Perasaan Renaildy buruk. Benar-benar buruk... Reinaldy memutuskan kembali melangkahkan kakinya ke club setelah menghubungi teman-temannya. Bertemu kembali dengan Claire cukup mempengaruhinya. Reinaldy sesungguhnya merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada Claire karena tatapan terakhir Claire saat berbicara dengannya tergambar jelas bahwa wanita itu terluka dan jelas kecewa. Namun sikap Claire yang tidak mau mengenalnya membuatnya sangat kesal. Reinaldy tidak pernah ditolak seperti ini sebelumnya.
Reinaldy pikir bertemu kembali dengan Claire dan meminta maaf atas apa yang ia lakukan di masa lalu akan membuatnya semua urusannya dengan Claire di masa lalu selesai dan ia bisa memulai hubungan baru dengan Claire tapi kenyataannya Claire bahkan bersikap tidak mengenalnya. Reinaldy benar-benar kesal karena wanita itu memilih bersikap tidak mengenalnya sama sekali padahal data diri wanita itu cocok dengan Claire yang ia kenal semasa sekolah dulu.
Penolakan Claire membuat perasaan Reinaldy benar-benar buruk sehingga Reinaldy memilih langsung menghubungi teman-temannya dan menuju tempat yang selalu ia datangi setiap malam. Club malam dan segala hingar bingar di dalamnya akan selalu berhasil mengalihkan segala hal yang Reinaldy rasakan. Entah rasa lelah, kesal atau penat. Club malam selalu menyediakan alkohol dan wanita yang siap menemani dirinya.
Reinaldy pun menghentikan mobilnya di parkiran VIP lalu masuk ke dalam Club dan kakinya langsung menuju ruang VIP dan memesan satu botol vodka melalui waiter yang datang karena malas menunggu. Sang waiter membawa pesanan Reinaldy berbarengan dengan kedatangan Gerald.
“Wow... Ada apa, Bro? Kamu pesen satu botol langsung? Kamu berniat mabok jam segini?” Gerald bertanya dengan nada heboh melihat Reinaldy menuang isi botol ke dalam gelas miliknya.
Reinaldy mengabaikan pertanyaan Gerald. Perasaan Reinaldy benar-benar buruk karena seorang Claire. Reinaldy hanya ingin meminta maaf dan wanita itu bersikap seakan tidak mengenal Reinaldy.
Gerald mengerutkan alisnya melihat aksi temannya itu. Si kembar Edbert dan Edgar adalah orang yang selanjutnya masuk ke dalam ruangan itu pun memberikan respon yang sama ketika melihat Reinadly. Namun Reinaldy mengabaikan teman-temannya dan terus mengisi ulang gelasnya dan meminum vodka yang ia pesan hingga seperempat botol sudah habis.
“Dia kenapa?” Edgar yang baru datang bertanya pada ketiga temannya yang sudah sampai lebih dulu.
“Bosen hidup kali,” Edbert menjawab asal.
Gerald mendengus, “Itu sih bukan si Rei.. Kamu kali, Ed.”
Edgar menggelengkan kepalanya mendengar celetukkan teman-temannya dan menyimpulkan tidak ada yang tahu alasan Reinaldy bersikap seperti ini. Pria itu pun mengambil botol vodka yang dipegang Reinaldy berusaha menghentikan pria itu, “Stop it, Rei! Kamu ini kenapa?”
Reinaldy mendengus dan menyandarkan punggungnya ke sofa dan menatap langit-langit ruangan remang-remang tempat mereka berada saat ini, “Kalian inget Claire?”
Ucapan Reinaldy membuat teman-temanya mengerutkan alis mereka sambil memandang satu sama lain.
Ingatan Reinaldy pun melayang ke masa lalu. “Claire dulu junior kita yang kutu buku dan terkenal enggak punya teman dan enggak pernah dekat dengan siapapun. Hidupnya membosankan cuma kelas dan perpustakaan. Ke kantin saja dia jarang banget. Karena keanehannya dulu kita jadiin dia bahan taruhan. Gue harus berhasil dapetin dia dan bikin dia nurut sama gue dengan datang ke tiga pertandingan kita. Kalo gue berhasil kalian bakal beliin gue ponsel keluaran terbaru.”
“s**t, Man! Kalian bertemu lagi? Kayak apa bentukan anak itu sekarang?” Edbert angkat suara dengan nada heboh sambil menatap Reinaldy dengan wajah kaget.
Reinaldy mengubah posisi duduknya lalu menatap Edbert, “The ugly duck turns into a swan.”
Edbert memasang wajah kaget. “Seriously?”
“Bagaimana kamu bisa ketemu sama Claire, Rei?” Gerald bertanya dengan nada penasaran.
Reinaldy kembali mengambil botol vodka yang tadi diambil Edgar dan menuang isinya ke gelas sambil menjawab, “Dia kerja di Reins. Dia jadi sekretaris Kak Dean dan sialnya dia bersikap seakan enggak saling mengenal sama sekali.”
Darrel menggerutkan alisnya, “Claire enggak ingat sama kamu? Really?”
Reinaldy menenggak isi gelasnya mengangguk, “Aku sadar aku ini salah. Taruhan kita dulu emang keterlaluan tapi dia enggak perlu sampe bersikap begitu, kan? Kenapa harus bilang enggak kenal sama sekali. Heck! kesel banget!”
Edgar yang sedari tadi diam mendengarkan pun kini angkat suara, “Udahlah. Buat apa kamu kesel sampe begini. Hak dia mau kesel sama kamu dan memutuskan enggak kenal kamu, Rei. Posisi kamu memang salah. Kamu itu sudah mainin dia dulu. Buat kamu sederhana tapi mungkin enggak sederhana buat dia. Kita enggak bisa mukul rata orang merasakan sama kayak yang kita rasain, Rei. Instead angry, i think you should try to be nice. Mungkin kamu harus mulai dari awal jadi teman kerja yang baik karena masa lalu kalian enggak baik.”
Reinaldy menatap Edgar lekat-lekat beberapa saat sebelum pria itu sendiri yang memutus pandangannya kembali mengisi gelasnya dan meminum alkoholnya.
Keempat temannya pun menggelengkan kepalanya melihat aksi Reinaldy lalu mereka sendiri memulai kegiatan mereka dan semakin larut satu per satu tumbang menyisakan Edgar hari ini berhasil tidak ikut mabuk seperti teman-teman mereka yang lain dan menghubungi Reiner Algantara untuk menjemput anak bungsunya yang sudah mabuk berat.
***
Papa Reiner sedang tertidur lelap ketika ponselnya bergetar. Pria berusia lanjut itu terbangun dan untungnya istrinya tidak ikut terbangun karena panggilan masuk itu. Papa Reiner pun bangun, “Om, Reinaldy mabuk.”
Satu kalimat yang masuk ke dalam telinga seorang Reiner Algantara membuat pria itu spontan Papa Reiner mengumpat tanpa suara lalu beranjak dari tempat tidurnya lalu mengganti pakaiannya dan menghubungi Tomi untuk berangkat menjemput anak bungsunya yang kembali membuat tensi darahnya naik. Tomi adalah supir yang bekerja untuknya dan tinggal di rumahnya. Untungnya Tomi paham dengan kebiasaan anak bosnya yang satu ini dan dengan cepat mencuci mukanya demi menjalankan tugasnya. Tomi langsung menuju tempat parkir mobil dan ketika bosnya sudah datang, Tomi dengan cepat mengemudikan mobil menuju tempat yang disebutkan oleh bosnya itu.
Seperti biasa Tomi akan masuk menjemput anak bosnya yang berada di dalam club lalu membawanya ke dalam mobil atau ke kamar hotel sesuai dengan perintah bosnya dan kali ini Papa Reiner menyuruh Tomi membawa keduanya ke lobby hotel yang ada dalam satu gedung dengan club malam itu. Tomi melakukan perintah bosnya sementara Pria paruh baya itu pergi untuk memesan satu kamar untuk anaknya yang mabuk itu. Papa Reiner tidak yakin mereka bisa pulang dengan selamat dengan membawa orang mabuk dengan emosi yang sedang tinggi seperti ini. Godaan untuk melenyapkan nyawa anaknya sendiri sangat besar saat ini.
Papa Reiner melihat Tomi memapah Reinaldy yang mabuk dengan susah payah. Pria berusia lanjut itu pun menghela nafas panjang dan membantu Tomi memapah anak bungsunya dan membawa Aldy ke dalam kamar yang sudah ia sewa untuk malam ini. Setelah Reinaldy berada di atas tempat tidur, Papa Reiner menghela nafas panjang.
Papa Reiner menatap Reinaldy dengan tatapan emosi yang bercampur aduk. Mungkin ini yang Ghandi Alfarezi rasakan dulu ketika menjemputnya saat mabuk atau menemukan dirinya mabuk di apartemennya dulu. Papa Reiner memijat pelipisnya yang berdenyut sakit dan Tomi kasihan melihat wajah atasannya itu, "Bapak baik-baik saja?"
"Kita pulang, Tom. Setan kecil ini tidak akan bangun sampai besok siang. Besok pagi-pagi kita kembali lagi kesini."
