1. Mama?

791 Words
Seorang pria tengah berkacak pinggang menatap seorang wanita yang berlari pelan menghampirinya. Rahang pria itu mengeras, tampak jelas sedang menahan amarahnya. "Senna, saya 'kan sudah bilang kalau kerja harus cepat sedikit. Kenapa kamu lelet banget sih!” bentak pria itu, Jefan Mahendra, dia adalah Manager Departement Humas. Senna menunduk dan memilih untuk diam. Tidak berani membantah. "Coba saya lihat filenya." Jefan mengambil lembaran kertas yang diberikan Senna. Dia lantas membacanya. "Sudah benar, berikan pada Tessa," imbuhnya memberikan perintah. “Setelah itu pergi beli kopi, biar kamu nggak cuma main ponsel doang,” celutuk Jefan ketus. Sebenarnya Senna ingin menjawab perkataan Jefan yang tidak berdasarkan fakta. Kapan Jefan melihatnya bermain ponsel? Padahal dari tadi Senna tidak berhenti mundar-mandir dari mesin print. Namun, demi menjaga sopan santunnya, Senna mengangguk saja dan segera mengindahkan perintah atasannya itu. Senna keluar dari kantor Humas yang sedang tegang karena para pegawai sedang dikejar deadline akhir bulan. Ya, akhir bulan sudah seperti hari siksaan untuk Senna karena dia selalu menjadi pelampiasan para pegawai stress di sana. J.S Group merupakan Perusahaan Teknologi Industri yang bergerak di dalam Komunitas Bisnis. Sudah dua bulan Senna magang di Perusahaan yang sudah berstandar kelas dunia itu, tepatnya di Departement Humas. Beruntung sampai saat ini mentalnya masih aman-aman saja, meski seringkali dia menangis diam-diam di toilet kantor. Lingkungan kerja yang tidak sehat dan budaya senioritas yang masih kental membuat Senna sedikit tertekan. Belum lagi pegawai senior yang memperlakukannya seperti kacung. Tapi, demi mendapatkan pengalaman magang di Perusahaan Besar yang menjadi nilai tambahan di CV-nya nanti, Senna hadapi semua badai itu. Tersisa 3 bulan lagi masa magangnya berakhir dan dia akan terbebas dari neraka dunia ini. Senna melangkah ke arah meja yang diperintahkan untuk memberi file yang baru saja selesai diprint olehnya. "Taruh saja di situ," ucap Tessa dengan nada kesal. Tatapan dan nada bicaranya pada Senna menunjukan ketidaksukaan. Rasa canggung dan takut membuat Senna tidak sengaja menumpahkan kopi di atas meja Tessa. "Aarrghh ... Senna! Kamu ini gimana sih?!” Senna panik. Dia segera menjauhkan barang-barang elektronik di meja Tessa agar tidak terkena tumpahan kopi. Sayangnya, dokumen penting untuk bahan meeting tidak terselamatkan. Tessa bertalak pinggang. Menatap Senna penuh amarah dan benci yang menjadi satu. "Kamu bisa enggak sekali aja kalau kerja tuh yang bener!" Tessa membentak penuh emosi. Tekanan pekerjaan ditambah kekacauan yang Senna ciptakan membuat amarah wanita itu meledak begitu saja. "Maaf, Bu..," Senna menunduk penuh penyesalan. Kalau sudah seperti ini, dia hanya bisa pasrah dan menebalkan telinganya. "Tessa." Suara berat diiringi tangisan bayi yang nyaring membuat Tessa dan Senna menolehkan kepalanya dengan kompak ke sumber suara. Keduanya lantas menunduk hormat saat melihat kehadiran Dhaffi, CEO di kantor ini. Bukan hanya kehadiran mendadaknya yang bikin terkejut, tapi penampakan Dhaffi menggendong bayi juga membuat pegawai yang melihatnya bertanya-tanya. Tumben sekali Dhaffi membawa anaknya ke kantor, bahkan tanpa didampingi babysitter. "Ruang meeting sudah dipersiapkan?" tanya pria jangkung itu dengan tegas. Tessa tergugup. "Ruang meeting sudah siap Pak, tapi bahan untuk presentasinya..," Pandangan Tessa jatuh ke dokumen yang sudah basah terkena tumpahan kopi. Ia meringis. "Saya minta waktu lima menit untuk—" "Mam-mma.." Anak digendongan Dhaffi mengoceh dengan terbata. Menyela ucapan Tessa. Kening Dhaffi berkerut, dia menatap anaknya dengan pandangan tidak percaya. "Kamu sudah bisa bicara, Ken?" tanya Dhaffi terkejut. Meski terbata, tapi Dhaffi bisa mendengar dengan jelas kalau anaknya baru saja mengucapkan kata 'Mama' untuk pertama kali. "Mma..” Dia bersuara lagi, membuat Dhaffi tersenyum bangga. Dhaffi yang tadinya ingin marah ke Tessa menjadi teralihkan karena rasa bahagianya. "Mam-mam.” Kenzie, anaknya Dhaffi mengangkat kedua tangannya. Menunjuk ke arah gadis yang menunduk takut di depan meja Tessa. Dhaffi menatap ke arah gadis itu dan Kenzie secara bergantian, berusaha memahami apa yang dimaksud anaknya. "Kamu." panggil Dhaffi ke gadis itu. Senna yang merasa dipanggil lantas saja mendongak. "Coba ke sini," Dhaffi beri gadis itu sinyal untuk mendekat. Dan benar saja, ketika jarak mereka hanya tersisa satu langkah, Kenzie semakin merentangkan tangannya ke arah Senna, seakan meminta Senna untuk menggendongnya. "Mam..Ma..." Masih sambil menangis Kenzie berucap. Kening Senna mengernyit. Apa anak itu baru saja memanggilnya Mama? Eh, tapikan dia bukan Mama dari anak itu?! "Coba kamu gendong anak saya." Perintah Dhaffi dingin. Dengan ragu Senna mendekat dan mengambil alih Kenzie dari gendongan Dhaffi. Ajaibnya, tangisan Kenzie langsung berhenti ketika Senna menggendongnya. "Mma..," panggil Kenzie sambil mendusel di d**a Senna. Senna melongo, menatap anak kecil itu dan Dhaffi secara bergantian. Pun dengan Tessa yang menutup mulutnya dramatis. Shock tak terelakkan. "Kamu ikut ke ruangan saya," ujar Dhaffi kemudian dia beranjak pergi lebih dulu. Senna memandang Tessa bingung, dia ingin meminta pertolongan, tapi Tessa malah mendorongnya untuk mengikuti jejak Dhaffi. "Sebisa mungkin kamu ulur-ulur waktu di ruangannya Pak Dhaffi sampai bahan presentasi ini selesai diprint ulang!" Perintah Tessa. Senna mengangguk pasrah, anggap saja ini sebagai penebus kesalahannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD