi bubuk mochacino kemasan ke dalam lemari es yang letaknya di ujung pantry dan malas-malasan menuju ruangan bosnya itu. Vertical blind dalam kondisi terbuka dan dari balik kaca Silvia bisa melihat bosnya itu sedang membolak-balik lembaran-lembaran yang Silvia kira pasti tidak jauh dari proposal sebuah acara. Romy mendongak lantas berkutat lagi pada kertas-kertas di atas mejanya. “Masuk aja, Via! Kamu duduk dulu. Give me five minutes untuk menyelesaikan ini,” ujar Romi ramah seraya mengangkat kertas untuk ditunjukkan pada Silvia. Silvia mengganguk, memilih salah satu sofa, duduk santai sambil melihat ke sekeliling ruangan atasan yang jarang dimasukinya. Ada beberapa piagam dan piala penghargaan untuk acara yang berhasil dimenangkan stasiun televisinya di ajang nominasi acara pertelevisian. Silvia tersenyum hangat saat melihat salah satu piagam penghargaan yang berhasil diraih oleh acara berita yang sumber informasinya sebagian besar disumbang oleh Silvia. Namun, tiba-tiba raut wajah Silvia berubah pias saat melihat sebuah piagam penghargaan dalam kompetisi liputan dan fotografi wisata dan budaya kreatif se-Indonesia tahun 2016, yang dimenangkan oleh Silvia untuk kategori reporter utama dan penyunting gambar terbaik. Romy menghalangi dengan tubuhnya saat Silvia ingin melihat lebih jelas piagam tersebut. “Bagaimana kabar kamu pagi ini?” Silvia berdecak lalu menjawab pertanyaan basi bosnya itu. “Baik,” jawabnya malas. “Tumben saya dipanggil pagi gini?” Tidak salah jika Silvia menaruh curiga karena bosnya itu memang jarang memanggilnya pagi-pagi seperti ini. Kalau tidak ada masalah penting pastinya. “Minggu depan ada acara musik akbar yang akan digelar di Jakarta. Puncak acara musik itu, setelah konser keliling kota-kota besar di seluruh Indonesia.” Perasaan Silvia langsung tidak enak melihat bosnya itu berbicara dengan nada menggebu-gebu. Terlebih lagi sekarang sudah melangkah menuju ke hadapan Silvia. Seharusnya siapa pun yang sedang bercerita dengan semangat tentang sesuatu hal, pasti menimbulkan rasa antusias bagi lawan bicaranya, tapi tidak bagi Silvia. Sikap Romy malah membuat Silvia semakin curiga. “Acara musik itu diisi oleh band-band papan atas, penyanyi berkelas dan band-band indie terkenal. Pasti rame banget, Via,” ujar Romy selanjutnya. Silvia mengangkat kedua tangan dan bahunya bersamaan. “So?” tanyanya masih belum mengerti apa alasan bosnya itu membicarakan soal konser musik dengan Silvia, yang hampir diketahui oleh orang-orang seantero TvM adalah orang yang cukup anti musik dan acara yang berkaitan dengan musik terutama konser atau festival musik. “So? Ngapain kamu mesti nanya? Kamu kan wartawan, reporter terbaik yang dimiliki oleh TvM. Aku minta kamu liput acara itu dengan sangat perfect. Dari mulai kegiatan sound check, gladi resik sampai puncak acaranya. Oya, satu lagi, wawancara minimal sepuluh pengisi acara musik itu. Jelas, Silvia Chaniago?” Silvia hanya menatap bosnya itu dengan kedua mata yang hampir copot. Saat kedua tangan kokoh Romy mendarat di lengan Silvia, baru gadis yang sehari-harinya lebih sering mendengar berita politik ketimbang musik tanah air itu tersadar dari kebengongan sesaatnya. “Aku nggak pernah meliput acara begituan pak Romi. Ngeri ah meliput acara konser.” “No way! Perintahku tidak bisa digugat. Lagi pula apa yang mesti kamu takutkan? Waktu kejadian bom Sarinah kamu ada di barisan paling depan, pas ada demo besar-besaran