Tomi mengangguki ucapan bosnya tanpa membantah. Tomi dan Papa Reiner pulang dan pagi-pagi Papa Reiner benar-benar melakukan apa yang ia ucapkan pada Tomi. Papa Reiner pun meminta Tomi membawa ember namun karena takut bertanya, Tomi hanya melakukan apa yang bosnya perintahkan tanpa bertanya lebih lanjut. Reiner Algantara menyeramkan saat murka dan Tomi tidak mau mencoba peruntungannya.
Papa Reiner berjalan di depan Tomi menyusuri lorong menuju kamar dimana anak bungsunya itu pasti masih tertidur pulas. Tomi berjalan mengikuti bosnya sambil membawa ember dan sesampainya dikamar, benar saja ucapan Papa Reiner. Mereka melihat Reinaldy masih tertidur pulas.
Papa Reiner mendengus kesal karena apa yang ia ucapkan kemarin benar-benar menjadi kenyataan. Matahari sudah naik namun setan kecil dihadapannya ini masih tertidur nyenyak.
"Isi embernya dengan air sampai penuh, Tom!"
Tanpa menunggu waktu lama, Tomi melakukan apa yang Papa Reiner suruh dan kembali membawa ember berisi air penuh. Papa Reiner dengan amarah yang sudah membumbung tinggi langsung mengambil ember itu dan menuangkan isinya pada Reinaldy yang sedang tidur dengan nyenyak itu.
BYUURRR!
Reinaldy jelas terkesiap kaget. Pria itu spontan terbangun dengan wajah kaget bukan main dan wajah dan tubuh serta kasur tempat mereka berasa saat ini pun basah. Reinaldy mengangkat wajah mereka.
"PAPA!"
Reinaldy berteriak marah pada Papa Reiner dengan suara menggelegar pun menjawab, "APAAA?!"
Reinaldy spontan menciut mendengar jawaban menggelegar Papanya. Reinaldy pun mulai mencerna situasi yang terjadi dan menyadari bahwa mereka berada di dalam kamar hotel.
Papa Reiner pun mendegus kesal. “Lain kali kalau kamu mabuk jangan hubungi, Papa! Hubungi Mamamu!”
Pria berusia lanjut itu pun mendengus lalu menjawab, “Cari mati itu namanya, Pa..”
Papa Reiner melempar ember yang ada di dekatnya ke arah Reinaldy karena kesal, “Masih bisa jawab! Kamu itu harusnya berubah, Al. Sampe kapan kamu mau begini terus?!”
Reinaldy menggendikkan bahunya. “Aku cuma having fun, Pa. Pengalihan saja.”
Dejavu. Itu yang Papa Reiner rasakan. Ia seperti sedang menghadapi dirinya dari masa lalu dan kini ia sendiri sedang berperan sebagai Ghandi di masa lalu. Papa Reiner menghela nafas panjang melihat tingkah anak bungsunya itu lalu meninggalkan kamar hotel. Papa Reiner heran bagaimana Reinaldy bisa mengikuti jejaknya.
***
Efek guyuran air yang Reinaldy terima, pria itu pun tidak bisa tidur lagi. Pria itu meminum obat pengar yang ditinggalkan papanya lalu memilih pulang menuju apartemennya menggunakan taksi untuk mengganti pakaiannya dan berangkat menuju Reins. Ia tidak mungkin membuat ulah padahal ia baru beberapa hari bergabung dalam perusahaan itu dan di sisi lain ada nama besar Algantara yang harus ia jaga.
Sepanjang perjalanan menuju apartemennya, Reinaldy pun memikirkan wanita yang berhasil menarik seluruh perhatiannya saat ini. Pertemuannya dengan Claire memang diluar dugaan dan efek dari pertemuan itu pun cukup kuat bagi Reinaldy yang jelas merasa bersalah dan juga tidak biasa ditolak.
Biasanya para wanita dengan senang hati berinteraksi dengannya bukannya menghindar seperti ini dan memberikan wajah datar dan kata-kata yang terdengar seperti enggan berdekatan dengannya. Katakanlah Reinaldy saat ini sedang merasa terusik egonya. Playboy yang selalu berhasil mendekati wanita manapun bahkan didekati banyak wanita kini merasa diabaikan.
Reinaldy pun teringat akan kata-kata Edgar. Mungkin ucapan Edgar ada benarnya. Ia harus memulai dari awal dan bersikap baik pada Claire. Masa lalu sudah berlalu. Ia hanya perlu meminta maaf dan memulai dari awal sebagai rekan kerja wanita itu.