bela islam juga kamu ngotot banget mau liputan. Malah hasil liputan kamu menduduki rank tertinggi di antara tayangan yang sama.” “Ta, tapi, pak-” “Sudah ya. Persiapkan semuanya. Acaranya satu minggu lagi. Oya, jangan lupa wawancara Rossa. Itu poin pentingnya!” Romy meninggalkan Silvia yang terduduk lesu. Mati gue habis ini, rutuk Silvia setelah Romy pergi dari ruangannya. Bagaimana dia tidak berpikir sejauh itu jika selama berprofesi sebagai wartawan, Silvia sama sekali tidak pernah berhubungan dengan berita hiburan apalagi musik tanah air. Keluar dari ruangan bosnya, Silvia segera mengumpulkan informasi tentang acara musik yang dimaksud oleh bosnya. Ternyata bosnya itu sudah mengurusi segala kebutuhan liputan termasuk perijinan untuk peliputan secara resmi acara musik itu. Biasanya Romy tidak pernah mau repot-repot mengurusi hal kecil seperti itu. Posisi duduk Silvia langsung merosot ketika melihat tayangan di platform Youtube, betapa besarnya acara konser musik yang dimaksud bosnya tadi di Bali sebulan yang lalu. Silvia memang pernah mendengar acara musik ini dulu. Namun, dia tidak berminat sama sekali meski hanya sekadar menonton sekalipun. Alvino selalu menakut-nakuti Silvia, bahwa banyak cowok rese' dan siap menjahati dia kapan saja di acara konser musik. Tentu saja hasutan itu berhasil merasuk ke alam bawah sadar Silvia hingga detik ini. “Manyun gitu sayang?” Geraldy menegur Silvia saat mereka sedang menghabiskan waktu untuk makan siang bersama. Silvia hanya menatap kosong pada piring kosong bekas makannya lalu berujar, “ngeselin, sumpah!” Lagi-lagi Silvia merosotkan punggung lesu meski telah menghabiskan seporsi nasi padang. Geraldy yang selalu perhatian pada Silvia, tentu saja langsung mengira ada yang tidak beres pada kesehatan kekasihnya. “Masa aku disuruh ngeliput acara konser? Gimana bentuknya aja aku nggak pernah tahu.” Silvia hampir saja menangis. Andai saja ini bukan tempat umum, rasanya dia ingin sekali menjerit dan memaki bosnya itu karena sudah seenak jidat memberinya tugas. Geraldy mengusap lengan Silvia yang terjulur di atas meja dengan lembut. Namun, Silvia sedang tidak dalam keadaan ingin diperhatikan dengan cara klasik seperti yang tengah dilakukan oleh Geraldy saat ini. “Kapan acaranya?” tanya Geraldy lembut. “Mulai hari Jumat minggu depan.” “Yaaah..., aku nggak bisa nemenin kamu sayang.” Dari nada bicaranya Geraldy benar-benar menyesal. Silvia kembali menegakkan tubuhnya dan menatap Geraldy dengan wajah memberengut. “Kenapa nggak bisa?” tanyanya sambil bersungut. Tidak terima atas penolakan yang sedang dilontarkan oleh Geraldy. Silvia baru akan bertanya lebih jauh alasan Geraldy, tapi dering ponsel milik laki-laki itu menginterupsi keinginannya itu. Geraldy menjauh demi menerima panggilan telepon tersebut. Silvia tidak bertanya apa pun lagi, menunggu hingga Geraldy rampung dengan urusan teleponnya. “Aku ada acara pelatihan pemasaran dan pengenalan produk perbankan baru di Bandung, hari Jumat sampai Minggu,” ujar Geraldy setelah menjawab panggilan telepon di sudut ruangan. Dia bahkan sama sekali tidak berusaha minta maaf dan menjelaskan siapa orang yang menghubunginya pada Silvia. Silvia bersedekap dan membuang muka tak ingin menatap Geraldy lama-lama. Kemudian dia segera mengangkat p****t dari kursi, tidak ingin melanjutkan lagi perdebatan ini. “Aku bisa sendiri kok,” ujar Silvia dengan ketus dan tubuhnya masuk ke dalam bus kota yang melintas di depan rumah makan tempatnya tadi makan bersama Geraldy. Setelah bus kota merangkak maju, Geraldy mencoba menghubungi ponsel Silvia, tapi Silvia sedang dalam mode tidak ingin diganggu dengan bentuk rayuan apa pun dari Geraldy. Sekembalinya ke kantor, Silvia memilih menyibukkan dirinya dengan segala pekerjaan, karena masih merasa kesal pada dua makhluk laki-laki yang membuat mood-nya rusak sepanjang hari ini. Geraldy tentu terus berusaha merayu pacarnya itu untuk mengerti posisinya. Sebenarnya Silvia bisa cukup memahami pekerjaan Geraldy. Dia tidak terlalu kekanakan untuk tidak mau memahami. Hanya saja waktunya yang tidak tepat. Laki-laki itu harus tidak ada di saat Silvia benar-benar membutuhkannya. Seenggaknya jika ada Geraldy di sampingnya, dia merasa seperti punya semacam pelindung. Memang Silvia tidak liputan sendiri. Dia akan bersama kru yang lainnya, tapi tetap saja lebih aman dan nyaman berada di tempat yang tidak kita sukai jika bersama orang yang kita sukai. Dan Silvia sangat butuh Geraldy. Minta tolong Alvino untuk menemani sama saja mengajukan surat resign namanya. Alvino tidak ingin adiknya bekerja di bawah tekanan dan rasa tidak aman. Jadi kalau sampai dia mendengar Silvia mengeluhkan pekerjaannya seperti sekarang ini, maka bisa dipastikan Alvino tidak akan segan-segan menyuruhnya berhenti bekerja. Tiga hari setelah pertengkaran keduanya, Silvia sama sekali belum menghubungi Geraldy kembali. Sampai-sampai Geraldy harus menemui Silvia di kantornya. Demi menjelaskan bahwa dia benar-benar menyesal karena tidak bisa menemani Silvia. Bukannya masalah rampung malah membuat Silvia semakin kesal pada Geraldy yang memaksa menyelesaikan urusan pribadi di tempat kerja. Padahal sebenarnya Silvia tidak menghubungi bukan karena masih marah pada kekasihnya itu, melainkan Silvia benar-benar sibuk mengurusi persiapan liputan acara musik yang ditugaskan oleh atasannya. “Kalau saja aku bisa absen dari pelatihan itu, aku pasti lakuin demi kamu, Via,” ujar Geraldy saat menyempatkan diri di sela kesibukannya untuk menemui Silvia. “Tapi nggak bisa 'kan? Jadi ngapain kamu repot-repot mendatangi tempat kerjaku kayak gini? Demi apa juga?” “Demi kamu dong, sayang. Senyum dikit kek, beberapa hari ini aku dicemberutin mulu, bikin senewen.” Silvia akhirnya tertawa hingga menampakkan gigi kelincinya yang membuat lutut Geraldy lemas tiap kali mendengar suara tawa yang agak serak dan gigi kelinci khas Silvia. Entahlah, disaat laki-laki menilai perempuan dari body dan penampilannya, lain halnya dengan Geraldy yang langsung tertarik pada Silvia begitu mendengar suara tawa dan melihat gigi kelinci Silvia yang sangat menggemaskan menurutnya. “Emangnya aku nasabah kamu yang nunggak sampai bikin senewen,” jawab Silvia sambil menahan senyumnya demi menjaga gengsi. “Lebih parah. Mending aku disuruh ngadepin nasabah nunggak deh, daripada disuruh ngadepin kamu yang lagi ngambek.” Silvia akhirnya tersenyum, melupakan kekesalan pada kekasihnya. Pun dengan Geraldy, laki-laki itu bisa bernapas lega dan ikut pelatihan perbankan dengan tenang. Sebenarnya bukan alasan pelatihan itu sendiri yang menghalangi Geraldy tidak bisaa menemani Silvia. Namun, sayangnya Geraldy tidak bisa menjabarkan dengan detail alasan paling mendasar penyebab dia tidak bisa menemani Silvia. Ini menjadi rahasia besarnya dan harus dia jaga sebaik-baiknya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD